Militer Mesir Gunakan Ulama untuk menyerang Ikhwanul Muslimin
Militer Mesir memanfaatkan ulama pemerintah untuk melakukan propaganda kepada tentara dan polisi dalam perlawanannya terhadap pendukung presiden terguling, Muhammad Mursi. Propaganda militer menyebutkan, tindakan keras terhadap demonstran pro-Mursi merupakan tugas mulia.
Usaha ini, menurut New York Times, Ahad (25/8), merupakan sinyal kekhawatiran pecahnya jajaran di militer dan kepolisian setelah tewasnya ratusan atau bahkan ribuan warga sebangsa di tangan mereka. Rezim militer takut seandainya ada anggota yang membangkang atau tak sepakat dengan tindakan keras itu.
Kampanye propaganda agama juga merupakan langkah militer untuk menghancurkan basis utama pendukung Mursi, yakni Ikhwanul Muslimin. Cara propaganda ini, tulis New York Times, serupa dengan gaya gerakan radikal yang menggunakan doktrinisasi untuk melawan kelompok berkeyakinan berbeda.
“Ketika seseorang datang kemudian mencoba memecah belah kalian, maka bunuhlah, siapa pun mereka,” ujar Ali Gomaa, mantan mufti yang ditunjuk di bawah rezim Husni Mubarak kepada para tentara dalam video yang dibuat oleh Departemen Urusan Moral, Kementerian Pertahanan.
“Bahkan, dengan kesucian dan tumpahan darah, nabi mengizinkan untuk melawan semua ini.” ujar Gomaa pada kesempatan terpisah mengatakan, militer telah menunjukkan video ini kepada pasukan militer dan polisi antihuru-hara di sepanjang Mesir.
Salem Abdul Galil, mantan ulama senior yang mengawasi masjid di bawah era Mubarak, mengatakan, tindakan mereka (pendukung Mursi) adalah bentuk agresor yang harus bertobat kepada Allah.
“Mereka bukan rakyat Mesir yang terhormat,” ujarnya. Menurut Abdul Galil, menggunakan senjata ketika dibutuhkan melawan musuh seperti itu adalah tugas dari angkatan bersenjata.
Kolonel Ahmad Aly, juru bicara militer yang dikonfirmasi terkait dengan video beredar itu, mengatakan, militer memang menggelar “pertemuan budaya” setiap bulan terkait berbagai persoalan, termasuk agama. Dr Gomaa, kata dia, merupakan salah satu cendekiawan yang memberikan ceramah untuk personel militer. Tak jelas kapan militer membuat film tersebut dan menyebarkannya ke tentara.
Lebih dari 1.000 orang tewas akibat pembantaian militer pasca dikudetanya presiden sah Mesir, Muhammad Mursi, pada 3 Juli lalu. Insiden terparah terjadi pada 14 Agustus saat militer membubarkan paksa lokasi demonstran di Kairo.
Sedangkan, pengacara pemimpin Ikhwanul Muslimin (IM), Muhammad Gharib, menilai persidangan terhadap petinggi IM di Mesir bersifat politis. Elite militer mencoba menyingkirkan para pesaing politik mereka dengan menahan dan membawanya ke pengadilan. Pemimpin Ikhwan, kata dia, juga sempat mengalami kekerasan saat penangkapan.
Sidang perdana pemimpin sentral Ikhwanul Muslimin Muhammad Badie dan dua wakilnya, Rashad Bayoumy dan Khairat al-Shater, dimulai pada Ahad kemarin. Namun, karena ketidakhadiran terdakwa lantaran alasan keamanan, hakim memutuskan menunda sidang dan akan melanjutkan kembali pada 29 Oktober mendatang.
“Segera setelah Jenderal Sisi menyelesaikan pidatonya pada 3 Juli yang mengumumkan penghentian konstitusi dan penunjukan presiden sementara .... (petinggi Ikhwanul Muslimin) Khairat al-Shater, Saad Katatni, Rashad Bayoumy, dan Muhammad Mehdi Akef ditangkap,” ujar Gharib dalam sebuah diskusi selepas sidang, Ahad (25/8).
Para pemimpin Ikhwanul Muslimin menjadi incaran militer pascakudeta 3 Juli. Satu per satu para petinggi kelompok Islam itu ditahan untuk melemahkan gerakan Ikhwan. Gharib mengungkapkan, Badie enggan mengakui keabsahan dari persidangan itu dan tak mau menjawab pertanyaan saat interogasi pekan lalu.
Badie pun sempat mengalami kekerasan saat proses penahanan. Gigi palsunya sampai terlepas ketika ditangkap. Pria berusia 70 tahun ini juga tak memperoleh akses untuk mengobati tekanan darah tingginya.
“Badie (saat ditahan) berada di kediamannya. Dia diserang dan dilukai dengan bahasa yang melecehkan ibu, ayah, serta kehormatannya,” ujar Gharib.[ROL]
0 komentar:
Post a Comment