Joko Widodo Diktator Baru Ciptaan Sang Dalang


Koalisi Jokowi-JK layak disebut sebagai Orde Baru IV, mengapa Orde Baru IV? Jawabnya adalah karena koalisi yang diusung Jokowi-JK sekarang ini tidak bisa tidak tetap merupakan kelanjutan dari metamorfosa Orde Baru sebelumnya yaitu Orde Baru I (Presiden Soeharto); Orde Baru II (Presiden Habibie); dan Orde Baru III (Presiden Megawati). Sistem pemerintahan, pranata penunjang, para pendukung yang berada di dalam koalisi Jokowi-JK adalah orang-orang yang terlibat pada periode pertama Orde Baru I (1967-1989). Lebih jauh, filosofi dan semangat yang terasa masih sama dengan apa yang kita rasakan pada jaman Orde Baru I yang represif dan otoriter.

Terus terang, sangat sulit untuk mencari perbedaan yang bisa membuat kita mengatakan bahwa kubu Jokow-JK adalah koalisi reformis yang akan membentuk rezim baru. Yang hilang dari tatanan koalisi Jokowi-JK adalah Presiden Soeharto, akan tetapi pendiri Orde Baru dan konseptor pemikiran “kuda boleh berganti tapi joki harus sama” yaitu CSIS ada di belakang Jokowi dan JK.

Dalam kasus tabloid Obor Rakyat yang mengungkap pendapat yang beredar di masyarakat tentang sisi negatif dari capres Joko Widodo malah dihadapi oleh Jokowi-JK dengan melakukan kriminalisasi yang jelas merupakan tindakan intimidasi, dan teror terhadap salah satu hak paling asasi bagi manusia sehingga tidak bisa dihilangkan dalam keadaan apapun juga sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD’45 yaitu: hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Ironisnya kebijakan Jokowi-JK untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga masyarakat yang melaksanakan hak asasinya untuk mencari dan menyampaikan informasi justru mendapat dukungan sepenuhnya dari orang-orang yang selama ini terus memperoleh kredit untuk menumbangkan Orde Baru I sebagai “rezim otoriter yang mengkriminalisasi rakyat yang menggunakan haknya untuk berekspresi,” ambil contoh Tempo ([url]http://m.kompasiana.com/post/read/668984/1/knp-tempo-pro-kriminalisasi-kebebasan-berpendapat.html[/url]) demikian juga dengan kasus Gallery of Rogues the Rise of Bad Guys ala Wimar Witoelar; Fadjroel Rahman; Anies Baswedan dkk dengan pesan yang sangat jelas yaitu koalisi Jokowi-JK telah mengadopsi kebijakan stigmatisasi ala Orde Baru I: “bahwa kami adalah orang baik dan yang tidak di pihak kami adalah penjahat, oposisi terhadap kami dilakukan oleh setan komunis dan harus dikriminalisasi.”

Dalam skala yang lebih luas, intimidasi dan teror juga dilakukan oleh pasukan dunia maya Jokowi-JK yang dikoordinir oleh Kartika Djoemadi dari PT Spindoctors Indonesia dengan Jasmev; di mana dalam dua tahun terakhir mereka telah membangun budaya kekerasan; advocating violence; intimidasi terhadap semua orang, baik warga masyarakat maupun figur publik yang mengkritisi sosok Jokowi, baik sebagai pejabat publik yang tidak kompeten maupun sebagai manusia yang tidak amanah. Teror dari Jasmev terang dilakukan dengan niat jahat yaitu memastikan tidak ada seorangpun berani mengkritik Jokowi sekalipun kritikan tersebut berdasar. Akhirnya memang cukup banyak yang kehilangan rasa kritis sepanjang mengenai Jokowi karena bullying yang dilakukan Jasmev di dunia maya tersebut, contohnya adalah Sutiyoso ([url]http://berita.plasa.msn.com/nasional/bang-yos-capek-saya-kritik-jokowi-saya-diserang-habis-habisan[/url]).

Bagaimana bisa Jokowi dan JK bermimpi menjadi presiden tapi bertelinga tipis dan cepat merah mukanya? Bersama semua priviledge dalam menjadi presiden juga mengikuti sebuah “resiko” yang tidak bisa diganggu gugat yaitu kehidupan Jokowi-JK akan dianggap sebagai buku yang terbuka; kehidupan mereka adalah hidup yang diketahui publik. Seorang pejabat publik seperti Jokowi harus membiasakan diri menerima pemberitaan dan jangan cepat menuduh orang mencemarkan nama baik atau fitnah sebab kepentingan umum untuk mengetahui bibit, bebet dan bobot pejabat publiknya mengesampingkan kepentingan pribadi sang pejabat atas reputasinya.

Oleh karena itu Jokowi-JK seharusnya tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat; dan pendukung Jokowi-JK terutama dari kalangan aktivis demokrasi dan HAM seharusnya membela prinsip hak asasi ketika calon yang mereka dukung mencederai prinsip tersebut. Bisakah para aktivis berkelahi dengan hati nurani mereka saat kepentingan demokrasi yang paling fundamental seperti kebebasan berpendapat berhadapan dengan syahwat mereka untuk berkuasa dan memperoleh jabatan? Bisakah mereka mempertanggungjawabkan dukungan mereka kepada Jokowi-JK pada hati nurani dan sejarah ketika mereka begitu mudahnya mencampakan prinsip dan perjuangan mereka?

Mengapa para aktivis demokrasi di tubuh Jokowi-JK alergi berbicara mengenai pasukan dunia maya Jokowi dan membiarkan Jasmev membunuh karakter orang yang mengkritisi Jokowi secara membabi buta? Tidakkah mereka terganggu ketika reputasi orang diinjak-injak dan hak-hak politik warga negara dibunuh pasukan dunia maya Jokowi? Kita ambil contoh akun Partai Socmed di twitter yang sudah diakui oleh Kartika Djoemadi sebagai salah satu akun resmi Jasmev ([url]http://m.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/03/30/jasmev-bantah-relawan-jokowi-di-dunia-maya-dibayar[/url]); mereka menulis Nanik S. Deyang, mantan timses Jokowi adalah pelacur ([url]http://chirpstory.com/li/215079[/url]).

Alasan Jasmev menulis demikian? Karena Nanik S. Deyang yang mantan timses utama Jokowi sekarang berseberangan dan membuka banyak informasi “orang dalam” untuk mengkritisi Jokowi. Adapun alasan Nanik tidak mendukung Jokowi adalah karena dia menemukan fakta Jokowi adalah sosok ambisius yang telah menelantarkan warga Jakarta demi ambisi sesatnya. Namun bukannya membuat tulisan ilmiah untuk membantah tulisan Nanik tentang Jokowi; Jasmev malah berusaha membunuh karakter Nanik S. Deyang dengan menyebutnya sebagai pelacur!

Perilaku anti kritik Jokowi dan pendukungnya jelas tidak sehat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan akademis dan kehidupan demokrasi yang ditandai dengan usaha mereka mematikan perdebatan pikiran, dan dialog dengan menakut-nakuti orang yang mengkritik Jokowi. Baik kritik itu benar atau kritik itu salah, namun kebebasan menulis dan berekspresi dilindungi konstitusi kita! Saya menolak diktator baru di negeri ini; Soeharto tumbang bukan untuk melahirkan petugas partai yang menjadi diktator baru! (Turuhuru) DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About MUSLIMINA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment