"Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer"
Nasib warga Rohingya kian tragis. Mereka yang memutuskan pergi mencari suaka masih terombang-ambing. Sementara mereka yang masih menetap di Myanmar terus mendapat kekerasan.
Sejak 9 Oktober 2016, pascapenyerangan pos polisi oleh sekelompok anak muda yang diduga warga Rohingya, militer Myanmar melakukan operasi militer di daerah Maungdaw, bagian utara negara bagian Rakhine. Operasi militer itu diikuti dengan pembunuhan tanpa peradilan, pembakaran pemukiman, pemerkosaan, penyiksaan dan pengusiran secara paksa.
Burma Human Rights Network (BHRN) telah melakukan beberapa wawancara dengan beberapa Rohingya yang berhasil melarikan diri dari Maungdaw dikarenakan tindakan kekerasan oleh pasukan Myanmar.
Direktur Eksekutif BHRN Kyaw Win berada di Indonesia sepanjang akhir November ini dan bercerita tentang banyak hal tentang Rohingya di Myanmar. Berikut kutipan wawancara reporter Tirto.ID Wan Ulfa Nur Zuhra dan Aqwam Fiazmi Hanifan dengan Kyaw Win, Kamis (24/11).
Apa yang sebenarnya terjadi pada 9 Oktober lalu?
Pada 9 Oktober, ada kelompok kecil remaja membawa alat-alat pertanian dan benda tajam, mereka menyerang kantor polisi di perbatasan Bangladesh. Selain membunuh polisi, mereka juga mencuri senjata dan lebih dari10 ribu peluru, lalu mereka lari. Anak-anak ini diduga dari kelompok Rohingya. Sejak itu, operasi militer dimulai.
Pemerintah menuduh mereka berafiliasi dengan Saudi, Pakistan dan negara-negara islam. Menurut kami, kalau memang mereka mendapat dukungan, kenapa mereka bahkan tak punya makanan? Kami punya banyak contoh kelompok yang didukung negara-negara ini secara keuangan, tetapi Rohingya berbeda. Mereka bahkan tak memiliki obat-obatan.
Apa yang membuat Anda yakin mereka tak didukung negara manapun?
Kami sudah memantau ini dari beberapa video. Kami melihat dari cara mereka bertindak, mereka jelas tidak terorganisasi. Mereka tak punya pengalaman, tak terlatih, dan mereka masih sangat muda, hanya 14-15 tahun. Mereka pun menyerang dengan alat-alat pertanian, bukan senjata api.
Poin lainnya adalah, Rohingya tersebar di beberapa negara saat ini, tentu saja mereka punya koneksi, tetapi bukan berarti mereka didukung. Mereka jelas tak terlatih dan nekad menyerang tentara yang terlatih.
Di setiap negara, ada aturan hukum. Jika warganya melakukan kesalahan, tentu akan dihukum. Setiap negara seperti itu. Tetapi tidak di Myanmar. Alih-alih fokus mencari pelaku penyerangan, para tentara melampiaskan kemarahan kepada warga lain. Mereka membunuh, membakar rumah, memperkosa, ini sangat menjijikkan.
Di Myanmar, praktik seperti ini sebenarnya berlaku bagi semua etnik, tentara bisa sesukanya. Tetapi bagi Rohingya, mereka akan bertindak lebih jauh, lebih parah.
Lalu apa yang terjadi dengan sekumpulan anak muda itu?
Mereka masih di Myanmar, mereka lari dan bersembunyi. Mereka sama sekali tak terorganisasi. Aksi yang mereka lakukan hanyalah pelampiasan amarah. Siapa yang tak marah jika diperlakukan demikian?
Ada berapa populasi Rohingya di Myanmar saat ini?
Populasi Rohingya sekitar 800 ribu. Tapi itu pun tak pasti, tak ada angka pasti. Pemerintah punya datanya, tetapi mereka tak akan merilis data yang benar.
Apakah ada gerakan dari warga Myanmar untuk membela kaum minoritas seperti Rohingya?
Ada ideologi yang cukup popular dari Nazi Jerman, ketika negara dan agamamu diserang, kau kehilangan akal sehat. Begitu yang sedang terjadi di Myanmar, untuk menjadi warga Myanmar yang baik, kau harus membenci Muslim. Jika tidak, kau bukan bagian dari Burma. Ideologi ini yang mendorong Aung Sang Su Kyii untuk diam. Dia bisa bertindak jika dia mau, tetapi dia tidak melakukan apa-apa. Dia selalu bicara tentang aturan hukum, di mana aturan hukum itu bagi Rohingya?
Mengapa Orang Rohingya tidak bisa memperjuangkan hak mereka seperti bangsa Pattani di Thailand Selatan atau Moro di Mindanao, Filipina?
Pertama, mereka terlalu lemah. Mereka sadar konsekuensi yang akan mereka dapat jika melawan. Jika hal itu dilakukan maka ini akan jadi alasan militer untuk menyerang membabi-buta, dan korban yang berjatuhan akan lebih banyak. Dan kedua, tidak ada yang mau menolong mereka.
Apa karena Rohingya bukan bangsa melayu seperti Pattani dan Moro?
Ya bisa jadi. Bahkan Bangladesh pun menutup pintu bagi Rohingya. Bangladesh bahkan mengumumkan jika ada yang menampung Rohingya, maka akan dihukum. Jadi kemana lagi orang-orang ini akan pergi? Setelah operasi militer Oktober lalu, ada sekitar 30.000 warga Rohingya kehilangan rumah.
Tapi kenapa Bangladesh enggan menolong Rohingya, bukankah mereka memiliki kedekatan secara historis dan kultural?
Rohingya memang punya kedekatan sejarah dengan Chittagong (Bangladesh Selatan). Saya tidak tahu kenapa mereka tak mau. Tapi jika Bangladesh membuka perbatasan dan mengizinkan semua etnis Rohingya masuk negara mereka, ini akan dijadikan alasan bagi pemerintah Myanmar untuk menendang semua orang Rohingya keluar dari Myanmar. Inilah yang pemerintah Myanmar inginkan.
Bagaimana peran media di Myanmar?
Media-media ini yang menyebarkan propaganda. Sangat menjijikkan. Mereka tak menggunakan etika jurnalistik. Tidak ada kebebasan media di Myanmar.
Kaum terpelajar? Tidak adakah yang tergerak membela minoritas?
Kaum terpelajar juga banyak yang rasis. Ini seperti group psychology, ketika pandangan kita berbeda dari pandangan kelompok, maka kita akan dianggap musuh dan diperlakukan sama seperti musuh. Secara psikologi, manusia sulit menerima ini. Inilah yang terjadi di Myanmar. Agar dianggap benar dan diterima kelompok mayoritas, mereka harus membenci Rohingya.
Lagipula, tidak ada ancaman penjara dan hukuman dari menghina, dan menghancurkan Rohingya. Mereka bisa melakukan apapun terhadap kaum muslim Rohingya. Kalau ada hukuman, tentu mereka tak akan bertindak seenaknya. Di banyak tempat, terutama di Selatan Myanmar, kedai-kedai milik Muslim diboikot.
Apakah Biksu di Myanmar lebih tak berperikemanusiaan dari biksu di Thailand dan negara mayoritas Buddha lainnya?
Ini bukan originalitas tindakan para biksu. Sebab seperti agama lain, Buddha tak mengajarkan kebencian dan diskriminasi. Biksu-biksu yang ada di Myanmar saat ini kebanyakan adalah orang yang direkrut oleh tentara dan dijadikan biksu. Biksu-biksu ini kemudian menyebarkan ajaran kebencian akan Rohingya, akan Islam. Anda bisa lihat di beberapa video, biksu-biksu itu mengatakan jika membiarkan umat Islam ada di Myanmar, maka mereka akan merebut kekuasaan, seperti yang terjadi di Indonesia. Ini didesain oleh tentara, agar rakyat Myanmar bertengkar satu sama lain.
Untuk apa?
Untuk bisa mengontrol dan berkuasa penuh. Sebagai contoh, jika saya ingin mengontrol kalian, saya harus membuat kalian sibuk bertengkar satu sama lain. Karena jika tidak, kalian akan bersatu dan mengetahui kesalahan yang saya perbuat. Akan lebih sulit bagi saya mengontrol kalian. Begitu juga yang dilakukan tentara Myanmar. Ini strategi dari kolonial.
Mengapa biksu di Myanmar terlibat dalam persoalan politik?
Mereka hanya dijadikan alat politik. Dalam pidato-pidatonya, mereka akan cerita tentang kehancuran Buddha di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hal itu dijadikan alasan mengapa Rohingya harus dienyahkan dari negeri mereka, jika tidak, mereka yang akan tersingkir. Ini yang didengar anak-anak hingga orang dewasa. Bayangan apa jadinya anak-anak ini sepuluh tahun mendatang, mereka akan sangat membenci Muslim.
Lalu apa yang dilakukan Burma Human Right Network terkait persoalan yang dihadapi Rohingya?
Kami memantau di lapangan. Kami mengamati dan mengumpulkan semua pidato kebencian, terutama dari para biksu. Kami juga memonitoring tindakan kekerasan. Kami mendokumentasikannya dan juga menuliskan laporan. Kami pun melakukan advokasi, seperti yang saya lakukan saat ini. Saya berkunjung ke beberapa negara, bicara dengan para jurnalis.
Menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan negara-negara di Asia dan khususnya ASEAN?
Lakukan diplomasi, tetapi juga terus berikan tekanan untuk menghentikan diskriminasi ini. Ada level ketika satu negara harus bicara. Apa yang terjadi di Myanmar adalah genosida, dan ini pelanggaran HAM berat.
Apakah Pemerintah Myanmar akan mendengarkan?
Tergantung. Kalau negara lain terus-menerus memberikan tekanan untuk menghentikan ini, terutama Indonesia, mungkin akan didengarkan. Ini bukan negara kecil, Indonesia cukup punya kekuatan di Asia. Ketika Indonesia dan Malaysia terus memberikan tekanan, saya bisa menjamin akan terjadi perubahan setidaknya 50 persen. Kalau negara-negara lain mau angkat bicara dan ikut memberi tekanan kepada Myanmar, maka perubahan sangat mungkin terjadi.
Tetapi jika tidak, tak akan ada perubahan apa-apa. Sebenarnya ada cara lain yang lebih damai. Pemerintah harusnya bisa membuka ruang untuk berdiskusi, berdebat tentang catatan sejarah keberadaan Rohingya di Myanmar. Mereka tak melakukan itu, karena mereka memang salah. Mereka tidak bisa membuktikan bahwa Rohingya adalah imigran ilegal.
Bukankah kekuatan militer berkurang setelah Partai Aung Sang Suu Kyi (NLD) menang dalam pemilu lalu?
Sebelumnya kami punya persepsi berbeda kepada NLD. Tapi sekarang kami sepakat memandang persepsi buruk pada mereka. Kami nilai mereka sama saja. Militer tetap memegang kontrol. Militer begitu keras kepala dan sifat mereka amat bahaya. Militer tetap memegang kendali Army Law dan punya kekuatan besar. Bahkan mereka pun membentuk milisi untuk memusuhi kami. Selain itu di Myanmar memang telah terjadi penanaman pemahaman kepada anak-anak kecil di sana untuk membenci muslim Rohingya.
Bagaimana dengan posisi negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina dalam kasus ini?
Tentu saja mereka juga terlibat. Tapi ini berbeda, mereka bukan negara tetangga dan bukan regional ASEAN dan tidak akan membuat perubahan banyak. Tapi Cina selama ini mereka punya hubungan baik dengan militer Myanmar termasuk dengan milisi.
Milisi Budha?
Bukan milisi Budha yang didukung pemerintah, tapi milisi Rakhine (pasukan Arakan – milisi ini adalah milisi pemberontak yang tidak ada sangkut pautnya dengan Rohingya, pasukan Arakan menutut kemerdekaan di negara bagian Rakhine dan Kachin). Cina juga mendukung dan melatih mereka.
Apakah milisi ini membenci Rohingya?
Tidak semua. Mayoritas dari mereka adalah Budhis. Tetapi banyak dari mereka menghindari konfrontasi. Mereka tidak keras dan tidak ingin berperang dengan Rohingya. Sebenarnya pasukan Arakan menujukan rasa simpati pada kami, namun rasa simpatik itu tidak bisa dipercaya penuh.
Kenapa Cina membantu mereka?
Saya tidak tahu. Tapi asumsi saya, Cina tertarik dengan Rakhine.
Tapi apakah Tentara Myanmar tahu tentang bantuan ini?
Ya mereka tahu, tapi tidak bisa bertindak apa-apa.
Pertanyaan terakhir, apakah Anda sepakat bahwa Genosida adalah kata yang pantas untuk menggambarkan Rohingya saat ini?
Ya saya sepakat. Pantas disebut genosida karena selain pembunuhan yang dilakukan oleh militer, ada pula sistem kebijakan politik secara terstruktur untuk mengenyahkan etnis rohingya dari Myanmar.
Tirto
0 komentar:
Post a Comment