Wanita Rohingya Tak Sesali Kepergian Suami Mereka untuk Berjihad


Naypyidaw – Aisyah Begum tak pernah menyesali kepergian suaminya untuk keluar rumah pergi berjihad. Walau terasa berat, Aisyah Begum yang akan melahirkan anak keenam ini tetap tabah. Sebab, ia yakin jalan yang dipilih suaminya untuk angkat senjata melawan tentara pemerintah Myanmar, hanya satu-satunya pilihan selain terbunuh sia-sia.

Begum yang baru berusia 25 tahun diungsikan dari wilayah Rakhine karena adanya medan pertempuran baru antara pasukan Budha Myanmar dan para pejuang Rohingya yang memperjuangkan hak dasar mereka sebagai manusia, yaitu tetap hidup.

Suaminya tetap tinggal di Myanmar untuk bergabung dengan jajaran pria Rohingya yang terus bertambah guna menjawab seruan untuk melawan pasukan Budha Myanmar.

“Dia membawa kami ke sungai dan mengirim kami menyeberang,” kata Aisyah kepada AFP di kamp Kutupalong pada Rabu (30/08).

“Suamiku mengucapkan selamat tinggal, jika dia masih hidup dia akan menemui kami di Arakan atau kalau tidak kami akan bertemu di surga,” tambahnya sambil menangis.

Etnis Muslim Rohingya yang mana sebagian besar telah menghindari adanya pertempuran, tapi mereka terus mengalami penganiayaan selama bertahun-tahun.

Namun, secara dramatis kini telah berubah pada bulan Oktober lalu ketika sebuah kelompok pejuang Rohingya yang baru lahir, meluncurkan serangan mendadak ke pos-pos perbatasan pasukan Myanmar.

Lantas, Militer Myanmar pun bereaksi dengan “operasi pembersihan” yang mengedepankan kekerasan untuk menyapu bersih gerilyawan.

Setelahnya, pihak PBB pun mengatakan bahwa tindakan kekerasan dapat menyebabkan pembersihan etnis Muslim Rohingya.

Walau demikian, kekerasan terus berlanjut ke desa-desa terpencil dengan membunuh dan menganiaya warga yang dikaitkan dengan Arakan Rohingya Solidarity Army (ARSA).

Pada Jum’at lalu, para pejuang ARSA kembali bergerilya dalam skala besar dengan menyerang 30 pos polisi dalam serangan fajar.

Akibatnya, puluhan tentara Myanmar pun tumbang ditangan pasukan yang menggunakan pisau, bahan peledak buatan sendiri dan beberapa senjata api.

Kali ini respon pemerintah menjadi-jadi dengan melakukan pembunuhan massal dan menembaki etnis Muslim Rohingya yang hendak menyeberang ke Bangladesh.

Tapi negara, yang telah menampung puluhan ribu pengungsi dari minoritas Muslim di daerah Cox’s Bazar, telah menolak untuk masuk kembali.

Mereka yang tidak dapat menyelinap masuk, terdampar di sepanjang zona perbatasan tanpa kehadiran pria Rohingya di kalangan warga sipil yang memadati pos pemeriksaan.

“Kami bertanya kepada mereka apa yang terjadi pada laki-laki mereka. Mereka mengatakan bahwa  semua tetap tinggal di Rakhine untuk bertempur,” kata seorang komandan Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB) kepada AFP.



Berjuang Atau Mati

Di perbatasan Shah Alam, seorang pemimpin masyarakat dari negara bagian Rakhine mengatakan bahwa ada 30 pemuda dari tiga desa di distriknya bergabung dengan ARSA “untuk kebebasan kita”.

“Apakah mereka punya pilihan lain? Mereka memilih untuk berperang dan mati daripada dibantai seperti domba,” katanya kepada AFP.

Kelompok pejuang Rohingya yang sebelumnya tidak dikenal telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan pada bulan Oktober dan Jum’at lalu terhadap pasukan Myanmar. Dan kini, para pejuang ARSA mendesak rekan-rekan Rohingya untuk bergabung dalam pertarungan tersebut.

Pasca terjadinya serangan, Aung San Suu Kyi menuduh bahwa ARSA telah menggunakan tentara anak-anak, tapi tuduhan itu ditolak oleh para pejuang.

Pemerintahan yang dijalankan langsung oleh Suu Kyi telah mengklasifikasikan ARSA sebagai “teroris” dan mengeluarkan serentetan pernyataan dan gambar suram warga sipil yang ditembak mati oleh para pejuang.

Namun, seruan ARSA disambut baik di kamp-kamp Rohingya di seluruh Bangladesh, meskipun ada keraguan mengenai apakah unit yang dipersenjatai dengan pisau dan senjata buatan sendiri dapat mengalahkan tentara Myanmar.

Akan tetapi, satu pejuang muda mengatakan kepada AFP bahwa rekan-rekan Rohingyanya bertekad untuk bertarung dan tidak menghiraukan hasil akhirnya.

“Ada ratusan dari kita bersembunyi di perbukitan. Kami mengambil sumpah untuk menyelamatkan Arakan, bahkan jika dengan tongkat dan pisau kecil,” katanya di dekat perbatasan Bangladesh.

Banyak dari orang-orang Rohingya yang mengungsi akibat kekerasan tersebut mengatakan bahwa mereka nyaris tidak dapat melarikan diri dari kekerasan.

Mereka menggambarkan, massa Budha Myanmar yang menembak warga sipil  dan membakar rumah-rumah merupakan sebuah pelecehan yang berulang kali didokumentasikan di Rakhine sejak adanya konflik. Bagi banyak orang, itu adalah jerami terakhir.

“Kaum muda sudah muak,” kata seorang aktivis Rohingya terkemuka di Bangladesh yang meminta untuk tetap anonim.

“Mereka tumbuh menyaksikan penghinaan dan penganiayaan, jadi harapan saat ini dari komunitas Rohingya adalah bertarung untuk mendapatkan hak-hak kami kembali,” imbuhnya.

Di luar sebuah kamp di Cox’s Bazar, dua orang pemuda Rohingya sangat ingin bergabung dengan para “pejuang kebebasan” di Rakhine walau kini berada di Bangladesh.

“Kami tidak memiliki pilihan, Kawan kami ada di Rakhine, bahkan para remaja di desa kami telah bergabung dalam pertarungan tersebut,” salah satu pria tersebut mengatakan kepada AFP dan bersumpah “untuk menyeberangi perbatasan ketika ada kesempatan”.

Sementara itu, Hafeza Khatun yang ketiga anaknya telah berjuang menuturkan bahwa dirinya siap untuk mengorbankan putra-putranya untuk Arakan.

“Siapa yang akan membunuh kita lagi tanpa perlawanan? Saya mengirim anak-anak saya untuk memperjuangkan kemerdekaan, saya mengorbankan mereka untuk Arakan,” pungkasnya.



Reporter: Dio Alifullah/Kiblat DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment