“Mulai tepat pada Rabu 14 Agustus 2013 jam 16.00 dan berlangsung selama satu bulan penuh, Presiden Mesir mempunyai wewenang untuk menugaskan siapa saja di daratan Mesir untuk melakukan pekerjaan apa saja yang terlintas di benak sang Presiden, mulai dari “Ajin al-filahah” sampai mencemplungkan diri ke dalam sungai Nil, termasuk menceraikan istri dan berjalan menggunakan dua tangannya sebagai kaki di jalan umum”.
Itu salah satu pasal dalam teks UU Darurat Mesir yang baru, dan teks ini bukanlah main-main atau percandaan, ini adalah teks serius.
Yang dimaksud dengan “ajin al-filahah” adalah salah satu bentuk latihan yang diperlukan bagi kera agar kera tersebut bisa menghibur penonton.
Bunyi pasal 3: “Presiden mempunyai wewenang mengeluarkan perintah tertulis atau lisan (coba banyangkan!) dalam rangka mengambil berbagai tindakan sebagai berikut:
a. Membatasi kebebasan individu dalam berkumpul, berpindah dan melewati tempat-tempat tertentu atau dalam waktu-waktu tertentu, dan menangkap siapa saja yang dicurigai atau membahayakan keamanan, dan ketertiban umum serta memenjarakan mereka.
b. Memberikan ijin untuk menggeledah orang dan tempat tanpa terikat oleh aturan dan mekanisme perundangan yang ada.
c. Menugaskan kepada siapa saja untuk melakukan apa saja.
Coba banyangkan teks yang sangat “gatholoco” ini:
1. Presiden dapat mengeluarkan perintah, bukan saja tertulis, tetapi, bisa juga dalam bentuk perintah lisan.
2. Presiden dapat memerintahkan siapa saja dari 90 juta penduduk Mesir.
3. Presiden dapat memerintahkan siapa saja untuk melakukan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Termasuk ‘ajin filahah tersebut.
4. [termasuk teks pasal 3 adalah]: Presiden dapat mengawasi segala bentuk messages, apa pun bentuknya, mengawasi koran, buletin, barang catakan apa saja, dan gambar apa saja, intinya segala bentuk sarana ekspresi, ajakan, iklan dan sebagainya sebelum dipublikasikan, menahannya, merampasnya dan menutup tempat pencetakannya.
5. [termasuk teks pasal 3]: Presiden dapat menguasai segala bentuk yang bergerak dan properti, mengeluarkan perintah paksa untuk penjagaan berbagai perusahaan dan institusi.
6. [termasuk teks pasal 3]: Presiden berwenang mengeluarkan perintah untuk mengosongkan sebagian kawasan, atau mengucilkannya, mengatur transportasi dan membatasinya serta menggilir kawasan-kawasan itu sesukanya.
Pasal 4: Berbicara tentang lembaga peradilan anomali: “Presiden berwenang menentukan peradilan mana yang akan dipergunakan, atau menghentikan lembaga peradilan tertentu, atau membatalkan keputusan peradilan atau membenarkannya."
Musyafa Ahmad Rahim
Diambil dari PKSPiyungan.org
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment