Keluar 'Neraka'; Catatan Dokter Rabaa
Karena saya ikut protest sit-in di Rabaa, saya ada di sana Rabu pagi. Sekitar 6 pagi ada alarm dari Square, mengajak semua orang untuk meninggalkan tenda mereka dan hadir di lokasi sit-in. Suasana darurat terasa kental saat itu. Sekitar 6.30, sinyal internet menjadi jelek. Pada 6.40 saya ada di belakang Mall Tiba. Dari sana saya tahu, penyerangan dimulai. Gas air mata disemburkan ke tempat masuk sit-in.
Dalam hitunga menit, saya melihat lelaki bersimbah darah. Lengannya luka parah. Karena saya dokter Trauma dan Anesthesist, saya memutuskan untuk menuju RS lapangan atau darurat. RS lapangan itu tertata dengan baik dan belajar banyak dari dua pembantaian yang lalu. Tapi, karena korban yang terus berdatangan, kondisi mulai kacau.
Sejak pembantaian di Republican Guards atau Alazhar saya tidak ke sini, jadi saya tercengang melihat luka-luka yang parah ini. Dalam waktu tiga jam, RS dan hall sebelah penuh dengan janasah dan korban luka. Luka-luka beragam, ada yang kena tembakan senapan ringan (bird-shot) sampai peluru timah. Sebagian besar luka mengenai badan bagian atas; kepala dan leher sehingga luka itu fatal.
Antara pukul 10.00-10.30 gas air mata mulai dilemparkan dekat RS. Udara di dalam jadi demikian memerihkan sehingga staf RS terpaksa menggunakan masker. Karena saya tidak terdaftar di RS, saya tidak mendapatkan masker yang tahan gas air mata sehingga saya sulit bernafas. Saya meninggalkan lantai pertama tempat pasien diterima, menuju lantai atas, mencari masker dari ruangan logistik.
Di lantai dua, ruangan penuh perempuan membawa anak-anak mereka, mencari perlindungan dari udara yang penuh gas air mata. Di ruangan lain, saya mendapatkan masker biasa. Saya meneruskan pekerjaan mengobati pasien yang baru datang. Situasi makin parah. Pasien terus berdatangan, luka mereka teramat parah untuk diobati di RS lapangan atau RS darurat. Udara penuh gas air mata. Kemudian saya tahu, gas air mata dilemparkan helikopter ke dalam RS.
Suara tembakan makin dekat ke RS. Pada pukul 12, datang perintah untuk bersiap segera mengevakuasi RS. Ditakutkan RS diserbu. Semua orang disuruh menyembunyikan identitas medis mereka, sarung tangan, atau jas putih guna menghindari penahanan militer.
Saya meninggalkan RS melewati hall besar yang penuh dengan jenasah. Lalu satu hall lagi penuh dengan korban yang tidak terlalu parah (kalau saya sebut ‘tidak terlalu parah’, artinya mereka bisa hidup beberapa jam lagi tanpa pengobatan emergency, tapi dalam keadaan normal, seharusnya mereka sudah dioperasi). Yang membuat hati saya perih, para perempuan, lelaki tua yang menangis di sebelah keluarga mereka yang terluka, dan tidak ada yang bisa memberikan mereka bantuan di tengah penyerbuan seperti ini.
Saya berhenti di koridor di belakang RS, dekat Mesjid Rabaa. Di sini sebagian demonstran yang luka tapi tidak bisa lagi masuk ke hall tadi karena sudah penuh. Salah satu yang luka kakinya menatap saya dan berkata, “Dokter, kenapa kamu berdiri begini? Tolonglah bantu memindahkan pasien atau mengobati mereka.”
Dia tidak meminta saya mengobati dia, tapi teman-temannya di lapangan yang sedang diserang. Saya tidak tahu harus pergi ke mana setelah RS dievakuasi. Jadi, saya berdiam di dekat mesjid tempat banyak perempuan dan lelaki tua.
Bunyi tembakan berterusan. Asap gas air mata memenuhi udara. Tak beberapa menit kemudian, asap putih gas air mata memenuhi koridor tadi. Bagaimana dengan yang terluka di sana? Anak muda itu?
Orang mengibaskan kain dan kertas untuk mengurangi pengaruh gas air mata. Setelah satu jam, saya bertemu seseorang yang tahu kalau saya membantu di RS darurat. Dia memberitahu kalau RS Rabaa charity society membuka pintu dan menerima pasien. Saya ke sana dan langsung bekerja. Nyaman rasanya bekerja di RS yang sebenarnya. Sebagian kawan dari RS darurat bisa membawa logistik dari sana saat evakuasi.
Kami mulai mengobati pasien baru. Jumlah pasien yang datang menurun. Saya pikir, mungkin militer menghentikan penyerangan. Saya terus bekerja mengobati pasien yang ada semampu saya. Di antara mereka ada pasien-pasien dengan kasus parah. Salah satunya reporter asing (dari temannya, saya tahu mereka bekerja di Skynews. (Mick Deane: Ed).
Dia ditembak peluru timah di bagian dada bawah. Dia kehilangan banyak darah. Wajahnya pucat sekali. Saya memberikan pengobatan emergency dan menerangkan pada temannya kalau lelaki ini (Mick) perlu operasi segera. Saya tidak bisa menemukan mereka beberapa menit kemudian. Saya tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak.
Saya ingat, saya meminta pada tim Skynews untuk menyebarkan SOS (permintaan bantuan) pada dunia supaya RS berhenti dihujani gas air mata dan tembakan peluru.
Saat suasana mulai reda, saya ke ruang basement, beristirahat. Di sana saya mendapati dua lelaki asal kota saya. Dua-duanya tertembak di kaki dan tungkai. Dibandingkan yang lain, kondisi mereka lebih baik. Saya sempat memberikan CPR pada salah satu pasien dan dia tidak bisa diselamatkan. Saya menolong memindahkan dia, tapi kami diberitahu kulkas RS sudah penuh oleh jenasah. Kami pindahkan dia ke lantai tiga. Saya pikir dia jenasah pertama di sana, tapi saya dapati hall besar itu sudah terisi 30-40 mayat.
Saya letakkan dia di sebelah yang lain dan segera ke bawah. Saat itu saya tahu, jalan masuk-keluar RS menjadi target sniper yang menembak orang yang masuk dan keluar pintu RS. Menyedihkan melihat orang berlari cepat membawa pasien atau logistik, menghindari tembakan sniper. Sniper juga menembak siapapun yang melihat keluar jendela RS.
Peluru kemudian menembak pintu RS hingga kacanya pecah. Pada pukul 3, ketenangan di RS terputus. Pasien berdatangan dalam jumlah banyak dan tak henti. Kondisi ini lebih parah dari tadi pagi. Luka mereka lebih fatal dan berbahaya.
Saya melihat pasien yang batok kepalanya terbuka kena tembak. Otak mereka di lantai. Saya melihat pasien dengan lobang tembakan di leher dan kepala. Pukul 4 saja, basement dan lantai satu penuh dengan mayat dan korban luka. Saya tahu lantai atas juga demikian.
Ambulans berusaha mentransfer pasien dari pintu belakang, tapi melihat keadaan, saya pikir mereka hanya bisa memindahkan 5% pasien yang membutuhkan operasi emergency. Situasi demikian parahnya, kami tidak bisa mengobati semua yang datang. Akhirnya, yang dipilih untuk diobati adalah korban yang memiliki kemungkinan hidup.
Lantai penuh darah. Pasien baru dipindahkan, melewati pasien lama yang tergolek di lantai. Saya bekerja seperti mesin. Tidak percaya kalau saya menjadi saksi kebrutalan di negeri ini.
Saya juga bekerja di Tahrir pada 2011, tapi kondisinya tidak bisa dibandingkan dengan yang sekarang. Saya tidak bisa mengambil foto untuk mendokumentasikan karena terlalu sibuk mencoba menyelamatkan jiwa.
Bau kematian di mana-mana. Baju saya telah berlumuran darah. Jika akan menceritakan pasien-pasien ini, mungkin saya perlu menulis satu buku. Pukul 5, pintu kaca sepenuhnya hancur ditembak. Suara rentetan peluru begitu dekat dan mencekam.
Setengah jam kemudian, ruang reception Gawat Darurat yang penuh staf medis dan pasien juga jadi sasaran tembak. Teror menyelimuti RS. Semua orang terjebak di sini. Sepuluh menit kemudian, polisi masuk. Mereka mengenakan pakaian hitam dan membawa senapan besar yang tidak saya lihat sebelumnya. Mereka memerintahkan semua orang meninggalkan RS.
Terjadi debat. Bagaimana dengan ratusan yang terluka ini? Apakah kita bisa mempercayai militer? Tapi, begitu salah satu polisi memasuki ruangan kami, semua keluar. Saat akan pergi, saya beritahu polisi bahwa ada pasien terluka di dalam. Dia membentak saya, “Biarkan mereka mati!! Biarkan mati!!” sambil maju, mengarahkan senjatanya ke muka saya.
Saya buru-buru mencari jalan keluar, meninggalkan RS melalui pintu kaca yang sudah pecah itu. Dia sibuk dengan orang-orang yang keluar ke arah berlawanan dengan saya. Di luar, suasana demikian seram. Mayat di jalan. Api di mana-mana.
Kami berjalan di sebelah dinding, di bawah tembakan peluru. Saya tidak tahu apakah di belakang saya ada yang kena tembak tidak. Saya ke jalan, cemas apakah akan kena tembak atau ditahan. Tapi, agaknya militer sibuk dengan demonstran di lokasi sit-in sehingga mereka meninggalkan kami.
Saat menengok ke belakang, asap tebal keluar dari RS. Mereka membakar RS bersama jenasah dan pasien luka yang masih di dalam. Sampai saat ini, saya tidak akan melupakan salah satu pasien terakhir saya. Dia ditembak di kepala tapi masih hidup. Dia ditemani ponakan lelakinya yang berusia sekitar 15 tahun.
Saya memberikan perawatan emergency, mengintubasi dua dan meminta ponakannya memberikan pernafasan menggunakan ampu. Saat jalan keluar RS, ponakan itu mencari bantuan untuk pamannya. Wajahnya begitu tak berdaya.
Pamannya besar kemungkinan terbakar bersama RS, Tapi, bagaimana dengan pemuda kecil itu? Yang menyerbu ini manusia apa bukan? Mereka menembak benar-benar untuk membunuh.
Tak pernah terbayangkan saya akan menyaksikan bansga Mesir terbantai di jalan, terbakar bersama RS. Kalau yang melakukannya adalah sesama bangsa Mesir, tak terbayangkan jika yang menyerbu adalah pasukan asing.
Saya menulis ini, masih tidak percaya, Saya harap ini hanya mimpi buruk dan saya terbangun segera. (nabawia)
*Diterjemahkan oleh Maimon Herawati (dosen, wartawati independen)
0 komentar:
Post a Comment