JUM'AT REVOLUSI HARI INI,MUNGKINKAH PEMBANTAIAN KEMBALI TERULANG ?


Pasca kudeta militer, yang berujung pada peristiwa pembantaian di Rabiah Al Adawiyah tanggal 14 Agustus 2013, kini Mesir semakin jelas mengarah menjadi negara militer, dengan semakin kuatnya posisi militer dan lepas dari kontrol negara atau pemerintah sipil. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan terakhir tentang adanya dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden interim Adly Mansour, pemimpin sipil Mesir yang didudukkan di tampuk kekuasaan oleh militer setelah penggulingan Muhammad Mursi pada 3 Juli lalu (baca Kompas Online 29/08.2013).

Isi dekrit tersebut menyatakan bahwa, militer Mesir tidak akan lagi mengucapkan sumpah setia kepada presiden. Dalam sumpah prajurit baru itu terdapat kalimat sumpah yang berisi “melaksanakan tugas dari pemimpin saya”. Kalimat ini mengganti frasa: “saya akan loyal kepada presiden Republik Mesir”.

Pakar Mesir dari Universitas George Washington, AS, Nathan Brown menjelaskan bahwa naskah dekrit itu dibuat berdasarkan materi yang diserahkan Jenderal Abdel Fattah Al-Sisi kepada presiden. “Saya kira tak ada yang percaya dekrit ini adalah inisiatif Presiden Mansour,” kata Brown. Pendek kata, lanjut Brown, dekrit ini adalah sebuah inisiatif militer dan disahkan oleh presiden. Brown menambahkan, di sebagian besar negara, militer menyatakan kesetiaannya terhadap konstitusi dan undang-undang.

Apakah Ikhwanul Muslimin Tiarap?

Artikel kompasianer Opa Jappy pada tanggal 28/08/2013 menyatakan bahwa sikon terbaru Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin (IM) yang lama dilarang di Mesir, kemudian menjadi benalu liar pada kelompok-kelompok rakyat yang meruntuhkan Honi Mubarak, kini tiarap di lorong-lorang gelap Mesir. Benarkah IM menjadi benalu liar? Benarkah IM kini tiarap?

Kenyataannya adalah sebaliknya. Yang paling konsisten dan menyadari betul arah revolusi Mesir 25 Januari 2011 adalah IM. Bukti mengatakan bahwa kelompok liberal tidak menyadari plot lain yang dikendalikan oleh militer. Akhirnya terbongkar kedok ambisi militer, dengan memanfaatkan kebencian kelompok liberal kepada Ikhwanul Muslimin. Fakta yang pertama adalah mundurnya wakil presiden Elbaradei, pasca pembantaian di Rabiah Al Adawiyah. Elbaradei menyatakan tidak dapat memikul tanggung jawab terhadap peristiwa pembantaian itu. Kini Elbaradei telah berada di Wina. Ironisnya, Elbaradei yang disebut sebagai lokomotif gerakan revolusi 25 Januari itu justru dituduh berkhianat dan akan diadili bulan depan.

Sementara itu  situasi terakhir menunjukkan bahwa beberapa elemen gerakan Tamarrud yang berdemo menggulingkan presiden Mursi pada tanggal 30 Juni lalu, kini justru menyatakan bergabung dengan kelompok perlawanan terhadap kudeta militer. Gerakan Tamarrud Helwan yang mewakili 150 pemuda mengumumkan pembelotan mereka pada hari Selasa lalu dan memutuskan bergabung dengan kelompok para pendukung legitimasi dan menolak Kudeta militer.

Shobir Muhammad, koordinator Tamarrud di Helwan, mengungkapkan “alasan bergabung dengan kelompok pendukung legitimasi adalah pembantaian berdarah yang dilakukan oleh kudeta militer dan penangkapan setiap hari yang mempengaruhi seluruh  simbol-simbol Negara.”

Gerakan menentang kudeta militer tiarap? Kenyataannya para aktivis anti kudeta justru sedang mempersiapkan unjuk rasa besar-besaran di seluruh provinsi  Mesir pada hari Jumat (30/08), sebagai bentuk kemarahan rakyat terhadap pihak militer yang telah menggulingkan kekuasaan sipil yang sah. Ajakan ini akan direspon oleh seluruh kelompok politik dan masyarakat di Mesir, sejumlah kelompok politik dan masyarakat seperti Aliansi Nasional, Gerakan Pemuda 6 April, Gerakan Tamarroud, akan ikut turun ke jalan menumbangkan pemerintahan militer.

Akankah Terjadi Pembantaian Jilid Kedua?

Sementara militer semakin mencengkeram pemerintahan interim di bawah Presiden Adly Mansour, dan memberangus kebebasan rakyat Mesir. Para aktivis anti kudeta yang tidak lagi didominasi oleh pendukung Mursi, tetap melanjutkan perlawanannya. Gerakan anti kudeta ini telah meluas dan kini justru didukung oleh kelompok-kelompk yang sebelumnya anti Mursi, tapi anti militerisme.

Menanggapi aksi protes yang akan di gelar di seluruh provinsi Mesir, Kementerian Dalam Negeri mengumumkan peningkatan keamanan di semua fasilitas penting dan vital milik negara, rencananya Kemendagri akan berkoordinasi dengan angkatan bersenjata Mesir.

Ada analisa yang menarik dari seorang pakar komunikasi politik terkenal dari Amerika, Noam Chomsky. Chomsky mengatakan bahwa gejolak rakyat Mesir dalam menghadapi kudeta militer telah menghidupkan kembali semangat “Arab Springs”, ketika dunia kembali diam dan masuk ke dalam cangkangnya, setelah penggulingan Presiden Muhammad Mursi, awal bulan lalu.

Ia menjelaskan, yang mengejutkan dari krisis Mesir ini adalah tidak adanya ketakutan pada sebagian besar rakyat mesir, karena kudeta militer biasanya menciptakan suasana takut dalam masyarakat, tapi itu tidak terlihat di Mesir, yang telah menyaksikan gerakan Jutaan Massa pendukung Presiden Mursi.

Dan terkait tentang gerakan yang dilakukan rakyat mesir, Chomsky mengatakan perlawanan rakyat terhadap kudeta telah mengejutkan tentara Mesir dan bahkan negara-negara Barat, karena dunia sudah terbiasa melihat peristiwa setelah kudeta, yaitu menyaksikan rakyat diam dan kembali pada “cangkangnya”, itu juga tidak terjadi di Mesir, dan ini menghidupkan kembali semangat Arab Spring. Untuk lebih jelas, analisa Noam Chomsky dapat dibaca di situs Middle East Monitor.

Kini Mesir semakin jelas menjadi negara militer, yang diperkuat oleh dekrit Presiden Interim Adly Mansour. Militer tidak lagi tunduk pada supremasi pemerintahan sipil. Keadaan ini jelas menunjukkan bahwa Presiden Interim Adly Mansour bukanlah panglima tertinggi militer, dan tidak ada kekuasaan untuk mengatur militer. Bahkan bisa dibilang, Adly Mansour adalah boneka Al-Sisi.

Pasca peristiwa pembantaian di Rabiah Al Adawiah, rezim militer telah melakukan penangkapan-penangkapan, tidak hanya terhadap aktivis Ikhwanul Muslimin, tapi juga terhadap elemen-elemen penentang kudeta. Jam malam yang diberlakukan selama sebulan, telah membuat kehidupan masyarakat tidak dapat berjalan normal. Dan kebebasan pers tetap dalam keadaan terpasung. Namun seperti dipaparkan oleh Chomsky, rakyat Mesir tidak menampakkan ketakutannya terhadap rezim kudeta. Bahkan mereka telah mempersiapkan unjuk rasa besar-besaran pada hari ini 30 Agustus, dengan dukungan yang lebih luas spektrumnya.

Pertanyaannya, apakah akan terjadi pembantaian jilid kedua pada demo hari ini (30/08/2013)? Sementara darah para korban pembantaian di Rabiah Al Adawiah pada tanggal 14 Agustus belum kering dari ingatan kita.

Oleh : Farid Wadjdi/Kompasiana DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About MUSLIMINA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment