SARACEN: Awas Bro, Jangan Siramkan Bensin ke Bara Perseteruan
Asyari Usman (Wartawan Senior)
Ada teman yang menelefon, minta diskusi soal “Saracen”. Dia ingin menceritakan bahwa “Saracen” sampai terbawa dalam tidurnya. Dia ketakutan. Teman ini mengatakan, dia bermimpi ada seseorang yang berkata, ”Awas bro, jangan siramkan bensin ke bara perseteruan yang ada di tengah kita ini.” Teman itu menambahkan, ucapan ini terekam jelas dalam ingatannya.
Saya tidak tahu mengapa sampai terbawa ke dalam mimpi. Mungkin juga pertanda bahwa isu ini sangat serius.
Sebetulnya, memang sangat serius. Sebab, seperti saya (dan orang lain) sudah uraikan sebelum ini, “Saracen” adalah kata yang kental dengan elemen SARA. Pertama, sebagai julukan yang melecehkan kaum Muslimin di masa Perang Salib (1095-1291). Kedua, pemunculan kata “Saracen” pada saat perseteruan yang sengit antara dua kubu dunia maya di Indonesia sekarang ini, merupakan tindakan yang bisa memicu eskalasi “perseteruan” menjadi “permusuhan”.
Kalau semua pihak, terutama kepolisian, salah dalam mengelola kasus ini, memang bisa bergulir ke situasi “menyiramkan bensin ke bara”. Na’dudzibillah. Semoga Allah SWT jauhkan itu dari bangsa dan negara tercinta ini.
Sayangnya, pihak yang berwenang cenderung menyepelekan kemungkinan dampak buruk “Saracen”. Pengusutan tuntas tentulah didukung oleh semua orang untuk membongkar distributor ujaran kebencian itu dan para pelanggan jasanya. Tetapi, kalau sejak awal bisa dibaca bahwa penyelidikan itu digiring ke arah tertentu, maka jangan salahkan kalau bermunculan reaksi yang malah memperparah situasi yang “telah dikeruhkan oleh Saracen”.
Sebagai contoh, entah atas inisiatif siapa, “tembakan pertama” tim investigasi kepolisian langsung di arahkan ke Eggy Sudjana. Publik menafsirkan “tembakan pertama” itu sebagai isyarat yang jelas tentang ke mana “Saracen” sedang diarahkan. Semua orang menjadi paham. Sebab, Eggy Sudjana selama ini siap menghadirkan kemampuan kepengecaraannya untuk membela orang-orang yang dia anggap sedang dizolimi.
Tak terelakkan bahwa Eggy kemudian terproyeksikan menjadi lawan berat untuk para pelaku kozoliman itu. Karena dia memang vokal. Terbiasa menggunakan bahasa keras. Dan, kebetulan sudah berkali-kali berhasil membantu para korban kezoliman.
Sehingga, ketika nama Eggy muncul (atau bisa jadi juga dimunculkan) sebagai salah seorang yang terkait dengan kegiatan kelompok “Saracen”, masyarakat pun beranggapan bahwa penyelidikan kasus ini tampak seperti penjabaran dari misi para palaku kezoliman. Tidak bisa disesalkan mengapa anggapan seperti ini bisa mengkristal.
Sebab, dengan kemampuan nalar yang seadanya pun, orang bisa memahami untuk dan atas nama siapa kasus “Saracen” dimunculkan dan kemudian diolah dalam “penyelidikan”. Jadi, kita semua mengimbau kepada tim investasi kepolisian agar mengedapankan sensitivitas (kepekaan) dan imparsialitas (kenetralan) dalam memproses “Saracen”.
Sejauh ini yang bisa terbaca dengan jelas adalah bahwa penyelidikan “Saracen” bagaikan sedang mengikuti skenario yang akan berakhir dengan pembingkaian (framing) kaum Muslimin sebagai tertuduh pembuat dan penyebar berita hoax.
Pembingkaian (framing) seperti inilah yang membuat teman saya yang menelefon itu, menjadi ketakutan. Takut akan konsekuensi yang bakal menyusul. Boleh jadi itulah sebabnya kasus “Saracen” sampai terbawa-bawa ke dalam mimpinya. Yaitu, mimpi seseorang yang mengucapkan “Awas bro, jangan siramkan bensin ke bara”.
Kita berharap dan berdoa semoga ketakutan teman saya itu hanya terpicu mimpi belaka.(*)
0 komentar:
Post a Comment