Saudi, Dari Mendukung Jihad Afghan Hingga Memerangi ‘Teror’
Dari perbukitan Afghanistan, dimulailah suatu era baru. Kekuatan Soviet melakukan intervensi ke Afghanistan, yang sekeligus sebagai akhir dari hegemoni imperiumnya yang sempat mengganggu Barat. Kekuatan kutub militer kapitalis, terutama presiden Amerika, Ronald Reagen dan perdana menteri Inggris, Margaret Thatcher, langsung melakukan embargo terhadap Uni Soviet yang disebut Reagan sebagai imperium jahat. Itu adalah benturan antara kutub kapitalis dan kutub sosialis yang sedang berusaha mengembangkan sayapnya di dunia.
Agar dunia Islam ikut tertarik dalam benturan tersebut maka dicetuskanlah terma ‘JIHAD’ dari ‘kerangkeng’ sejarah. Ini agar Saudi merasa ‘bertanggungjawab’ memberikan dukungan finansial dan menggencarkan kampanye jihad serta menyeret Kerajaan Saudi dalam perang Afghanistan.
Dari sana dibentuklah suatu lembaga tinggi dengan tugas utama mengumpulkan donasi dan mendorong umat Islam berjihad melalui berbagai macam media dan mimbar-mimbar masjid. Bahkan di Arab Saudi, untuk menikmati olah raga pun seseorang diharuskan ‘berjihad’. Kerajaan menambahkan satu riyal untuk setiap tiket masuk setiap pertandingan olahraga.
Sementara itu, Syaikh Abdullah Azzam menjadi ikon utama dalam jihad Afghan, atau lebih tepatnya jihad Arab. Saat itu, tidak ada suatu yang membahagikan bagi Arab Saudi melebihi berangkatnya para pemuda mereka untuk berjihad. Bahkan karangan Syaikh Abdullah Azzam, yaitu Ayaturrahman fi Jihadil Afghan (Tanda-tanda Kekuasaan Allah dalam Jihad Afghan) dijadikan sebagai hadiah di kalangan manusia.
Di Kairo, surat kabar-surat kabar Mesir kemudian menurunkan berita tentang presiden Mesir, Anwar Sadat, yang mengapresiasi jihad Afghan dan berjanji untuk memberikan dukungannya. Sementara berbagai surat kabar Barat mulai menonjolkan sosok Usamah bin Ladin dengan memujinya sebagai seorang pahlawan.
Presiden Amerika, Ronald Reagan pun mengundang para pemimpin bersorban (suku Afghanistan) ke Gedung Putih. Reagan tanmpak begitu bersemangat. Ia bahkan menghadiahkan salah satu penerbangan luar angkasa Kolombia dengan misi mendukung jihad rakyat Afghan. Sehingga kata ‘jihad’ pun menjadi akrab di telinga bangsa Arab dan non-Arab. Padahal Amerika hanya menggunakan slogan itu demi menghabisi Uni Soviet, imperium yang mereka sebut imperium yang buruk. Karena hal itu adalah kartu untuk berlepas diri dari pertanggungjawaban politik.
Untuk itulah, salah seorang penasehat Keamanan Nasional Amerika, Zbigniew Brzezinski pada era presiden Jimmy Carter saat mengunjungi mujahidin pada tahun 81-an, ia pun mengeluhkan kepada mereka tentang masjid-masjid yang berjarak sangat jauh, dan berkomentar bahwa Tuhan akan selalu bersama mereka. Tatkala itu, Arab Saudi merupakan donatur jihad paling besar. Ayat-ayat muhkamah (tentang jihad) dilantunkan tanpa ada beban apa pun.
Kemudian berakhirlah perang dengan hengkangnya Uni Soviet, yang kemudian diikuti keruntuhannya. Tetapi saat itu, ide jihadi yang memandang bahwa perang sesungguhnya lebih besar dari perang Afghanistan belum mencuat. Dari eksperimen jihad yang didanai oleh Saudi itu, lahirlah Al Qaeda, dan muncullah istilah Arab-Afghan untuk melabeli mereka. Mereka itulah yang kemudian hari membuat negara-negara asal mereka tercekik dan melemparkan tuduhan kepada mereka. Bahkan tidak satu pun dari mereka yang mengingankan mereka.
Berakhirlah (‘era’) jihad dan berkasnya pun ditutup. Tetapi diperlukan suatu istilah baru untuk mengimbangi power jihadi yang ‘disuburkan’ oleh harta Saudi dan ‘dirawat’ oleh negara-negara Barat. Dan istilah itu adalah TEROR.
Namun, sejarah adalah penyindir yang piawai. Kerajaan Arab Saudi yang sebelumnya sangat perhatian terhadap jihad dengan mengumpulkan donasi dan membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pemuda mereka untuk bergabung, beberapa tahun kemudian berubah menjadi negara yang tekad utamanya adalah memerangi teror. Sementara ‘teror’ dalam pandangan organisasi-organisasi jihad adalah jihad yang di’pelihara’ oleh Saudi itu sendiri. Para jihadi kemudian menyadari bahwa perang sesungguhnya lebih besar dari Afghanistan.
Jihad adalah kata yang menggentarkan. Karena ia bisa menghancurkan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, dan juga mampu menghapus pengaruhnya.
Syaikh Qardhawi yang dianugerahi Penghargaan Raja Faishal dalam segmen studi Islam oleh Kerajaan Arab Saudi pada pada tahun 1981 berubah statusnya menjadi seorang teroris, dan dimasukkan dalam list daftar teroris oleh Kerajaan Saudi. Dan Uni Emirat Arab—sebagaimana Kerajaan Saudi, juga akan melakukan hal sama terhadap lelaki tersebut, meski ia dipilih olehnya menjadi tokoh Islam paling berpengaruh pada tahun 2000.
Gema jihad barangkali bisa menjadi sunyi dari pendengaran. Sementara teror merupakan ‘mata uang’ yang paling diminati pada hari ini. Yang untuk mensukseskannya maka dipersembahkanlah apa yang dulu pernah dikorbankan untuk jihad pada beberapa dekade lalu.
Tetapi, teror yang karenanya dibentuklah berbagai koalisis untuk memeranginya, merupakan perbuatan yang mengakar dalam perpolitikan. Ia hadir secara bertahap. Dimulai dengan demontrasi damai hingga pada tahap penggunaan kekerasan melawan rezim pemerintahan yang tidak demokratis di wilayah tersebut.
Barat memang tidak ingin melihat bahwa teror lahir dari suatu perpolitikan yang erat hubungannya dengan buruk-tidaknya atmosfer kehidupan secara umum bagi penduduk negara-negara Arab dan Teluk. Barat hanya memperhatikan pada aksi terornya; bukan pada penyebab-penyebab dan motif-motifnya. Yang Barat perhatikan dari negara-negara Teluk adalah minyak dan dolarnya. Adapun jika ditanyakan tentang penyebab-penyebab terjadinya teror di wilayah tersebut (negara-negara Arab dan Teluk), maka mereka akan diam seribu bahasa. Karena pertanyaan tersebut akan merusak skenario. Biar sajalah hal itu tidak terjawab. Ummat sebenarnya memiliki problematika besar terhadap demokrasi. Dan ummat juga akan memerangi teror (dalam arti yang sebenarnya).
Sumber: http://www.aljazeera.net
0 komentar:
Post a Comment