“Pendapat umum yang ada adalah bahwa penyebab pemberontakan sebagian besar dapat ditemukan di: (…) kedua, dalam peningkatan jumlah peziarah ke Mekkah, yang menyebabkan meningkatnya fanatisme, karena penduduk asli Indonesia termotivasi untuk memberontak melawan kekristenan dan dominasi Eropa.”
Dan pada tahun 1866 surat kabar De Locomotief menulis:
“Bahaya bagi keselamatan orang Jawa biasa meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah peziarah. Namun hal ini banyak diremehkan. Bahaya ini adalah sebuah fakta, tanpa bayangan keraguan.”
“Haji” menjadi headlibe surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 12 Juli 1911. Sebagian besar peziarah yang tiba di Jeddah adalah orang Indonesia (“orang Jawa”). |
“Semakin banyak jamaah haji pergi ke Mekkah, semakin meningkat fanatismenya.”
Dengan kata lain, Belanda melihat hubungan antara haji dan kekuatan keyakinan Islam di antara orang Indonesia. Ini karena haji, bagi jamaah haji, juga merupakan kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang Islam. Pada periode 1850 – 1924, Khilafah masih ada. Hijaz, daerah sekitar Mekkah dan Madinah yang dikunjungi para peziarah, masih merupakan bagian dari kekhalifahan.
Jadi ketika orang Indonesia pergi haji, dia pergi ke sebuah negara yang didirikan berdasarkan Islam, di mana studi tentang Islam memiliki kedudukan besar di masyarakat, dan di mana orang dimotivasi oleh negara untuk belajar tentang Islam. Orang Indonesia membawa apa yang mereka pelajari di sana ke Indonesia, dan berbagi dengan sesama Muslim di Indonesia.
Jamaah Haji asal Jepara sekira tahun 1880 |
Jawaban atas pertanyaan ini adalah apa yang oleh Belanda disebut “pan-Islamisme”. Misalnya sebuah analisis di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant pada tahun 1915 mengatakan:
“Di masa lalu, mungkin saja kita khawatir dengan keinginan berlebihan orang-orang Mohammedan di Indonesia untuk pergi haji, karena berbagai alasan. (…) Beberapa di antara mereka mendapat pengaruh pan-Islamisme di sana, dan kemudian ketika mereka kembali, memiliki pengaruh atas orang-orang sebangsanya.”
Seorang analis yang menulis untuk surat kabar Het Nieuws van den Dag pada tahun 1911 mengatakan:
“Kita tidak perlu lagi membicarakan tentang fanatisme di antara sebagian besar peziarah yang kembali. Ini sudah sangat terkenal, bahkan lebih berbahaya lagi di zaman kita saat ini. Saat ini, pan-Islamisme (…) mencoba membuat terobosan di mana-mana.”
“Pemerintah untuk Indonesia dan Islam” adalah berita utama di surat kabar Algemeen Handelsblad, 9 Juli 1889
Dengan kata lain, ceramah tentang pan-Islamisme adalah masalah yang muncul dari pendidikan Islam di Mekkah dan Madinah. Apa yang dimaksud dengan istilah pan-Islamisme? Pertanyaan ini dijelaskan oleh surat kabar Nieuw Tilburgsche Courant pada tahun 1900:
“Istilah pan-Islamisme dipahami oleh orang Eropa sebagai ‘aspirasi diantara umat Islam untuk bersatu dalam satu negara. (…) Dimanakah ide pan-Islamisme ini berakar? Dalam hukum Mohammedan ortodoks, (yang mengatakan) bahwa semua pengikut Mohammad (Mohammedan), terlepas dari bangsanya, terlepas dari bahasa yang digunakan, harus menjadi satu komunitas ideal; Dan bahwa semua penguasa Mohammedan harus mengakui satu penguasa tertinggi. (…) Apa akibatnya? Bahwa penguasa yang kafir, sebagai masalah prinsip, tidak akan pernah diterima oleh orang-orang Mohammed ortodoks sebagai penguasa mereka yang sah. (…) Ini adalah suatu bahaya yang tak terbantahkan, untuk negara Kristen mana pun yang menjadikan Islam sebagai subjeknya, dalam tingkat yang lebih rendah atau lebih tinggi.”
Jamaah Haji asal Malang dan Pasuruan sekira tahun 1880 |
“Para penceramah menjelaskan bahwa bagi orang-orang Mohammedan hanya aturan Khalifah—Sultan Turki—yang merupakan aturan yang sah. Mereka melihat bahwa semua aturan lainnya tidak sah, termasuk aturan kita di Indonesia. Karena itu, ajaran tentang Khilafah adalah elemen yang sangat berbahaya.”
“Bagi orang-orang Mohammedan hanya aturan Khalifah—Sultan Turki—yang merupakan peraturan yang sah” di surat kabar Algemeen Handelsblad, 2 Februari 1910 |
“Pemerintah kita bisa mendapat banyak masalah dari ini. Karena, bagi kita, pan-Islamisme juga adalah musuh terbesar dan terhebat bagi perdamaian di wilayah koloni kita, sama seperti untuk semua negara Eropa lainnya yang menjadikan orang-orang Mohammedan sebagai subjek atau pihak yang mereka tundukkan.”
Pemerintah Belanda menyadari hal ini, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah laporan di surat kabar Nieuw Tilburgsche Courant tahun 1898:
“Saat diskusi mengenai anggaran untuk pemerintahan kolonial di Indonesia pada tahun 1899, Mr. De Waal Malefijt mengungkapkan keprihatinan atas meningkatnya Mohammedanisme di Indonesia, yang menyebabkan pengaruh pan-Islamisme meningkat.”
sumber: www.newcivilisation.com
0 komentar:
Post a Comment