Benarkah Thariq Bin Ziyad Membakar Perahunya
Sejauh manakah kebenaran peristiwa yang menyebutkan bahwa Thariq bin Ziyad membakar semua perahu yang ia gunakan untuk menyeberangi lautan, dengan tujuan memberikan semangat kepada pasukannya untuk berperang.
Sembari mengatakan, “Lautan di belakang kalian dan musuh di depan kalian, maka kalian tidak akan mungkin selamat kecuali dengan pedang-pedang kalian.”
Pada kenyataannya, ada ahli sejarah yang membenarkan kisah ini, namun ada pula yang tidak membenarkan kisah tersebut. Dan penulis berada di pihak para ahli sejarah yang menganggap kisah ini sebagai salah satu kisah yang bathil, disebabkan beberapa faktor :
1. Kisah ini sama sekali tidak mempunyai sanad yang shahih dalam sejarah islam. Ilmu Ar Rijal dan ilmu Al Jarh wa at Ta’dil yang menjadi keistimewaan kaum muslimin dari kalangan lainnya menuntun kita kepada riwayat yang shahih, yang harus dipastikan melalui jalur orang-orang yang dapat dipercaya. Dan, riwayat ini tidak hanya terdapat dalam riwayat-riwayat kaum muslimin yang terpercaya sejarahnya, namun juga datang dari sumber-sumber dan riwayat sejarah eropa yang menuliskan tentang peristiwa Lembah Barbate.
2. Bahwa jika saja pembakaran perahu yang dilakukan oleh Thariq bin Ziyad itu benar-benar terjadi, maka pasti akan menimbulkan reaksi dari pihak Musa bin Nushair atau Al Walid bin Abdul Malik, yang setidaknya mempertanyakan tentang kejadian itu, atau setidaknya ada riwayat yang menyebutkan adanya dialog antara Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad seputar kejadian tersebut. Atau, setidaknya ada komentar dari para ulama kaum muslimin seputar boleh tidaknya tindakan tersebut. Namun semua sumber sejarah yang menyebutkan kisah ini dan yang lainnya sama sekali tidak menyebutkan hal-hal tersebut. Hal ini memberikan keraguan yang besar terhadap terjadinya peristiwa pembakaran ini.
3. Bahwa sumber-seumber Eropa telah mempopulerkan hal ini, karena mereka tidak mampu menjelaskan atau meberikan penafsiran tentang bagaimana 12.000 orang prajurit kaum muslimin yang berjalan kaki dapat mengalahkan 100.000 pasukan berkuda dari pihak Ghotic Kristen di negeri mereka sendiri, dan di wilayah yang mereka sendiri telah mengenalinya dengan sangat baik. Maka dalam upaya mereka mencari penjelasan yang memuaskan tentang kemenangan yang aneh itu, mereka pun mengatakan, “ Thariq bin Ziyad telah membakar perahu-perahunya untuk memberikan tentang kemenangan satu dari dua pilihan kepada kaum muslimin; tenggelam di lautan yang ada di belakang mereka, atau binasa menghadapi pasukan Kristen yang ada di hadapan mereka.”
Kedua pilihan itu berujung pada kematian yang pasti. Karenanya, jalan keluar satu-satunya menghadapi pilihan yang sulit ini adalah mati-matian dalam pertempuran; untuk menghindari kematian yang meliputi dari segala penjuru. Sehingga menjadi alamiah sekali jika hasilnya kemudian adalah kemenangan. Seandainya mereka punya pilihan untuk kembali, maka mereka pasti akan kembali dengan mengendarai perahu-perahu itu dan menarik pulang ke negeri mereka.
Seperti itulah orang-orang Kristen Barat menafsirkan rahasia terbesar, menurut mereka, mengenai kemenangan kaum muslimin di Lembah Barbate. Mereka dalam hal ini dapat dimaklumi, karena tidak memahami prinsip Islam yang popular dan tercatat di dalam Kitabullah yang mengatakan,
“Betapa banyak kelompok yang sedikit dapat mengalahkan kelompok yang banyak jumlahnya dengan izin Allah, dan Allah itu bersama dengan orang-orang yang sabar.” (al Baqarah ; 249)
Orang yang melihat lembaran sejarah Islam akan menemukan bahwa “hukum asal”nya bagi kaum muslimin adalah meraih kemenangan pada saat jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan musuh-musuh mereka yang banyak. Bahkan yang luar biasanya adalah, jika jumlah kaum muslimin lebih banyak daripada musuh-musuh mereka, lalu mereka sombong dengan kelebihan itu, maka akibatnya pasti adalah kekalahan bagi kaum muslimin. Hal inilah yang terjadi pada Perang Hunain. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan (ingatlah) pada hari Hunain, ketika kalian takjub dengan jumlah kalian yag banyak, namun itu sama sekali tidak membantu kalian. Dan bumi menjadi sempit dengan semua kelapangannya untuk kalian, lalu kalian pun berbalik arah meninggalkan (medan pertempuran). (at Taubah ; 25)
Dari sinilah sejarawan Eropa, didasari oleh ketidaktahuan dan niat yang buruk, berusaha menetapkan penafsiran dan alasan yang rapuh tersebut; agar dapat memastikan bahwa kekalahan pihak Kristen memang disebabkan karena situasi dan kondisi yang tidak berimbang, dan bahwa kaum muslimin mendapatkan kemenangan tidak lain karena situasi dan kondisi yang sangat spesifik.
4. Lagi pula sejak kapan kaum muslimin membutuhkan gaya semangat seperti ini sampai-sampai harus membakar perahu-perahu mereka? Lalu apa yang akan mereka lakukan dalam situasi seperti ini- dan itu banyak terjadi dalam sejarah mereka, jika mereka sama sekali tidak menggunakan perahu dan tidak ada laut di sekitar mereka? Jadi kaum muslimin tidak datang ke pulau ini kecuali karena ingin berjihad, dan mencari syahid di jalan Allah. Karena itu mereka sama sekali tidak memerlukan dorongan semangat dengan cara membakar perahu, meski yang seperti itu mungkin boleh saja bagi orang lain selain mereka.
5. Sama sekali tidak masuk akal bahwa seorang panglima setangguh Thariq bin Ziyad akan melakukan pembakaran perahu-perahunya dan memutuskan jalan pulang bagi pasukannya. Lalu bagaimana jika yang terjadi adalah kaum muslimin dalam pertempuran ini; dan ini adalah hal yang sangat mungkin terjadi? Apakah tidak mungkin terjadi roda pertempuran justru berbalik kepada kaum muslimin, khususnya jika mereka menyadari firman Allah,
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertemu dengan orang-orang kafir dalam pertempuran yang sengit, maka janganlah kalian berpaling meninggalkan mereka. Dan barangsiapa yang berpaling meninggalkan mereka selain untuk kembali berperang atau bergabung kepada salah satu kelompok pasukan, maka ia telah pulang membawa kemurkaan dari Allah, dan tempat kembalinya adalah jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”(Al Anfal: 15-16)
Jadi dengan begitu tetap ada kemungkinan kaum muslimin menarik diri mundur dari medan pertempuran; yaitu bisa jadi menghindar untuk melakukan pertempuran baru, atau berpindah kepada kelompok pasukan Islam yag lain; karena disana juga terdapat kelompok pasukan Islam di Maghrib, di kawasan Afrika Utara. Jadi bagaimana kemudian Thariq bin Ziyad meghilangkan kesempatan menghindar dan menyiapkan pasukan baru, atau menghapuskan jalan untuk bergabung dengan pasukan kaum muslimin lainnya? Dari sinilah, maka masalah pembakaran perahu ini dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang berlebihan secara syar’I, yang tidak mungkin dilakukan Thariq bin Ziyad, dan sudah pasti para ulama dan penguasa kaum muslimin tidak akan tinggal diam berpangku tangan mendiamkan kejadian ini jika memang benar-benar terjadi.
6. Dan ini poin terakhir dalam membantah periwayatan kisah ini adalah, Thariq bin Ziyad tidak memiliki semua perahu yang berada dalam kepemimpinannya. Sebagian perahu itu, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat, bahwa Julisan si Penguasa Sabtah telah memberikannya beberapa perahu dengan sejumlah upah untuk digunakan menyeberang untuk kemudian dikembalikan lagi kepada Julian, lalu digunakannya menyeberang kembali ke Andalusia, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya. Karena itu, Thariq bin Ziyad sama sekali tidak memiliki perahu-perahu tersebut.
Atas dasar ini semua, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kisah pembakaran perahu-perahu itu adalah kisah yang dibuat-buat, dan kisah ini disebarkan tidak lain dengan tujuan untuk meremehkan penaklukkan Andalusia dan kemenangan kaum muslimin.
DR. Raghib As Sirjani
"Bangkit dan Runtuhnya Andalusia"
Pustaka Al Kaustar hal 64-68
0 komentar:
Post a Comment