Haruskah para Islamis dihukum karena menjadi yang paling terorganisir?
Pada tahun 2006, AS, Israel, negara-negara Arab dan Otoritas Palestina (OP) yang didominasi oleh gerakan Fatah memutuskan untuk mengakhiri perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel. Mereka berencana menarik Hamas ke Otoritas Palestina yang merupakan hasil kesepakatan "Oslo".
Argumen yang kemudian digunakan adalah bahwa Hamas akan menjadi kelompok minoritas di parlemen Palestina, kemudian para konstituen akan memandatkan kendali “senjata” Palestina hanya di tangan aparat keamanan OP. Pada puncaknya sayap militer Hamas akan di –delegitimasi (dihapus kewenangannya) dan senjatanya akan diserahkan kepada pengawas resmi Otoritas Palestina. Namun itu hanya sebatas rencana.
Poling independen yang dilakukan Fatah pra-pemilu 2006 yang juga dikuatkan oleh pemerintah dan organisasi internasional menggambarkan bahwa Hamas tidak akan memperoleh kursi di Dewan Legislatif Palestina kecuali hanya 25 persen saja. Akan tetapi kenyataannya Gerakan Perlawanan Islam itu berhasil meraup kursi terbanyak 63 persen. Hal ini tidak hanya mengejutkan kalangan aliansi Barat yang menentang Islam, tapi juga kejutan bagi petinggi Hamas sendiri.
Kenyataan yang sangat mengejutkan ini akhirnya membuat Fatah dan Barat memutuskan untuk tidak mau bekerjasama dengan Hamas. Fatah memutuskan tidak ambil bagian dalam pemerintahan yang dibentuk oleh Islamis. Bahkan Fatah mulai menjalankan rencana-rencana Amerika untuk mengguncang stabilitas wilayah Palestina, menghentikan dukungan keuangan untuk Hamas dengan tujuan membebankan keuangan negara kepada kelompok Islamis. Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice kemudian menyebut ini dengan "kekacauan yang kreatif".
Meskipun demikian Hamas bertahan. Guna menghadapi AS-Israel yang mensponsori upaya kudeta oleh faksi Fatah yang dipimpin oleh Muhammad Dahlan, pemerintah Hamas akhirnya mengusir pasukan keamanan Fatah dari Jalur Gaza pada Juni 2007. Pejabat-pejabat senior Fatah melarikan diri ke Mesir atau ke Tepi Barat yang diduduki Israel. Dengan dukungan internasional, Presiden OP, Mahmoud Abbas membatalkan hasil pemilihan rakyat dan memberhentikan pemerintah Hamas. Hal ini kemudian menciptakan sebuah entitas yang berbasis di Ramallah, diakui oleh Israel dan Barat sebagai "Otoritas Palestina" yang sah atau Otoritas Palestina terpilih. Sementara itu Hamas dipimpin oleh Perdana Menteri Ismail Haniyeh berjuang menghadapi boikot total masyarakat internasional. Sebagian besar anggota parlemen Hamas yang tinggal di Tepi Barat ditahan oleh otoritas pendudukan Israel yang didukung oleh Otoritas Palestina di Ramallah. Israel mengepung Jalur Gaza dan pemerintahan Islam yang telah berada di wilayah itu sejak tahun 2007, pengepungan ini juga didukung oleh Mesir dan Barat.
Meskipun Islamis tidak menyalakan percikan revolusi Musim Semi Arab, mereka telah menjadi tulang punggung masing-masing revolusi ini. Mereka membentuk gerakan sentral yang populer di Yordania dan Maroko serta Tunisia dan Mesir. Meskipun di Maroko partai-partai Islam pernah mendapat sanksi oleh raja, para Islamis akhirnya memenangkan pemilu dan membentuk pemerintah.
Di Libya, oposisi Islamis merupakan gerakan terorganisir yang pertama muncul, walaupun kemudian mereka diisolasi dengan dukungan pihak luar. Negara ini telah diracuni oleh pemikiran sekuler yang merusak idealisme keislaman rakyat, didukung oleh berita dan kampanye media-media perusak.
Di Mesir, sebagian besar aktivis Islam hidup di penjara atau di pengasingan. Mereka menghadapi berbagai penyitaan properti dan menjalani posisi yang sangat sulit di tempat mereka bekerja meskipun telah bersikap profesional. Namun demikian mereka tetap berjuang mengatasi semua tekanan kendati terus dihantam badai fitnah yang sangat yang kuat oleh media lokal dan internasional. Di tengah berbagai tekanan tersebut mereka tetap memenangi 5 kali pemilu demokratis, mulai dari pemilu parlemen hingga referendum nasional.
Upaya oposisi regional dan internasional untuk menganulir pemerintahan Islam di Mesir sangat jelas. Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton bahkan telah bertindak jauh memperingatkan pemeluk Koptik Mesir bahwa mereka akan dihapus dari peta Mesir jika Muhammad Mursi menjadi presiden.
Beberapa penelitian kemudian menyebutkan bahwa sebagian besar uang telah dihamburkan untuk merongrong pemerintahan Mursi menggunakan media –media dan kelompok oposisi. Kelompok-kelompok pengusung hak asasi manusia mengklaim pihak mereka sedang menyuarakan keadilan dan demokrasi, sementara pada waktu bersamaan juga berlangsung kampanye-kampanye jahat melawan kehendak demokrasi rakyat Mesir hanya karena mereka memilih percaya pada gerakan Islam.
Di Tunisia sebagian besar intelek percaya bahwa “Al Qaeda” berikut semua afiliasinya adalah bentukan AS. Ada banyak fakta tentang hal ini. Hingga hari ini mereka (Al Qaida-red) tidak pernah melakukan apa-apa untuk kemaslahatan Islam dan Muslim. Bahkan semua kepentingan di dunia ikut dirusak oleh aktivitas jaringan ini. Sementara di Tunisia Al Qaeda sengaja dipromosikan oleh negara-negara yang berlawanan dalam rangka meruntuhkan pemerintahan Islam yang sedang dipimpin oleh Partai An-Nahdah. Beberapa aksi pembunuhan sengaja direkayasa untuk mendiskreditkan gerakan Islam, kemudian dijadikan senjata ampuh untuk memancing gelombang tuntutan massa guna menggulingkan pemerintahan Islam.
Mengapa masyarakat internasional tidak membela pilihan demokratis masyarakat Muslim yang memilih pemerintah Islam? Sudah banyak darah yang tumpah di berbagai tempat dalam mempertahankan demokrasi. Tetapi ketika yang terlibat adalah Islamis tak banyak yang dilakukan oleh dunia untuk membuat sebuah upaya bersama memperjuangkan demokrasi. Atau barangkali mereka memang berupaya menghancurkan demokrasi itu? Apa yang terjadi di Mesir adalah contoh klasik, bagaimana bisa sebuah kudeta militer - yang AS masih menolak untuk memanggil petinggu kudeta – disebut oleh Menlu AS John Kerry sebagai upaya "memulihkan demokrasi"? Kenyataan hari ini bahwa pemerintah kudeta bekerja untuk memperkuat pengepungan Gaza yang hanya menguntungkan Israel.
Para penentang Islamis sebetulnya punya kesempatan untuk menyingkirkan pemerintah Islamis pada pemilu mendatang. Lalu mengapa sekuler dan liberal di seluruh kawasan berusaha untuk menghancurkan pemerintah Islam terpilih secara demokratis, ironisnya semua mengklaim atas nama "demokrasi"? Demokrasi seperti apa yang diinginkan? Dalam upaya untuk memaksakan nilai-nilai sekuler dan liberal di negara-negara Muslim konservatif, mereka melakukan hal yang sama persis yaitu menuduh Islamis menerapkan ide dan kebijakan sosial yang bertentangan kehendak rakyat.
Hal ini sudah sangat jelas bahwa partai-partai Islam yang dipimpin oleh An-Nahdah dan Ikhwanul Muslimin sedang "dihukum" karena terlalu terorganisir sehingga mereka berhasil memenangkan pemiliu dengan cara demokratis. Ini juga menunjukkan bahwa kalangan oposisi sejatinya tidak bisa menerima demokrasi yang sesuai dengan keinginan terbaik rakyat.
0 komentar:
Post a Comment