Jurnalisme Kompas dan Premanisme Ahok
Prof Dr Arief Budiman, Dosen di Melbourne University, dalam diskusi bertema "Media dan Kekuasaan" di Gedung Pers Semarang (23/3/2007) menegaskan, opini publik yang dibuat media massa sangat memberi andil besar menopang agenda politik kekuasan.
Tak heran, para penguasa dan orang-orang kuat (cukong) berlomba menguasai media untuk menampilkan image dan melegitimasi kepentingan mereka di hadapan rakyat.
Kompas adalah salah satu media yang dianggap paling mumpuni menyalurkan syahwat pencitraan penguasa dan para cukong (konglomerasi hitam). Dalam berbagai penampilan Jokowi - Ahok, penyajian berita oleh kompas sukses mengkelabui publik.
Kehandalan Kompas meracik berita untuk melanggengkan kepentingan penguasa dan konglomerasi telah berlangsung puluhan tahun dan menjadi watak bawaan. Dengan kreasi tipu muslihat, Kompas bergerak tanpa halangan menyihir akal sehat publik.
Di era kekuasaan Orde Baru, Kompas berdiri di garis terdepan membela berbagai kepentingan rezim Soeharto. Selama tiga puluh dua tahun hubungan Kompas dan rezim diktator berlangsung mesra di bawah slogan industri pers: "jurnalisme damai".
Kompromi Kompas dengan penguasa dan konglomerasi tidak terbangun gratis. Namun kolusi itu memberi keuntungan besar, baik sokongan finansial maupun politik. Walhasil, media jaringan Katolik tersebut, tumbuh sebagai industri pers dengan capaian keuntungan triliun rupiah dan memperlebar berbagai usahanya di sejumlah sektor.
Praktek industri pers ala Kompas, oleh para pakar jurnalisme menyebutnya sebagai "modus kejahatan bertopeng pers". Yakni, membela kepentingan penguasa dan cukong dengan cara menipu publik. Namun, di mata misionaris Katolik, pendekatan kompas dianggap halal dan efektif untuk membodohi ummat Islam.
Premanisme Kepemimpinan Ahok
Bila di masa Orde Baru, Kompas sukses meraih keuntungan besar di bawah panji: "jurnalisme damai", maka pada era reformasi pendekatan itu berganti dengan doktrin: "jurnalisme santun". Beda di cara namun tetap mengais untung dengan menipu publik.
Jurnalisme santun terkenal canggih lantaran sukses mendongkrak pengaruh pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kurun waktu hampir 10 tahun. Dan di ujung kekuasaan SBY, Kompas perlahan bergerak mundur dan menjalin mitra barunya dengan PDIP guna menyokong proyek pencitraan Jokowi - Ahok.
Tak heran, jurnalisme santun Kompas menuai sindiran dari berbagai kalangan dengan apa yang mereka sebut sebagai: "Distorsi menifestasi pers yang berpijak pada spirit dan ajaran Katolik".
Kritikan yang menegaskan adanya kerancuan dari ajaran Katolik yang gencar menyerukan kejujuran dan kesantunan, tapi di balik semua itu hanyalah kepura-puraan semata.
Ihwal kerancuan itu oleh Ketua Pembina Partai Gerindra dengan lantang mengatakan: "boleh korupsi asal santun, boleh menipu asal santun, boleh maling uang rakyat tapi harus santun..."
Tudingan Prabowo menghantam perilaku penguasa dan figur-figur publik yang dicitrakan oleh Kompas dengan aneka berita yang dikemas dalam bahasa kesantunan namun tujuannya terbukti mengkelabui rakyat.
Tapi ada yang menarik. Dalam perilaku Ahok, jurnalisme santun rekayasa Kompas menjadi kontradiktif. Gaya premanisme Ahok justru dihadirkan oleh Kompas secara mencolok dan agresif menggilas nurani publik.
Ahok tampil bebas menggulir berbagai pernyataan yang kasar. Acap kali bersuara dengan kata-kata kotor, tapi justru oleh Kompas dianggap lumrah dan diklaim sebagai gaya kepemimpinan yang sejalan dengan kehendak rakyat banyak.
Premanisme kepemimpinan Ahok bebas menghias hampir semua halaman Kompas, lantaran sosok tersebut hadir sebagai keterwakilan minoritas dan mendapat sokongan dana besar dari jaringan cukong.
Publik pun khawatir, kelak nanti bila ada gembong Narkoba yang disokong oleh para cukong untuk merebut kekuasaan, maka Kompas pun memolesnya dalam aneka rekayasa pencitraan untuk menipu rakyat.
oleh: Faizal Assegaf/visibaru
0 komentar:
Post a Comment