Bunyi Tembakan Terdengar Saat Ribuan Etnis Rohingya Larikan dari Kekerasan di Myanmar


Pemerintah Myanmar mengatakan telah mengevakuasi 4.000 penduduk non-Muslim di tengah bentrokan yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine di bagian barat laut, di saat ribuan Muslim Rohingya berusaha melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh pada hari Ahad lalu.

Menurut sebuah rilis resmi dikutip Reuters, jumlah korban tewas akibat kekerasan yang meletus pada hari Jumat dengan gerilyawan Rohingya telah meningkat menjadi 104, sebagian besar anggota gerilyawan. Ditambah 12 anggota pasukan keamanan dan beberapa warga sipil.

Pemerintah mengatakan sedang menyelidiki apakah ada anggota kelompok bantuan internasional yang terlibat dalam peristiwa pengepungan yang diduga dilakukan pemberontak di Rakhine.

PBB telah menarik keluar staf-staf nya yang tidak berkepentingan, dari daerah tersebut, kata seorang juru bicara. Sementara Pemimpin Katolik, Paus Fransiskus mengungkapkan solidaritasnya terhadap etnis Rohingya pada ibadah mingguannya di Roma.

Dengan meningkatnya lebih banyak kekerasan, ribuan etnis Muslim Rohingya – kebanyakan wanita dan anak-anak – berusaha untuk menyebrangi Sungai Naf, yang memisahkan Myanmar, Bangladesh dan perbatasan darat.

Wartawan Reuters di perbatasan mendengar tembakan dari sisi Myanmar, yang memicu para pengungsi Rohingya ketakutan dan terburu-buru, melarikan diri ke tanah tak bertuan di perbatasan antara negara-negara tersebut.

Di dekat Desa Gumdhum di Bangladesh, Amir Hossain yang berusia 61 tahun mengatakan kepada Reuters “Tolong selamatkan kami!”.

“Kami ingin tinggal di sini. Jika tidak, kami akan terbunuh,” lanjutnya.

Menurut perkiraan pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp darurat di Bangladesh, sekitar 2.000 orang telah berhasil menyeberang ke Bangladesh sejak Jumat lalu.
Amena Khatun (kedua dari kiri) dan keluarganya memasuki kamp Balukhali di Cox’s Bazar [CNN]
Kekerasan baru-baru ini menandai peningkatan dramatis konflik yang telah merebak di kawasan ini sejak Oktober tahun lalu, ketika serangan serupa, namun jauh lebih kecil, mendorong sebuah operasi militer brutal yang disebabkan oleh tuduhan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

Perlakuan terhadap 1,1 juta minoritas Muslim Rohingya di dalam negara Myanmar (Burma) yang mayoritas beragama Buddha, telah muncul sebagai tantangan terbesar bagi pemimpin nasional Aung San Suu Kyi.

Suu Kyi hanya mengecam apa yang dilakukan kelompok gerilyawan pemegang senjata,  yang menyerang 30 kantor polisi dan sebuah pangkalan militer.

Win Myat Aye, Menteri Kesejahteraan Sosial, Bantuan dan Pemukiman Myanmar, mengatakan kepada Reuters pada Sabtu malam bahwa 4.000 “penduduk desa” yang telah meninggalkan desa mereka telah dievakuasi, merujuk pada penduduk non-Muslim di wilayah tersebut.

Pertikaian sedang Berlangsung

Sebuah kelompok Militer yang dikenal sebagai Tatmadaw melaporkan terjadinya beberapa bentrokan yang melibatkan ratusan gerilyawan Rohingya di negara bagian Rakhine utara pada hari Ahad.

“Pasukan Tatmadaw yang pergi ke Desa Nanthataung untuk operasi juga menghadapi sekitar 800 “teroris Bengali” pada pukul 9 pagi hari ini. Mereka masih bertarung di sana,” ujar pasukan militer dalam sebuah pernyataan.

Istilah “Bengali” dipandang menghina banyak orang Rohingya karena ini berarti mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Padahal, banyak warga Rohingya terdaftar sebagai keluarga di Myanmar selama beberapa generasi.

Pemerintah mengatakan sedang menyelidiki adanya kemungkinan staf organisasi non-pemerintah internasional terlibat saat kelompok itu mengepung dan memblokade sebuah desa pada bulan Agustus.

Menyusul pernyataan tersebut, seorang reporter lokal di kota Buthidaung mengatakan kepada Reuters bahwa dia telah melihat hampir 100 staf agen bantuan internasional meninggalkan kota dengan kapal cepat.

Pemerintah juga memposting ulang foto kemasan biskuit dengan logo Program Pangan Dunia (WFP) di atasnya yang menurutnya ditemukan di sebuah kamp  pada bulan Agustus.
Pria Rohingya saling membantu menyelamatkan barang di atas pagar perbatasan Bangladesh-Myanmar saat memasuki Bangladesh di Cox’s Bazar, 27 Agustus 2017 [Mohammad Ponir Hossain]
WFP mengatakan bahwa pihaknya melakukan penanganan serius terhadap tuduhan pengalihan makanan tersebut. Juga menambahkan bahwa pihaknya telah meminta rincian tentang biskuit tersebut dari pihak berwenang, namun belum pernah mendengarnya kembali.
“Mengingat situasi di lapangan, PBB di Myanmar telah memutuskan untuk memindahkan sementara para staf non-kritis dari Maungdaw,” kata PBB. Merujuk pada sebuah kota besar lain di Rakhine utara, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Tanah Tak Bertuan

Etnis Muslim Rohingya telah bertahun-tahun menjalani kondisi layaknya kelompok apartheid di Myanmar barat laut. Mereka ditolak kewarganegaraannya dan menghadapi pembatasan gerakan yang parah. Banyak umat Buddha Myanmar menganggap mereka sebagai imigran gelap dari Bangladesh.

Pemerintah Myanmar meminta warga sipil Rohingya untuk bekerja sama dengan pasukan keamanan dan mengatakan bahwa mereka yang tidak terkait dengan pemberontak tidak akan terpengaruh.

Pemerintah juga menyalahkan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang dianggap menghasut serangan Oktober dan mengaku bertanggung jawab atas serangan terbaru, sebagai sebuah organisasi “teroris” setelah serangan tersebut.

Pada hari Ahad, pemerintah juga mengindikasikan bahwa pihaknya mungkin akan mengambil tindakan terhadap media yang menyebut kelompok tersebut “pemberontak” dan bukan “teroris” sesuai dengan penunjukan pemerintah.

Di tanah tak bertuan dekat Gumdhum, Bangladesh, puluhan wanita Rohingya yang mengenakan burqa, duduk di bawah beberapa lembar plastik hitam yang melindungi mereka dari sinar matahari yang menyengat.

Sejumlah pria Rohingya berlari ke daerah yang tidak berpenghuni antara kedua negara setelah beberapa tembakan senjata terdengar di sisi Myanmar.
Pejabat penjaga perbatasan Bangladesh mengatakan bahwa mereka menyediakan makanan dan minuman kepada etnis Rohingya, namun tidak ada yang akan membiarkannya masuk.

Etnis Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak awal 1990-an dan sekarang ada sekitar 400.000 orang di negara tersebut, di mana mereka menjadi sumber ketegangan antara kedua negara yang menganggap keduanya sebagai warga dari negara lain.

Hidayatullah DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment