Sejarah Pasal Penodaan Agama ini Patahkan Argumen ‘Tak Ada Niat Menista’
Dalam perjalanan sejarah, Pasal 156 yang merupakan turunan dari hukum pidana buatan kolonial Belanda, hanya mengatur tentang penistaan terhadap golongan, tidak terhadap agama.
Saat itu, Indonesia tengah di bawah penjajahan Belanda.
Sehingga, pusat pergerakan kemerdekaan saat itu dimulai di surau, pesantren, dan masjid. Oleh Belanda, kaum agamawan dinyatakan teroris.
“Pejabat pemerintah Belanda sering menghina agama dan kaum agamawan. Oleh karena itu, pada mulanya Pasal 156 tidak menyebut agama, karena jika ada mereka (pejabat Belanda) kena duluan,” ujar Teuku Nasrullah, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia.
Hal itu disampaikan dalam ‘Diskusi Publik: Kasus Ahok Nista Islam dalam Perspektif Hukum Pidana’ di Rumah Amanah Rakyat, Menteng, Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Kasus Anggota PKI
Nasrullah bercerita, pada era pasca kemerdekaan terjadi sebuah kasus di wilayah Purwakarta. Di situ ada gudang milik Partai Komunis Indonesia (PKI).
Oleh seorang anggota PKI, buku-buku dan al-Qur’an di gudang saat itu hendak dipindahkan dan dimasukkan ke dalam karung.
“Agar lebih padat, buku-buku itu termasuk al-Qur’an diinjak pakai kaki. Saat itu warga yang melihat merasa resah dan mengadukan pada pemerintah telah terjadi adanya penistaan terhadap al-Qur’an,” kata Nasrullah.
Sementara, pemerintah dan perangkat hukumnya belum ada. “Istilahnya ada kekosongan hukum. Karena tidak ada pasal penistaan agama. Tapi ada desakan masyarakat yang sangat kuat,” kata dia.
Saat itu, akhirnya Presiden Soekarno menetapkan PNPS No 1 tahun 1965. Diselipkan jadi pasal 156 a.
Sehingga, jelas Nasrullah, anggota PKI yang dinilai menista al-Qur’an itu dibawa kasusnya ke pengadilan. Meskipun anggota PKI itu mengaku tidak ada unsur kesengajaan dalam kasus tersebut.
“Saat itu, dia bilang ‘saya tidak sengaja berniat menista agama’. Tapi dia dihukum. Karena kesengajaan di sini dalam maksud patut diduga tindakannya dapat mengacaukan ketertiban umum,” tukas Nasrullah.
Diwartakan media, Badan Reserse Kriminal Polri memeriksa Gubernur (non-aktif) DKI Jakarta Ahok, Senin (07/11/2016). Namun, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian berpendapat sendiri soal kasus ini.
Dia menilai Ahok tidak bermaksud menistakan agama atau menghina ulama dalam pernyataannya di Kepulauan Seribu, Jakarta (27/09/2016).
“Dalam bahasanya itu, ‘Jangan percaya kepada orang,’ bahasanya, ‘Bapak-bapak, ibu-ibu punya batin sendiri tidak pilih saya. Dibohongi pakai….’ Kata ‘pakai’ ini penting sekali. Tapi dalam konteks itu tidak ada maksud terlapor mengatakan Al-Maidah itu bohong,” ujar Tito di Istana Presiden, Jakarta, Sabtu (05/11/2016) dikutip liputan6.com.
Ahok juga mengklaim bahwa dirinya tidak bermaksud menghina agama dalam pernyataannya itu. MUI telah menyatakan, pernyataan Ahok itu sebagai bentuk penghinaan agama dan/atau ulama.* Fajar Shadiq
0 komentar:
Post a Comment