PRESIDEN JOKOWI DALAM PUSARAN KEKELIRUAN
Mungkin pada awalnya Ahok merasa bahwa ucapannya di Pulau Seribu 27 September 2016 lalu tidak akan berdampak sebesar sekarang ini. Mungkin Ahok merasa bahwa paling kuat yang timbul cuma riak-riak kecil dari kalangan Ormas Islam yang selalu dicap radikal. Parahnya, bahwa patut diduga Presiden Jokowi pun terlihat berpikir dan merasa hal yang sama dengan Ahok. Presiden sama sekali tidak menduga bahwa yang dilakukan Ahok tersebut kemudian akan menyasar pada jabatan Presiden sebagai taruhan situasi ini. Inilah awal kekeliruan dari banyak kekeliruan yang kemudian dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Langkah yang diambil Presiden hingga sekarang tidak satupun yang menyentuh akar masalah dan tidak satupun yang menjadi solusi. Bahkan terlalu banyak pernyataan yang keliru dari presiden yang membuat situasi secara umum menjadi semakin tidak menentu.
Presiden pernah menyatakan bahwa negara tidak boleh kalah kepada kepada ormas apapun, bahkan ada media yang mengutip judul berita sebagai berikut: "Jokowi: Negara harus kuat, tidak boleh Polri kalah kepada kelompok perusak". Begitulah kalimat yang sangat provokatif itu meluncur. Presiden tentu benar bahwa Negara tidak boleh kalah dari apapun dan dari siapapun. Tapi Presiden sepertinya lupa bahwa Negara dengan Pemerintah adalah dua hal yang berbeda. Pemerintah boleh kalah dan harus kalah kepada kebenaran hukum, kepada suara mayoritas karena pemerintah ada berasal dari rakyat dan rakyat adalah komponen pembentuk negara. Rakyat adalah negara. Kekeliruan presiden dalam hal ini adalah menempatkan pemerintah sebagai negara, dan rakyat seolah jadi perusak.
Kekeliruan demi kekeliruan terus bergulir deras dari istana. Kekeliruan paling fatal dari presiden adalah presiden terlambat bersikap dan meski sudah terlambat tapi salah memilih sikap. Presiden tidak memilih kebenaran materil hukum dan memilih kebenaran politis yang berbasis persepsi sepihak.
Ulama sudah jelas menyatakan sikap atas penistaan agama yang dilakukan Ahok. Seharusnya presiden dan Polri bersikap mengikuti pendapat ulama karena hanya ulama lah yang menjadi tempat bertanya mengenai agama dan tafsirnya. Bukan kepada para politisi dan bukan kepada para buzzer bayaran di media sosial.
Pusaran kekeliruan kini semakin menjadi-jadi dan semakin besar meliputi presiden. Tidak menemui aksi umat pada 411 adalah kekeliruan yang tidak seharusnya dilakukan presiden. Safari politik dukungan kepada Ahok terus berlangsung dengan mengunjungi ormas-ormas Islam serta mengundang beberapa ulama dan tokoh ke istana. Sungguh mencengangkan seorang presiden harus bersusah payah dan berkeringat (meski mungkin keringat dingin) melakukan upaya meredam aksi umat Islam yang membela aqidah yang diyakininya. Sebuah pekerjaan sia-sia yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Padahal solusinya sangat mudah, memproses Ahok sesuai KUHP Pasal 156 a, menahan Ahok sebagai tersangka karena ini pidana berat maka hak subjektif penyidik harus dikesampingkan demi stabilitas dan kondusifitas negara.Maka publik kembali akan tenang dan pulang kerumah mengawasi proses hukum berjalan.
Safari show of force atau unjuk kekuatan pun dilakukan Presiden di tengah rencana Aksi Bela Islam III 25 Nopember nanti. Presiden mengunjungi markas satuan-satuan tempur khusus seperti Kopassus dengan Gultornya, Marinir dan Korps Brimob mendapat giliran hari ini. Presiden bahkan menyampaikan pendapat keliru saat di markas Kopassus terkait pengerahan Prajurit Kopassus dalam keadaan darurat. Kopassus itu dibuat untuk menghadapi ancaman pertahan negara dan penanggulan teror, bukan untuk menakut-nakuti demonstran. Presiden keliru, mengapa sekarang begitu intens ke markas prajurit TNI di tengah eskalasi politik, sementara HUT TNI 5 Oktober lalu sangat hambar dan tidak dirayakan secara tepat oleh rejim Jokowi?
Semoga minggu yang akan datang Presiden tidak meneruskan kekeliruannya. Matinya kepercayaan publik pada Presiden adalah harga sangat mahal atas kekeliruan yang dilakukan Presiden.
Ferdinand Hutahaean
Penulis adalah eks relawan Jokowi dan aktivis Rumah Amanah Rakyat
0 komentar:
Post a Comment