Mabruk Al-Hani
Sejak dijajah secara resmi tahun 1967 (wilayah Palestina selain Al-Quds, Tepi Barat dan Jalur Gaza dijajah tahun 1948), kota Al-Quds terisolasi secara riil dari wilayah Arab dan negara-negara Islam yang ada di sekitarnya. Terkadang akibat kejahatan Zionis penjajah atau karena kebijakan politik negara-negara Arab dan negara-negara Islam itu sendiri atau terkadang karena faktor-faktor yang menguasai konflik regional dan internasional.
Di tengah isolasi semacam ini, Zionis memonopoli kekuasaannya terhadap warga Al-Quds dan tempat suci Islam dan Kristennya terutama Masjid Al-Aqsha. Mereka diusir. Kota suci diyahudikan. Pemukiman Yahudi dibangun di sana. Simbol-simbol berusaha dihapus. Selama beberapa tahun belakangan, suara-suara sumbang menyerukan kewajiban membela dan segera menyelamatkan Al-Quds dan Al-Aqsha pada saat kejahatan dan aksi pelanggaran meningkat dari pihak Zionis. Seruan dilakukan dalam berbagai bentuk dan jargon. Konferensi, seminar, dan penerbitan, pernyataan seruan dan bukan hanya berakhir pada fatwah dan rekomendasi sebagai respon atas perang Zionis 'Israel' atas Al-Quds dan Al-Aqsha tanpa henti yang ingin mengklaimnya sebagai milik yahudi. Zionis memanfaatkan sikap diam dan legitimasi dunia internasional selain karena ketidakberdayaan dan kelambanan dunia Arab dan Islam serta sedikitnya tangan-tangan Palestina yang menghalangi terorisme penjajah.
Upaya Arab dan Islam, baik dari pemerintah resmi atau rakyat tidak sebanding dengan tingkat penderitaan dan pengorbanan warga Al-Quds dan para pejuang di Masjid Al-Aqsha. Tidak pula sebanding dengan bahaya hakiki yang dialami oleh Al-Quds dan Al-Aqsha. Data dan angka serta laporan menunjukkan bahaya besar makin mengancam Al-Quds dan Al-Aqsha yang terjadi di tengah kelemahan dunia Arab dan dunia Islam yang seharusnya memberikan penyelamatan sebanding dengan bahaya yang mengancam Al-Quds dan Al-Aqsha. Tak seharusnya mereka hanya sekadar mengecam dan menentang.
Bentuk dukungan untuk Al-Quds dan Al-Aqsha bisa berbeda-beda, sarana juga bisa berbeda-beda, namun kompas tujuannya tetap sama yakni dua tempat suci itu. Lantas pertanyaannya apakah kita bisa mewujudkan tujuan itu?
Seminar internasional yang digelar di Amman Jordania pada bulan ini dengan tema “Jalan ke Al-Quds” cukup baik. Mereka mengundang politisi, tokoh pemerintah, jurnalis, tokoh agama, ulama dan pakar. Namun cukupkah langkah ini? Tentu gagasan dan tujuan saja tidak cukup. Sebab sarana yang ditempuh juga harus baik sesuai dengan tujuannya. Tujuan tak harus menghalalkan segala cara dan sarana. Sayangnya, mereka tidak sepakat atas rekomendasi “mencabut larangan kunjungan ke Masjid Al-Aqsha bagi warga Palestina di dalam dan di luar negeri apapun kewarganegaraan mereka, juga bagi umat Islam seluruhnya selain Palestina dengan syarat kunjungan itu tidak melakukan normalisasi dengan penjajah.”
Rekomendasi yang bakal dikeluarkan tidak bisa disebut ijtihad ilmiah dan lebih dekat kepada rekomenasi berbau politik Otoritas Palestina dan sebagian rezim Arab. Agaknya para penyelenggara seminar agaknya ingin menghimpun ulama agar mengeluarkan fatwah yang bertentangan dengan konsesus dan ijma’ yang sudah diterima oleh seluruh Umat Islam yang mengharamkan kunjungan ke Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha selama masih dalam penjajahan. Lantas bagaimana rekomenasi pencabutan larangan kunjungan ke Al-Quds dianggap sebagai sarana mulia menuju Al-Quds. Sarana yang merupakan bentuk normalisasi dengan 'Israel' tidak akan menjadi jalan untuk membebaskan Al-Aqsha dan mendukung warga Al-Quds, namun ia menjadi sarana untuk memuliakan penjajah atas kejahatan-kejahatannya.
Apa artinya mereka menyerukan wisata religi di tengah penjajahan, dan membuka kunjungan ke Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha, sementara 'Israel' melarang bagi warga Al-Quds menikmati udara bebas, air dan bahan makanan. 'Israel' melarang warga Al-Quds membangun bangunan di atas tanah mereka sendiri, menyita tanah mereka, menggusur rumah mereka, bahkan melarang mereka shalat dan pergi ke Masjid Al-Aqsha padahal jarak rumah mereka dengan masjid hanya beberapa meter? Bagaimana masuk akal, 'Israel' melarang warga Al-Quds dan warga Arab Palestina di wilayah jajahan 48 yang usianya dibawah 50 tahun datang ke Masjid Al-Aqsha kemudian umat Islam diperbolehkan berkunjunga ke Al-Quds?? Bukankah seharusnya membela dulu warga Al-Quds yang terzhalimi?
Dengan kata lain, jika ada kunjungan ke Al-Quds dan Al-Aqsha maka yang mengambil keuntungan pertama kali adalah Zionis penjajah itu sendiri. Sebab kunjungan itu berada di bawah maintenes dan untuk kepentingan mereka. Dengan ungkapan lebih akurat, jalan ke Al-Quds di tengah penjajahan berlangsung harus melalui gerbang “normalisasi” dan harus menghias wajah buruk 'Israel' dan memberikan legitimasi kejahatan-kejahatannya.
Jalan ke Al-Quds sangat terang, melalui pembentukan strategi di pihak Arab dan Islam bersama-sama yang didasarkan kepada pembelaan dan penyelamatan Al-Quds dan menjaganya dari bahaya upaya penghapusan dan yahudisasi serta mendukung warga Al-Quds untuk bertahan di sana; mendukung mereka secara politik, spirit dan dana, membangun sekolah dan rumah buat mereka, untuk menjaga identitas Arab dan Islam di sana; mengkriminalkan segala bentuk normalisasi ke sana, menutup kedutaan besar-kedutaan besar mereka di negara-negara Arab dan Islam, memboikot mereka secara ekonomi dan segala aktivitas bisni yang mendukung 'Israel', dan membina generasi yang cinta al-Aqsha dan menanamkannya sebagai bagian dari akidah umat Islam serta membelanya dan tidak menyia-nyiakannya. Dari sinilah “jalan ke Al-Quds itu”. (bsyr/PIP)
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment