Oleh : Ahmad Dzakirin
Jika demokrasi diterjemahkan sebagai kehendak bebas rakyat menentukan kepentingan dan masa depan mereka, maka praktek demokrasi di dunia Islam dapat dipastikan merefleksikan aspirasi umat Islam. Berangkat dari perspektif ini, kutip Muhammad Thahhan, debat Islam dan demokrasi seharusnya berakhir karena demokrasi di dunia Islam adalah suara mayoritas umat Islam.
Kepemimpinan kuat Erdogan dan kepedulian Turki atas dunia Islam adalah refleksi dan kehendak mayoritas rakyat Turki yang relijius. Sebelumnya, kelompok minoritas sekuler 80 tahun lebih memaksakan 'pandangan dan cara hidup' mereka atas mayoritas rakyat Turki sekalipun bertentangan dengan aspirasi mayoritas rakyat dengan kekuatan militer. Maka momentum pemilu 2002 mengembalikan 'apa yang menjadi kehendak rakyat' kepada pemegang mandatnya yang sejati, yakni rakyat.
Tumbangnya diktator Mubarak, kemenangan Ikhwan dan keterpilihan Mursi adalah kehendak mayoritas rakyat Mesir. Sebelumnya, Mesir lebih dari 11 dekade dikendalikan rejim diktator yang tidak hanya memaksakan namun juga memalsukan kehendak dan aspirasi mayoritas melalui kekuatan senjata. Perjanjian Camp David, misalnya, adalah perjanjian bilateral yang merugikan kepentingan nasional Mesir, Arab dan perjuangan rakyat Palestina. Maka pemilu 2011 dan 2012 merupakan momentum pengembalian mandat rakyat dan sekaligus gerakan korektif atas kesalahan-kesalahan masa lampau karena merugikan kepentingan nasional Mesir.
Implementasi demokrasi di Timur Tengah pada akhirnya menjadi gangguan dan bahkan ancaman eksistensial bagi Israel dan kekuasaan monarki Arab.
Kepentingan mayoritas rakyat Arab tentu berbenturan dengan kepentingan sekelompok orang Eropa yang berdatangan ke Palestina menjelang PD II, merampas tanah orang-orang Arab dan kemudian mendirikan negara bernama Israel lewat dukungan Barat.
Akal sehat mayoritas rakyat Arab tentu berseberangan dengan kepentingan dan ambisi sekelompok keluarga yang secara mutlak dan tanpa batas waktu mengendalikan kekayaan dan keputusan politik suatu negara.
Jika demokrasi di Timur Tengah menjadi common enemy bagi Israel dan monarki Arab maka mereka tidak ragu menjalin koalisi permanen demi menggagalkan demokrasi dan menanam rejim diktator di Timur Tengah berapapun biayanya sebagai gantinya. Lebih murah bagi Israel dan monarki Arab bersepakat dengan segelintir orang yang korup ketimbang bernegosiasi dengan mayoritas rakyat.
Tidak ada yang aneh dengan koalisi ini karena keduanya telah memulainya sejak lama. Asa Winstansley menyebut Israel dan Bandar bin Sultan, Arab Saudi pernah menjadi operator AS dalam menyuplai senjata atas para gerilyawan Contra di Amerika Selatan. Targetnya, menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di Nicaragua.
0 komentar:
Post a Comment