Keputusan pemerintah Kerajaan Arab Saudi melakukan kriminalisasi terhadap Jamaah Ikhwanul Muslimin, dan menempatkannya dalam daftar terorisme, pasti akan memiliki implikasi serius.
Keputusan Arab Saudi memberangus dan melakukan kriminalisasi terhadap Ikhwan menjadi babak baru hubungan antara Ikhwan dengan Kerajaan Arab Saudi. Di mana Ikhwan memiliki cabang di 80 negara di seluruh dunia.
Ikhwan juga memiliki 20 cabang, dan tersebar di 17 negara Arab. Di mana mereka mendirikan partai politik yang sah, dan diakui oleh otoritas negara. Selain itu, Ikhwan memiliki cabang di Yordania dan Jalur Gaza.
Pemerintah di Riyadh tidak akan mampu menghukum terhadap Hamas, cabang Ikhwanul di Jalur Gaza. Karena tidak ada komunikasi atau hubungan antara kedua belah pihak. Tidak seorang pejabat Hamas yang pernah diterima oleh seorang pejabat Saudi.
Bahkan, satu-satunya peristiwa, di mana para pejabat Saudi mengundang anggota Hamas, berkunjung ke Arab Saudi, ketika Riyadh mencoba mendorong rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, pada Konferensi Makkah pada Februari 2007.
Konferensi itu menghasilkan kesepakatan rekonsiliasi nasional melalui pembentukan pemerintah baru yang dipimpin oleh Ismail Haniyeh. Rekonsiliasi itu tidak berlangsung lama, karena pecah perang antara Fatah dan Hamas. Gerakan Hamas berhasil mengalahkan Fatah, dan mengontrol seluruh Jalur Gaza, sejak Juni tahun 2007.
Sejak hari itu, tidak ada pejabat Hamas mengunjungi Arab Saudi. Jika ada undangan mereka tidak pergi. Kecuali melakukan ibadah Umrah. Para pejabat Hamas dilarang menghubungi setiap pejabat Arab Saudi, selama mereka melaksanakan ziarah umroh.
Tekanan Kerajaan Arab Saudi terhadap Hamas adalah bagian kebijakan rezim junta militer Mesir, yang menempatkan kelompok Palestina, Hamas dalam daftar teroris, beberapa waktu lalu. Mesir melarang semua kegiatan Hamas, menutup kantornya, membekukan seamua assetnya, dan menghancurkan ribuan terowongan bawah tanah di sepanjang perbatasan Rafah.
Tindakan rezim junta militer Mesir itu, sebagai langkah pengepungan atau blokade ekonomi dan politik, karena Hamas menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Jamaah khwanul Muslimin. Sejatinya, Arab Saudi tidak perlu terlibat dalam pengucilan atau tindakan apapun terhadap Hamas, karena itu urusan internal Mesir.
Melalui pembicaraan telepon dengan seorang pejabat senior Hamas, menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas memburuknya hubungan antara Qatar dan Arab Saudi. Pejabat senior Hamas itu, menegaskan bahwa pemimpin Hamas mengadaknya pertemuan rahasia, membahas implikasi memburuknya hubungan Arab Saudi dengan Qatar terhadap Hamas.
Pejabat Hamas itu, bahwa tindakan Arab Saudi memaksa Qatar memutuskan hubungan dengan Ikhwanul Muslimin akan berakibat buruk terhadap Hamas, karena Qatar menjadi tulangpunggung Hamas, dan satu-satunya pendukung keuangan dan politik bagi Hamas.
Hamas mensikapi keputusan Arab Saudi terhadap Ikhwan lebih banyak diam. Bahkan, belum ada komentar resmi yang dibuat oleh pejabat Hamas, tentang keputusan Saudi melakukan kriminalisasi Ikhwanul Muslimin atau hubungan Saudi-Qatar. Sebaliknya, Ikhwanul Muslimin cabang Jordania cukup berani menyatakan oposisinya terhadap langkah Saudi.
Juru bicara Ikhwan di Jordan, Zaki Bin Irsheid, menyatakan bahwa ia menganggap keputusan Saudi terburu-buru dan emosional. "Saya terkejut bahwa Arab Saudi akan membuat keputusan seperti itu pada saat ini, terutama karena sedang terancam oleh tindakan Amerika dan Zionis mengenai program nuklir Iran di kawasan itu”, katanya.
“Apakah mungkin bahwa pemerintah Saudi bekerja sama dengan Bashar Al –Assad? Di mana Bashar al-Assad memiliki sentimen anti–Ikhwan, dan terus melakukan penindasan terhadap Ikhwan”, kata pejabat Ikhwan.
Dua sistem pemerintahan di wilayah Teluk ini didirikan dan dijalankan atas perjanjian antara penguasa keluarga kerajaan dan gerakan-gerakan keagamaan. Keluarga penguasa Saudi, pertama adalah bahwa Al-Saud, dan yang kedua adalah monarki Hashemit di Yordania. Keluarga kerajaaan Arab Saudi, kekuasaannya diperoleh berdasarkan kontrak sosial dan politik dengan gerakan Wahhabi.
Sedangkan, Jordania membentuk kerjasama pemahaman dengan Ikhwanul Muslimin. Pertanyaan kritis yang muncul sekarang adalah tindakan apa yang akan diambil oleh Jordania, sesudah Arab Saudi menghabisi Ikhwanul Muslimin?
Akankah Arab Saudi mendorong Jordania mengucilkan dan mencap teroris terhadap Ikhwan? Sama seperti tindakan Saudi terhadap Ikhwan? Apakah Jordan akan mengikuti jejak Riyadh, melarang kegiatan Ikhwan atau akan lebih memilih tidak mengambil tindakan apapun terhadap Ikhwan?
Aliansi antara Kerajaan Arab Saudi dan Jordania sangat kuat. Tapi, sudah bukan rahasia lagi bahwa hubungan ini, memburuk antara Jordania dan Qatar, dan alasan ini pula mengapa pemerintah di Doha menolak memberikan bantuan ekonomi ke Amman. Ini juga menjelaskan penolakan Qatar mempekerjakan warga negara Jordania dalam lembaga-lembaga ekonomi Qatar.
Keputusan Jordania berbeda dengan Arab Saudi dan keputusan Mesir melakukan kriminalisasi Ikhwanul Muslimin bisa berakibat tak terduga.
Terutama saat-saat Jordan sedang menghadapi banyak 'ranjau' politik, dan kondisi politik di Timur Tengah yang sangat rentan, sewaktu-waktu bisa terjadi ledakan krisis yang lebih hebat. Krisis Suriah berkembang lebih komplek hari demi hari, dan berada pengaruh kepentingan Amerika, Arab Saudi dan Qatar, dan ini bisa menggagalkan untuk menggulingkan rezim Assad.
Situasi di Irak juga sangat tidak stabil, dan seperti gunung berapi, yang bisa meletus setiap saat. Adapun Pendudukan Palestina, mereka berada di ambang intifadhah ketiga, karena usaha yang gagal Otoritas Palestina melakukan negosiasi damai dengan Israel.
Pihak berwenang Jordania sekarang harus membuat beberapa keputusan yang sangat sulit dan setiap keputusan yang mereka buat, harus dibayar dengan harga yang mahal. Dalam hal ini, pilihan paling aman adalah tidak melakukan pilihan apapun. Hal ini lebih aman tidak melakukan apa-apa. Karena masa depan rezim junta militer Mesir berada di ujung tanduk. Termasuk Arab Saudi. (afgh/wb/voa-islam)
0 komentar:
Post a Comment