POLITIK TURKI YANG UNIK
Oleh : Ahmad Dzakirin
Bagaimana membaca usulan kelompok oposisi sekuler yang hendak mencalonkan mantan Sekretaris Jenderal OKI, Ihsanoglu sebagai bakal kandidat Presiden Turki dalam pemilu mendatang?
Amandemen konstitusi Turki 2007 mensyaratkan presiden dipilih langsung oleh rakyat dan sekaligus menjabat kepala pemerintahan. Kendati belum ada keputusan resmi pencalonan Erdogan dalam bursa pemilihan presiden, namun banyak analisis yang mensinyalir bahwa amandemen tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan AKP mendudukkan kembali Erdogan sebagai orang pertama di Turki.
Sukses Erdogan mengelola negara menjadi faktor determinan kemenangan AKP dalam tiga kali pemilu berturut-turut. AKP saat ini menjadi kekuatan politik tidak terkalahkan di Turki. Kendati sempat diguncang isu skandal korupsi di akhir tahun lalu, namun ternyata tidak mempengaruhi performan politik AKP dalam pemilu lokal, Maret lalu. AKP menang secara sangat menyakinkan. Ditengah track record yang buruk dan minimnya performan kelompok oposisi sekuler, Mayoritas pemilih Turki tampaknya tidak melihat alternatif yang lebih baik ketimbang AKP.
Dan segmen terbesar pemilih Turki kini adalah kalangan kelas menengah konservatif (Relijius) yang menduduki dua pertiga dari total kelas menengah di Turki. Mereka ini adalah kalangan Muslim Anatolia yang dicirikan ulet dan memiliki elan menghadapi gempuran demi gempuran dahsyat sekularisme disepanjang dua perempat abad. Tidak diragukan jika gerakan Islam, Mili Gorus dan Gulenis memiliki saham besar bagi lahirnya generasi relijius yang Die-Harder ini. Tidak dapat dilupakan pula, peran fasilitatif pemerintahan singkat Erbakan dan terutama Erdogan dalam mengokohkan kedudukan mereka.
Dalam perspektif ini pula, kita membaca usulan kelompok oposisi sekuler, CHP dan MHP padahal secara kesejarahan anti Islam. Point of No Return bagi kubu sekuler untuk bernostalgia kembali dengan sekularisme sehingga pada akhirnya harus bersepaham: Untuk menjegal Erdogan maka contender yang sekelas harus berasal dari kubu Islamis. Pada awalnya, pilihan jatuh pada Abdullah Gul, mereka mendesak sang Presiden yang berada dalam gerbong yang sama dengan Erdogan bersedia dicalonkan kembali. Namun, Abdullah Gul menolak dengan tegas. Abdullah Gul tidak ingin menjadi seteru bagi sahabatnya ataupun dilihat sebagai elemen rentan dalam konsolidasi internal AKP. kini, pilihan kedua itu jatuh pada sosok populer lainnya, Ihsanoglu.
Saya tidak ingin melihat rencana pencalonan Ihsanoglu oleh kubu sekuler dalam perspektif negatif. Justru, saya melihat bahwa;
Pertama, bagaimanapun pada akhirnya kubu sekuler mengalami proses politically evolving, berupa rasionalisasi dan obyektifikasi pilihan politik. Adagiumnya: Change or die. Berubah dengan pendekatan yang lebih ramah terhadap agama atau jika tidak bangkrut karena tersandera dengan romansa ideologi anti agama yang usang. Pilihan akomodatifnya dalam konteks Pilpres kali ini adalah proposal pencalonan Ihsanoglu.
Kedua, fenomena sukses AKP membantah tesis Olivier Roy, dalam "The failure of Political Islam". Menurutnya, gerakan Islam acapkali gagal, kurang lebih, karena hanya berhenti pada gagasan normatif dan jeblok dalam performan politik. Insinuasi Roy terbantahkan oleh prestasi luar biasa AKP dan spektrum sukses pencalonan dari kubu Islamis beserta potensi besarnya konstituensi mereka kini berimbas pada kubu sekuler melalui pencalonan Ihsanoglu. Dia dipilih karena karena performan kepemimpinan dan gagasan reformasinya di OIC dan tentunya diharapkan mampu menarik gerbong pemilih konservatif yang besar di Turki.
Menarik bukan? Bagaimana di Indonesia?
0 komentar:
Post a Comment