Membaca Sudut Lain Konflik Yaman
Konflik Timur Tengah secara kesejarahan lebih tepat dikonstruksikan dalam perspektif tribal dan kepentingan kekuasaan ketimbang ideologi atau bahkan agama. Peta koalisi dan aliansi bergeser atau bahkan berpindah seiring bergeser atau bergantinya kepentingan politik para pihak yang terlibat konflik.
Dalam Perang saudara di Yaman, misalnya, kepentingan tribal dan etnisitas lebih mengemuka ketimbang alasan keagamaan atau rivalitas Sunni-Syiah. Problemnya, alasan terakhir menjadi pemantik efektif, sekaligus berbahaya bagi pihak-pihak yang berkepentingan memperpanjang konflik, minus resolusi di kawasan ini.
Suku Houti dari Yaman Utara dan Abdul Hadi Rabu dari bagian selatan merepresentasi kepentingan politik dua etnik yang berbeda.
Memang, Houthi, adalah suku utama di utara, yang didominasi penganut Syiah Zaidiyyah (mencapai 40 persen dari total 23 juta populasi Yaman) dan menjadi pendukung setia kepemimpinan Imam Muhammad Badr sebelum digulingkan para perwira revolusioner pada 1962. Sedangkan, Hadi adalah generasi terakhir perwira revolusi dari kawasan selatan yang didominasi pengikut Syafiiyah (Sunni) yang sukses mengganti kekuasaan monarki dengan Republik.
Houthi konsisten mendukung Imam Badar merebut kembali tahtanya dengan dukungan politik dan keuangan dari Saudi, dan bahkan sebelumnya dari Israel. Antara 1964 hingga 1966, setidaknya ada 14 kali penerbangan rahasia Angkatan Udara Israel untuk mensuplai persenjataan dan kebutuhan medis. Bahkan konon, ada komitmen pengakuan Houthi atas Israel jika menang. Secara terpisah, baik Saudi maupun Israel pada saat itu memiliki kepentingan bersama, mencegah ekspansi Nasseris.
Sedangkan para perwira revolusioner yang berhaluan sosialis memperoleh dukungan militer dari rejim Nasser, Mesir. Ada setidaknya 70 ribu pasukan Mesir yang ditempatkan di Yaman untuk menghadapi perlawanan Imam Badar.
Pada 2004, Houthi melancarkan pemberontakan pada rejim Ali Abdullah Saleh. Namun kini, Saudi membantu rejim Saleh melawan Houthi. Saudi khawatir perbatasan panjang (porous border) Saudi dengan Yaman akan dimanfaatkan Houthi untuk mengobarkan pemberontakan etnik minoritas Syiah di Saudi setelah mensinyalir Iran memasok keperluan logistik Houthi.
Ali Abdullah Saleh sendiri adalah penganut Syiah Zaidiyyah, namun bukan dari elemen etnik Houthi. Pasca penggulingannya, dia berbalik arah berkoalisi dengan etnik Houthi dan mempersiapkan kepemimpinan anaknya, Ahmed untuk menggantikannya.
Oleh karena itu, mempersepsikan Perang Saudara di Yaman sebagai konflik Sunni dan Syiah Zaidiyyah adalah kesalahan serius. Sejak dulu, suku Houthi dan penganut Zaidiyyah menjadi bagian aktor penting dalam politik Yaman. Mulai dari Imam Muhammad Badr hingga Ali Abdullah Saleh. Bahkan, konon Abdullah Ahmar, dari suku mayoritas Bani Hashid, pemimpin partai Ishlah, sayap politik Ikhwanul Muslimin di Yaman adalah penganut Syiah Zaidiyyah dari garis ayahnya.
Syiah Zaidiyyah menjadi bagian dari kehidupan keberagamaan kaum Sunni karena pandangan dan praktik keberagamaan mereka yang moderat. Zaidy jauh lebih dekat dengan Sunni ketimbang Syiah Itsna As’ariyyah, ideologi resmi Iran.
Tidak diragukan, Iran memang memanfaatkan konflik Yaman untuk memperkuat ambisi regionalnya. Iran juga menyimpan dendam dan kebencian terhadap Saudi yang mendukung invasi Saddam Hussein atas Iran yang berujung pecah perang Irak-Iran pasca Revolusi Iran. Namun, menyimpulkan Iran akan mengendalikan Yaman atau Houthi adalah mustahil secara geo-politik, selain perbedaan tajam pandangan keberagamaan Syiah Zaidy versus Itsna Asyari. Aliansi keduanya lebih karena kepentingan taktis ketimbang ideologis, sebagaimana dulu Houthi juga mendapatkan dukungan Israel dan kemudian Saudi.
Diprediksikan, konflik Yaman berakhir dialog dan rekonsiliasi. Para pihak yang berseteru kembali ke meja perundingan karena tekanan domestik dan pergeseran perimbangan regional. Saudi dan UEA sulit menghadapi perang jangka panjang. Belum lagi, minimal dan terbatasnya kontribusi negara-negara Teluk lainnya. Pakistan dan Turki kendati mendukung operasi, namun membatasi keterlibatan mereka. Sementara AS khawatir berlarutnya konflik Yaman akan memperkuat ancaman ISIS dan kelompok radikal lainnya. Ini artinya, AS akan mempersingkat restunya atas invasi dan selanjutnya menekan Saudi dan negara-negara Teluk untuk berunding.
Di saat itu pula, isu ideologis menjadi tidak relevan karena semua pihak akan mengambil jalan pragmatis, bahkan tidak terkecuali Saudi dan Iran. Pergeseran skema operasi militer Saudi dan negara-negara Teluk dari semata operasi militer ‘amaliyat asifat al Azam’ menjadi operasi pemulihan harapan (Amaliyyat ‘I`ādat al-‘Amal) setelah setelah setahun lebih perang pecah merefleksikan derajat pragmatisme dan upaya pencarian solusi damai. Seperti dikatakan Menhan Saudi, fokus intervensi bergeser dari operasi militer menjadi proses penyelesaian politik. Koalisi menawarkan beberapa solusi politik atas problem Yaman, sembari tetap melanjutkan serangan udaranya.
Wallahu A’lam.
0 komentar:
Post a Comment