Ketika Erdogan yang Alim dan Dawkins yang Atheis Bicara soal Nobel
Perdana Menteri Turki Recep Tayyp Erdogan mengecam Yayasan Nobel dan mempertanyakan bagaimana bisa lembaga itu memberikan perdamaian kepada Muhammad El Baradei, seseorang yang terlibat dalam kudeta militer di Mesir.
“El Baradei, yang diberikan penghargaan Nobel Perdamaian, sekarang wakil presiden dari sebuah pemerintahan yang melakukan kudeta militer,” kata Erdogan dalam pidatonya saat perayaan Idul Fitri 1434H bersama partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
“Saya katakan kepada [Yayasan] Nobel. Hey Nobel, bagaimana bisa Anda memberikan penghargaan kepada mereka yang berpihak kepada orang-orang yang melakukan kudeta militer?” lansir Hurriyet Daily News Jumat (9/8/2013).
Dalam kesempatan itu Erdogan juga menyinggung soal larangan masuk ke Mesir wanita asal Yaman penerima Nobel Perdamaian 2011, Tawakel Karman. Jurnalis dan aktivis HAM yang juga memiliki kewarganegaraan Turki itu dilarang masuk ke Mesir pada 4 Agustus lalu dan diterbangkan balik ke Dubai.
Sebelumnya, Kamis (8/8/2013), tokoh atheis terkemuka Richard Dawkins juga menyoroti Yayasan Nobel. Lewat akun Twitter-nya dia berkata, “[Dari] seluruh dunia Muslim penerima Anugerah Nobel lebih sedikit dibanding Trinity College, Cambridge. Padahal, mereka melakukan hal-hal yang hebat pada masa Abad Pertengahan.”
Komentar itu kontan mendapatkan kecaman, termasuk pendukung atheisme sendiri. Banyak dari mereka menyebut Dawkins rasis.
Penulis buku “The God Delusion” itu mempertahankan pendapatnya dan membantah dirinya rasis. Dia mengatakan, orang-orang Muslim “bukan sebuah ras. Persamaan di antara mereka adalah agama.”
“Daripada dengan Trinity, apa Anda lebih suka perbandingannya dengan Yahudi? Google itu,” kata Dawkins menyuruh pengkritiknya mencari informasi lebih lanjut di Google.
Namun, menurut penulis Nesrine Malik, kicauan Dawkins itu sebenarnya untuk menyinggung Muslim dan menyebut Islam sebagai agama bodoh.
Dalam tulisannya di The Guardian (8/8/2013), wanita asal Sudan yang bermukim di London itu mengatakan, pernyataan Dawkins itu perlu dipahami secara cermat.
Malik, yang dalam tulisannya menyelipkan peringatan bahwa Dawkins bukan orang bodoh, mengatakan memang benar secara teknis Muslim penerima Nobel lebih sedikit dibanding orang-orang di Trinity College. Muslim penerima Nobel hanya 10 orang, sementara komunitas akademik Trinity College yang terbatas dan eksklusif memiliki 32 orang pemenang Nobel.
Menurut Malik apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Dawkins adalah, “Muslim sebagai sebuah kesatuan sepanjang sejarah sejak Abad Pertengahan tidak berbuat apa-apa. Dan itu jelas terkait dengan agama mereka yang bodoh.”
Dan jika orang berpendapat demikian (Islam agama bodoh yang tidak membuat kemajuan sejak Abad Pertengahan), menurut Malik mereka harus ingat bahwa Penghargaan Nobel tidak cukup universal untuk dijadikan kriteria. Penghargaan Nobel hanya baru digelar seratus tahun lebih sedikit. Anugerah itu diberikan atas hasil karya riset akademik yang unggul di mana di negara-negara Barat karena pembangunan sosioekonomi di kawasan utara menjadikan sains dan institusinya lebih maju, dibanding kawasan selatan (perlu diingat tidak hanya dihuni oleh Muslim) yang terbelakang karena sosio-relijius.
Secara umum, negara-negara maju saat ini kebanyakan berada di utara garis Katulistiwa dan Eropa (barat), sedangkan negara tertinggal banyak terletak di selatan Katulistiwa dan Asia Pasifik (timur).(hidayatullah)
0 komentar:
Post a Comment