Dewan Rohingya Eropa: “Militer Myanmar Rekayasa Kenyataan yang Terjadi di Rakhine”
Hla Kyaw, Ketua Dewan Rohingya Eropa, akhirnya angkat bicara menanggapi serangan di 30 pos perbatasan Myanmar-Bangladesh, di Maungdaw yang merenggut nyawa hampir 90 jiwa.
Ketua Dewan Rohingya Eropa tersebut menegaskan bahwa “Militer Myanmar telah merekayasa kenyataan yang saat ini terjadi di negara bagian Rakhine”, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
Kenyataan kronologis berserta fakta-fakta yang ada direkayasa sedemikian rupa untuk membenarkan kebijakan jam malam, operasi brutal militer dan mencegah hadirnya tim pencari fakta independen untuk mengungkap konflik Rakhine.
Hla Kyaw menambahkan: “Menurut informasi yang kami terima, tadi malam pasukan keamanan memprovokasi anggota-anggota ARSA dan orang-orang tercinta mereka sampai pada tahap di mana mereka bereaksi untuk menyelamatkan nyawa mereka dan untuk membela orang-orang yang mereka cintai dari serangan militer.
“Tentara memanfaatkan kesempatan itu untuk membenarkan pembunuhan massal, pemerkosaan dan penangkapan.”
Tujuan akhir adalah untuk mengacaukan negara, untuk mencegah hadirnya tim misi pencarian fakta PBB, bukan untuk melaksanakan rekomendasi Komisi Penasihat Rakhine dan yang terpenting, untuk lebih meminggirkan Muslim Rohingya”, pungkasnya.
ARSA mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan aksi balasan atas operasi keji penggerebekan, pembunuhan dan penjarahan serta pembakaran rumah dan pemerkosaan oleh tentara-tentara Myanmar yang dikerahkan di wilayah tersebut setelah kematian 7 penduduk desa awal bulan ini.
“Ketika kekejaman mereka terhadap orang-orang yang tidak bersalah telah mencapai batas toleransi kami dan mereka akan melancarkan serangan terhadap kami, kami akhirnya harus melangkah untuk membela orang-orang yang tidak berdaya dan diri kami sendiri,” pungkas Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) .
Serangan tersebut terjadi hanya beberapa jam setelah Komisi Penasehat yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembatasan terhadap Muslim Rohingya di daerah tersebut.
“Kami telah melakukan tindakan-tindalam defensif terhadap pasukan perusak Burma di lebih dari 25 tempat yang berbeda di seluruh wilayah,” ujar kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan secara online di kalangan aktivis Tohingya.
Ditrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap. Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.
“Bayi dan Anak-Anak Dibunuh, Perempuan Diperkosa Massal”
Ratusan orang dilaporkan tewas akibat tindakan keras militer pada Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine barat Myanmar, demikian pernyataan kantor hak asasi manusia PBB, hari Jumat (03/02).
Pasukan keamanan Myanmar telah melakukan perkosaan massal, pembunuhan keji- termasuk para bayi dan anak-anak, pemukulan brutal, penghilangan dan pelanggaran HAM lainnya yang serius di bagian utara negara bagian Rakhine sejak awal Oktober, seperti disebutkan dalam sebuah laporan terbaru Ketua Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra’ad al-Hussein.
“Operasi [militer] pembersihan daerah-daerah mengakibatkan beberapa ratus kematian,” kata laporan HAM PBB itu, ini mengacu pada operasi militer menyusul tewasnya sembilan petugas polisi pada awal Oktober di daerah Maungdaw dekat perbatasan negara itu dengan Bangladesh.
Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan 204 pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
“Banyak kesaksian yang dikumpulkan dari para pengungsi yang berasal dari desa-desa yang berbeda … menegaskan bahwa tentara [Myanmar] sengaja membakar rumah-rumah saat terdapar keluarga [Rohingya] di dalamnya, dan dalam kasus lain mendorong penduduk Muslim Rohingya masuk ke rumah-rumah yang sudah terbakar,” papar laporan itu.
“Pembunuhan orang-orang [Rohingya] ketika mereka shalat, saat memancing untuk memberi makan keluarga mereka, atau saat tidur di rumah-rumah mereka, pemukulan brutal anak-anak seusia 2 tahun dan seorang wanita tua berusia 80 tahun – pelaku pelanggaran ini, dan orang-orang yang memerintahkan mereka, harus bertanggung jawab,” kata Komisaris Tinggi Zeid Ra’ad al-Hussein dalam laporannya.
Zeid menyerukan pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan pelanggaran HAM berat di daerah itu.
“Saya menyerukan kepada masyarakat internasional, dengan segala kekuatannya, untuk bergabung dengan saya, untuk mendesak kepemimpinan di Myanmar untuk menghentikan operasi militer,” tegas Zeid.
“Gravitasi dan skala tuduhan ini menimbulkan reaksi yang kuat dari masyarakat internasional”, pungkasnya.
Badan Dana Anak-anak PBB, UNICEF, menyuarakan keprihatinan pihaknya atas pelanggaran berat hak-hak anak di bagian utara negara bagian Rakhine.
“Pelanggaran semacam ini terhadap hak-hak anak, benar-benar tidak dapat diterima. Setiap anak memiliki hak untuk mendapat perlindungan, terlepas dari jenis kelamin mereka, suku, agama atau kebangsaan, dalam setiap keadaan,” kata UNICEF.
UNICEF menambahkan klaim pelanggaran hak-hak anak harus diselidiki secara menyeluruh dan para pelanggar harus dituntut.[panjimas]
0 komentar:
Post a Comment