ARAB SPRING DIUJUNG TANDUK
Oleh: Fahmi Huwaedi
Penulis tidak yakin bahwa kita memahami atas kegigihan yang diupayakan oleh orang-orang di sekitar kita memanfaatkan kegagalan pemerintahan Ikhwan dalam merawat kesuksesan Arab Spring!
Benar memang, kematin Arab Spring belum diumumkan. Akan tetapi tanda-tandanya mulai terlihat di ufuk. Pembaca bebas untuk mengatakan bahwa media di fase sekarang ini tengah berbicara tentang Arab Spring yang masuk pada fase sekarat melalui fokus penyinaran. Hal ini yang kini dikemas melalui berbagai kampanye serangan dan menganggapnya sebagai petaka yang pernah dialami oleh Dunia Arab.
Itulah hasil perenungan penulis dan sejumlah cendekiawan dan pakar Arab saat kami bertemu di kota Amman, Yordania, pekan lalu. Pertemuan itu adalah pertemuan untuk mendiskusikan laporan analis tentang integrasi peradaban Arab. Yang nanti akan diterbitkan oleh salah satu badan PBB yang khusus menangani kawasan Timur Tengah.
Pertemuan pertama untuk “Dewan penasehat” pernah dilakukan di Kairo pada awal tahun lalu. Di saat optimisme yang sangat kuat pada Arab Spring dan masa depan Arab masih membara. Akan tetapi semangat itu di tahun ini berubah karena perubahan situasi dan konidisi. Bukan hanya dipengaruhi oleh angin kencang yang menerpa kawasan Dunia Arab selama setahun lalu, namun juga diprediksi datangnya badai atau topan yang akan memporak-porandakan kawasan. Karena Amerika akan menyerang Suriah yang itu akan menjadi awal perubahan baru di Dunia Arab dan peta baru yang akan menyertainya.
Kali ini, saat sebagian kita para cendekiawan ini masuk ke ruangan pertemuan di ibukota Yordania, seakan kami datang ke acara belasungkawa. Di antara kami ada yang bingung dan gunda. Sebagian lagi ada yang masih berharap agar “yang hilang” itu tidak segera pergi walaupun sakit yang dialaminya. Penulis termasuk orang yang mengatakan bahwa Arab Spring belum tamat. Akan tetapi disana ada orang yang sedang mengintai dan berharap Arab Spring itu lenyap, tak hidup kembali.
Pertemuan Amman sejatinya mendiskusikan impian berupa harapan munculnya integrasi peradaban Arab, dan bukan mendiskusikan kondisi riil di lapangan. Akan tetapi situasi dan kondisi Arab Spring memaksakan dengan sendirinya. Berharap tidak hanya pada impian terwujudnya integritas itu saja, namun juga terbentuknya basis yang dijadikan patokan bagi impian yang diidam-idamkan tadi.
Terkait hal itu, menurut hemat penulis, sesunguhnya orang-orang yang melihat Arab Spring, sebagai pergerakan massal yang akan menumbangkan rezim diktator dan pergantiannya dengan rezim baru, itu telah terguling dan gagal. Pendapat penulis, mereka ini salah dilihat dari tiga sisi:
Sisi pertama: Arap Spring, pada dasarnya, adalah perubahan historis meliputi Dunia Arab, dari ujung barat hingga ujung timur. Dengan Arab Spring ini, setiap warga negara lebih paham akan perubahan kondisinya ke arah yang lebih baik. Setiap warga lebih berani untuk menyampaikan pendapatnya dalam menentang ketidakadilan sosial dan politik.
Sisi kedua: apa yang paling penting dalam Arab Spring adalah perubahan pada diri manusia, bukan pada struktur atau bangunannya. Artinya, bisa jadi ia akan bisa merubah sebagian rezim ke pengkondisian rezim lain. Dan ini memang yang nampak diluar. Akan tetapi, hal yang sama juga terlihat dalam kehendak masyarakat luas untuk merubah kondisi yang ada.
Kerinduan ini yang banyak diposting dalam jejaring sosial di penjuru kawasan Arab. Sebagaimana yang didengungkan oleh semua kelompok aktivis dan pemerhati hukum di kawasan Teluk secara lebih khusus.
Sisi ketiga: terlalu dini untuk menilai Arab Spring sukses atau berhasil hanya dalam waktu dua tahun atau tiga tahun sejak meletusnya. Karena sesungguhnya perubahan sejarah, dengan cara seperti itu, butuh waktu panjang. Sebagaimana rintangan dan halangan akan terus menghadang di tengah jalan. Sebab perubahan dari kekuasaan diktator, yang selama berpuluh-puluh tahun berkuasa, kepada sistem demokrasi bukanlah hal yang mudah.
Hal itu juga dikarenakan upaya pemutarbalikkan yang dilakukan oleh rezim diktator dalam struktur masyarakat, secara politik dan sosial, menjadi halangan utama untuk memberikan jaminan bagi kesuksesan perubahan yang diidam-idamkan.
Ditambah unsur lain, yang tidak boleh diremehkan, adalah peran media massa yang ingin mempurburuk wajah Arab Spring melalui propaganda-propagandanya.
Termasuk upaya untuk menyebarkan rasa empati kepada rezim diktator yang sudah hengkang, walaupun tergolong lebih sedikit jelek dibandingkan dengan rezim yang sekarang menggantikannya. Adalah program televisi berjudul “Kami minta maaf, wahai presiden” produksi TV nasional Mesir dan ide diperbolehkannya kembali Husni Mubarak ikut pemilu presiden yang akan datang di Mesir.
Sejumlah awak media berbicara bahwa mimbar mereka memberitakan kebenaran (fakta) dengan sejumlah kesalahan didalamnya. Dengan itu, tugas kewartawanannya sudah ditunaikan. Akan tetapi harus dibedakan, antara mengumpulkan kesalahan dengan pembuatan kebohongan. Antara media kebenaran untuk memperbaikan apa yang sudah rusak dengan memusuhi kebenaran dalam rangka menghancurkan apa yang sudah ada.
Penulis tidak akan pergi jauh dari paradigma di atas. Penulis hanya akan mengutip ucapan yang ditulis oleh filosof Amerika terkenal, Noam Chomsky, dalam tulisannya yang paling akhir “rezim kekuatan”. Dalam tulisannya itu, Noam mengungkap apa yang ia sebuat sebagai kongkalikong antara media massa dengan badan kebudayaan di masyarakat Amerika yang meniadakan kesadaran masyarakat atau visi budaya (wawasan).
Jika itu yang terjadi di masyarakat Amerika, walaupun mereka sudah maju di sisi struktur politik dan sosial. Namun kita berharap hal itu tidak terjadi di Dunia Arab karena yang korbannya nanti adalah Arab Spring itu sendiri.
Penulis tidak berbeda pendapat dengan orang yang mengatakan bahwa sejumlah kesalahan terjadi di masa tumbangnya rezim diktator di sejumlah negara Arab, Mesir termasuk yang pertama. Saat itu, penulis termasuk yang mengritisi kesalahan tersebut. Namun penulis tidak menganut prinsip yang mengajarkan tentang penyembuhan orang sakit dengan cara membunuhnya.
Jika pembaca tidak mempercayai apa yang jadi pegangan penulis, pembaca bisa merenungkan sejumlah bukti yang disajikan oleh media Arab, minimal, selama dua bulan terakhir ini. Yang menurut penulis, itu adalah masa penjegalan Arab Spring secara transparan.
Catatan penting dari bukti-bukti itu adalah bahwa aksi penjegalan Arab Spring lebih banyak diinspirasi oleh kejadian di Mesir jika dilihat dari dua sisi. Pertama, aksi itu dikolaborasi oleh sejumlah kegagalan pemerintahan Ikhwan untuk membuktikan akan kegagalan Arab Spring dan penolakan masyarakat atas aksi-aksinya. Kedua, ide perang terhadap teroris di Mesir untuk memerangi Ikhwan sudah dimainkan dalam rangka mengganggu lawan politik dan aktivis HAM di sejumlah negara Arab. Walaupun mereka tidak memiliki hubungan Ikhwan sekalipun. Mengulang apa yang pernah diambil oleh rezim Arab pasca-kejadian 11 September (2011) ketika Washington mengumumkan perang terhadap teroris. Akibatnya, para oposisi dan aktivis Arab menjadi korbannya.
Bukti-bukti yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut:
- Banyaknya tulisan yang memenuhi surat-surat kabar Arab yang terbit di London dan koran-koran Teluk, memfokuskan pada cemoohan terhadap Arab Spring dengan membuktikan akan kegagalannya serta mengumumkan, secara terang-terangan, akan kematiannya. Seruan yang sering didengungkan di sejumlah mimbar di Mesir. Khususnya mimbar-mimbar yang berupaya untuk mengritisi Revolusi 25 Januari 2011.
- Kampanye televisi yang menjadi corong sikap di atas yang disuarakan oleh chanel-chanel swasta di Mesir. Ditambah chanel televisi Saudi yang disiarkan dari Dubai dan Sky News yang disiarkan dari Abu Dubai. Dua chanel televisi itu selalu menjadi lawan TV Aljazeera yang disiarkan dari Qatar. Seperti yang diketahui, TV Aljazeera perwakilan Mesir ditutup dan pekerjanya diburu. Setelah beberapa chanel yang berseberangan dengan penguasa militer, juga diberedel di Mesir.
- Negara-negara “moderat” di kawasan, yang sejak awal anti Arab Spring, segera menyambut atas kudeta yang terjadi di Mesir dan menggelontorkan dana untuk menutupi keterpurukan ekonomi Mesir. Ditambah upaya diplomasi yang terus digalakkan untuk melunakkan sikap negara-negara Eropa yang menentang kudeta militer, 3 Juli lalu.
- Upaya politik dan media yang digalang oleh Israel untuk mendukung kudeta 3 Juli. Berikut tekanan yang dilakukan Israel kepada Washington dan ibukota-ibukota negara Eropa lainyya untuk meyakinkan kepada mereka akan pentingnya suplai senjata ke Mesir. Upaya lain, tentunya menekan mereka untuk tidak memberikan sanksi apapun atas apa yang disebut sebagai kudeta.
Tanggal 26/8 lalu, harian Al-Watan terbitan Kairo menurunkan berita tentang koordinator gerakan Tamarud (pembangkangan) di Saudi (MM) mendapatkan seorang bayi baru yang ia beri nama As Sisi. Jika berita itu benar, untuk pertama kalinya terungkap bahwa gerakan tamarud di Mesir punya cabang di Saudi. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan besar yang ada hubungannya antara tamarud Mesir dengan kerajaan Saudi.
Dalam berita itu juga disebutkan bahwa mantan PM Mesir, Ahmad Syafiq yang kini tinggal di Abu Dabi, dalam sebuah acara televisi yang disiarkan pada tanggal 8/9 Ahad lalu (TV 10) menjelaskan bahwa Uni Emirat Arab baru-baru ini mensuplai senjata kepada depdagri Mesir untuk menghadapi teroris.
Pada saat yang sama, laporan-laporan HAM menyebutkan bahwa operasi polisi secara besar-besaran dilakukan dengan target aktivis dan penggiat HAM di sejumlah negara Teluk. Dengan dakwaan, mereka sangat empati atau loyal kepada Ikhwan dan Hizbullah.
Setelah kepala polisi Dubai mengumumkan daftar nama-nama Ikhwan Teluk yang dilarang masuk ke wilayahnya. Kemudian mengirimkannya ke sejumlah ibukota negara-negara Arab agar nama-nama itu dilarang masuk ke wilayahnya masing-masing. Pihak pemerintah kerajaan Arab Saudi mengeluarkan perintah penangkapan kepada siapa saja anggota Ikhwan karena dakwaan teroris. Baik itu ia datang untuk haji atau umrah. Ditambah lagi larangan terhadap 1200 warga Saudi untuk pergi keluar negeri.
Semua kebijakan di atas diambil setelah hukuman penjara diberikan kepada puluhan aktivis HAM. Total vonisnya mencapai 800 tahun dalam salah satu perkara dan salah satunya adalah tuduhan tidak taat pada pemimpin (baca: raja).
Dalam kondisi seperti itu, pihak Hamas mengumumkan adanya rencana menyerang Gaza yang dirancang oleh Israel dan ditemani oleh pihak Otoritas Palestina (OP) di Ramallah. Dalam pengumuman itu disebutkan peran sejumlah negara Arab yang melindungi dan mendukung sejumlah pejabat keamanan OP yang kabur dari Gaza.
Dalam rencana, yang diumumkan Hamas itu, disebutkan adanya rencana demonstrasi besar dengan judul tamarud untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah Gaza pada 11 November mendatang. Belum diketahui pasti, apakah gerakan tamarud ini ada kaitannya dengan gerakan yang sama di Tunis. Walaupun Presiden Tunis, Munsef Al Marzuqi, menepis rencana itu disebabkan beberapa hal, diantarannya sikap militer Tunis yang tidak memblok kepada penguasa.
Para cendekiawan Arab, yang penulis temui di Amman, sepakat bahwa apa yang terjadi di Mesir adalah permulaan. Mereka yang takut dan menjadi musuh Arab Spring memiliki kepentingan yang sama yaitu habisi Arab Spring sekarang juga. Karena kondisi dan situasinya sekarang ini sangat mendukung. Pembuatan pemufakatan terjadi di bawah kaki dan tangan. Brangkas terbuka untuk disuplai. Dukungan dunia tak dapat dibendung lagi. Dengan begitu, bagi para penentu kebijakan tak ada jalan lain selain segera bergerak untuk memetik buahnya dan mengembalikan arah jam ke belakang sebelum terlambat. Kepada rakyat, akhirnya diucapkan: goodbye!
*sumber: http://www.aljazeera.net/opinions/pages/b10f2722-41c2-4601-95b1-ad6fe3aa60ee
(penerjemah: amrozi m rais)
PKS PIYUNGAN
0 komentar:
Post a Comment