Pembantaian Muslim Rohingya: Inikah Finalisasi Genosida?
Aung San Suu Kyi tampaknya sedang menyiapkan tahap akhir pembantaian warga muslim Rohingya. Finalisasi genosida. Wanita lembut yang kemudian berubah menjadi “algojo” itu, tidak punya dalil lagi untuk membantah bahwa dia bukan bagian dari pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang telah dilakukan militer, polisi, dan ekstremis-teroris di Myanmar yang menyandang nama Budha.
Tampaknya Suu Kyi pun sekarang ini bisa diyakinkan oleh tentara fasis Myanmar bahwa warga muslim Rohingya harus dihabisi. Dia tidak mencegah itu, bahkan cenderung memberikan lampu hijau. Dia telah melupakan prinsip-prinsip kemanusiaan yang dulu dia perjuangkan.
Setelah memegang kekuasaan, barulah ketahuan bahwa Suu Kyi adalah salah seorang diantara para pembantai itu. Bedanya, Suu Kyi beruntung bisa mendapatkan kesempatan kuliah di Universitas Oxford, Ingris –salah satu universitas terbaik di dunia.
Setelah berkuasa, barulah ketahuan bahwa Suu Kyi tidak berbeda dengan jenderal-jenderal brutal Myanmar. Dia sekarang semakin mendekati pusaran kebengisan teroris yang membawa nama Budha. Semakin dekat dengan cara pandang para teroris itu tentang kemanusiaan.
Jadi, Hadiah Nobel Perdamaian yang diterima oleh aktivis demokrasi yang berubah menjadi “the mother of genocide” (ibu genodisa) itu, kini telah berlumuran dengan darah anak-anak Rohingya. Komite Hadiah Nobel Swedia sudah saatnya menarik kembali penghargaan yang diberikannya kepada Suu Kyi di tahun 1991 itu.
Kalau tidak ditarik, maka pilihan lain bagi Komite Nobel adalah membuat satu lagi kategori Hadiah Nobel, yaitu kategori genosida (genocide category). Umumkan segera transfer Hadiah Nobel untuk Suu Kyi dari kategori perdamaian ke kategori genosida. Dengan begitu, Komite Nobel tidak perlu repot-repot membersihkan cendera mata Nobel Perdamaian dari lumuran darah anak-anak dan wanita muslimin Rohingya.
Yang kita usulkan adalah penarikan Nobel Perdamaian itu. Sebab, pembentukan kategori baru akan membuat Komite harus menyediakan ribuan Nobel Genosida untuk para teroris yang berbaju Budha. Apalagi sekarang Suu Kyi, bersama militer dan para teroris itu, sedang menyelesaikan “road map” untuk finalisasi genosida. Pastilah akan semakin banyak “pahlawan” genosida yang akan sangat pantas dianugerahi Nobel Genosida.
Dan, persiapan babak final genosida itu kelihatannya sudah matang. Kampung-kampung Rohingya sudah dikepung dari semua penjuru. Personel militer dan kepolisian Myanmar sudah siap melancarkan operasi akhir.
Suu Kyi tidak lagi mendengarkan imbauan dari luar. PBB dan ASEAN tidak dihiraukannya. Bahasa diplomasi bagaikan tablet yang tak punya dosis lagi untuk meredakan “demam genosida” yang menjangkiti Suu Kyi, militer, polisi, dan para teroris yang melantunkan zikir Budha.
Kebrutalan dan kebengisan kini menjadi kultur yang trendy di kalangan mereka. Penyiksaan keji, pembunuhan, pemerkosaan wanita Rohingya dan pembumihangusan kampung-kampung mereka adalah isi buku panduan mereka tentang Rohingya.
Warga Rohingya tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan mesin kebrutalan Myanmar yang telah disiapkan selama puluhan tahun. Hanya mukjizat yang bisa menyelamatkan mereka.
Dari pijakan mukjizat ini orang luar mengharapkan sesuatu. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, kaum muslimin Indonesia tidak bisa mengharapkan apa pun dari pemerintah Jokowi. Paling-paling kecaman keras kepada Myanmar.
Kalau sekiranya Presiden Joko Widodo tega mengusir dutabesar Myanmar, ini saja mungkin bisa mengundang sujud syukur massal. Apalagi Presiden sampai berani memutuskan hubungan dilpmatik dengan Myanmar, pasti rakyat akan melihat “New Joko Widodo”.
Tampaknya semua ini hanya impian belaka. Yaitu, menghayalkan Jokowi akan tampil keras. Mengangan-angankan Jokowi akan membela kaum muslimin.
Buktinya, beberapa hari lalu Kemlu RI tampil dengan “kepala tiruan” ketika mengeluarkan pernyataan. Yang disalahkan oleh Kemlu bukan rezim fasis Myanmar, melainkan para pejuang perlawanan Rohingya yang mereka katakan sebagai pihak yang membuat gara-gara.
(Oleh: Asyari Usman, Penulis adalah wartawan senior)
0 komentar:
Post a Comment