LSI: Pendukung Militan Ahok Tinggal 10 Persen, Ini 5 Penyebabnya
Pendukung Basuki Tjahaja Purnama memang militan, tapi jumlahnya kian merosot dan di angka 10-11 persen saja.
Demikian temuan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia, yang diumumkan, Jumat (18/11/2016), di Jakarta.
Status tersangka di mata publik label yang buruk, bencana bagi citra diri.
.
Sudah tercipta tradisi Good Governance itu mempunyai makna, menteri yang tersangka diminta mundur dan memang mundur dari jabatannya.
Gubernur yang tersangka juga mundur dari jabatannya. Bahkan pimpinan atau sekjen partai yang sudah tersangka, walau itu jabatan swasta, juga mundur dari jabatannya.
Umumnya, pemilih Jakarta risih jika ada calon yang tersangka kok malah dikampanyekan untuk menjadi pejabat (gubernur)?
Ini dianggap melawan tradisi Good Governance yang sudah berjalan dan terpuji.
Itulah tepatnya tantangan terberat Ahok ketika diputuskan bareskrim menjadi tersangka.
Tidaklah heran, karena status tersangka, sekitar 60 persen dari 24.6 persen pendukung lamanya pergi meninggalkan Ahok.
.
Yang paling mencolok dari rombongan "eksodus" itu adalah pemilih PDIP, kalangan minoritas dan segmen pemilih menengah atas. Itu segmen pemilih yang selama ini kokoh di belakang Ahok.
Lalu, berapa banyak pemilih Ahok yang tersisa? Yang setia dan tahan uji selalu kaum die hard, pemilih militan yang "hidup mati pokoknya ikut Ahok."
Namun, jumlah pemilih militan Ahok ini hanya 10-11 persen saja. Ini jumlah yang tak cukup bahkan untuk membantu Ahok lolos di putaran pertama.
Mereka yang kini aktif membela Ahok di ruang publik, dan mencoba menghidupkan kembali peluang Ahok, mereka bagian dari "die hard" yang kini jumlahnya hanya 10-11 persen saja dari pemilih Jakarta.
Namun Ahok masih memiliki waktu 3 bulan untuk mengubah semua itu.
Bisakah Ahok dan die hardnya mengubah apa yang kini ada?
Tentu, dalam politik, banyak hal muskil bisa terjadi, walau sangat sulit.
Mengikuti judul film, bagi Ahok dan team die hardnya, bahkan untuk lolos di putaran kedua pilkada DKI Feb 2017 nanti ini "the mission impossible."
Tom Cruise dalam dunia film selalu berhasil mencapai "the mission impossible."
Apakah Ahok di dunia nyata akan berhasil pula?
Demikianlah kesimpulan survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA).
Survei dilakukan pada tanggal 31 Oktober- 5 November 2016 di Jakarta.
Survei dilakukan secara tatap muka terhadap 440 responden.
Responden dipilih dengan menggunakan metode multistage random sampling. Margin of Error survei ini plus minus 4.8%.
.
Survei ini dibiayai dengan dana sendiri, dan dilengkapi pula dengan kualitatif riset (FDG/focus group discussion, media analisis, dan indepth interview).
Elektabilitas Ahok terus merosot. Di bulan ini, sebelum tersangka, di November 2016, Elektabilitas Ahok sudah di bawah 30%, yaitu diangka 24.6 %.
Elektabilitas Ahok turun 6.8 % dari survei yang sama di bulan Oktober 2016 (31.4%).
Turun 24.5% jika dibanding survei Juli 2016 (49.1%).
Dan, elektabilitas Ahok turun 34.7% jika dibanding survei Maret 2016 (59.3%). Kasus dugaan penistaan agama (Kasus Al Maidah) adalah salah satu faktor utama turunnya suara Ahok di November 2016.
Saat survei dilakukan memang Ahok belum menyandang status tersangka, namun responden telah ditanya perihal dukungan bila Ahok menjadi tersangka kasus dugaan penistaan agama.
Hasilnya adalah terjadi penurunan dukungan yang signifikan terhadap Ahok-Djarot.
Setelah Ahok menjadi tersangka, dukungan untuk Ahok hanya di angka 10.6%. Ada 40% dari 24.6 persen pendukung bertahan mendukung Ahok-Djarot (10,6% dari 24,6%).
Tetapi, jumlah yang lebih besar 60% pendukung lama meninggalkan Ahok (14% dari 24,6%).
Elektabilitas pasangan lainnya yaitu Anies-Sandi dan Agus-Sylvi naik mendapatkan limpahan suara dari dukungan yang meninggalkan Ahok-Djarot.
Elektabilitas Anies-Sandi sebesar 20.00% (sebelum Ahok Tersangka) menjadi 31.90% (jika pertanyaan terbuka) dan 31.10 (jika pertanyaan tertutup jika Ahok tersangka).
Elektabilitas Agus-Sylvi sebesar 20.9% (sebelum Ahok tersangka) menjadi 30.9% (jika pertanyaan terbuka) dan , 32.30% (jika pertanyaan tertutup jika Ahok tersangka).
Dengan keadaan seperti ini, Ahok-Djarot berpotensi tersingkir bahkan di pemilihan putaran pertama. Ahok-Djarot di nomor buncit di antara dua pasangan lainnya, dengan selisih tertinggal sekitar 20 persen.
Dari aneka segmen pemilih, pemilih mana yang meninggalkan Ahok-Djarot? Konferensi pers LSI hari Jumat ini 18 November 2016 sudah mengurainya panjang lebar.
"Tak ingin saya ulangi lagi di tulisan ini. Saya hanya ingin menggarisbawahi mengapa Ahok kini ditinggal?" kata Denny JA.
Ada lima alasan.
Pertama, efek surat Al Maidah.
Sejak menjadi viral, video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menafsirkan surat Al Maidah Ayat 51 memunculkan kontroversi dan dugaan penistaan agama Islam.
Kontroversi dan protes sebagian besar umat Islam tersebut berujung pada aksi demo besar-besaran sebanyak 2 (dua) kali yang menuntut Ahok diperiksa dan diadili.
Kasus dugaan penistaan agama ini menjadi perhatian publik Jakarta secara luas.
Survei LSI Denny JA menunjukan bahwa sebesar 89.30 % responden menyatakan, mereka mengetahui kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Hanya dibawah 10 % saja yang mengatakan tak pernah mendengar.
Dari mereka yang pernah mendengar, sebanyak 73.20 % menyatakan pernyataan Ahok tersebut sebuah kesalahan.
Mayoritas publik pun (65.7%) menyatakan pernyataan Ahok soal Al Maidah Ayat 51 bentuk penistaan agama.
Mayoritas publik pun (63.7 persen) mendukung adanya proses hukum terhadap Ahok meskipun Ahok telah meminta maaf.
Ibarat pertarungan tinju, kasus surat Al Maidah "pukulan upper cut" yang hampir saja meng-KO" kan Ahok.
Kedua, tingkat kesukaan Ahok makin turun.
Tingkat kesukaan Ahok karena berbagai alasan juga menurun.
Di survei Maret 2016, tingkat kesukaan Ahok masih sebesar 71.3 %.
Di Juli 2016, tingkat kesukaan Ahok sebesar 68.9 %.
Di bulan Oktober 2016, tingkat kesukaan sebesar 58.2 %.
Dan, saat ini, di survei November 2016, tingkat kesukaan Ahok sudah dibawah 50 % yaitu sebesar 48.30%.
Menurunnya tingkat kesukaan atas Ahok adalah "pukulan jeb yang beruntun dan berbahaya bagi tingkat keterpilihannya. Pemilih mustahil memilih orang yang tak disukainya.
Ketiga, khawatir Jakarta di Bawah Ahok penuh Gejolak Sosial.
Massifnya gelombang penolakan terhadap Ahok, membuat masyarakat menjadi khawatir ke depan jakarta akan penuh gejolak sosial.
Personaliti Ahok dan sebagian pendukungnya, yang cenderung konfrontasi dengan pihak yang bersebrangan, ditakutkan masyarakat akan membuat gejolak sosial.
Dan, terakhir, berkembang psikologis tak aman jika Ahok tetap terpilih menjadi gubernur.
Apa gunanya sungai yang bersih, Jakarta smart city, jika sebagian penduduknya menyimpam bom waktu selalu ingin menurunkan sang Gubernur karena karakter Gubenur yang tidak sensitif dengan emosi publik?
Keempat, Agus dan Anies semakin menjadi pilihan untuk Jakarta yang stabil.
Kedua pasangan ini mampu untuk menampilkan minimal citra damai, yang akan membuat jakarta lebih stabil karena tidak adanya penolakan emosional.
Gaya dari masing-masing kandidat yang ramah, santun, lebih bisa dterima.
Kelima, citra buruk status tersangka.
Selama ini, semua pejabat (menteri, gubernur, dll) yang menjadi tersangka diminta mundur dari jabatannya.
Ini tradisi yang sudah kuat, tradisi good governance. Mereka risi jika tokoh yang tersangka kok malah dikampanyekan menjadi pejabat.
Mungkinkan, Ahok Bangkit Kembali?
Ahok mungkin bangkit jika bisa merebut kembali hati mayoritas pemilih Islam yang luka.
Mungkin pula Ahok bangkit jika bisa “play victim” bahwa ia tak salah walau tersangka.
Mungkin pula Ahok bangkit jika Agus dan Anies tak berhasil mengambil hati pendukung lama Ahok.
Namun, membangkitkan Ahok di tengah mayoritas pemilih yang sudah luka, memang hal yang maha sulit, walau tetap bisa saja dicapai.
Seperti yang ditulis di awal, itu the mission impossible.
Jika public mood atas Ahok tak berubah signifikan dalam tiga bulan ini, Ahok justru potensial tersingkir dalam putaran pertama.
0 komentar:
Post a Comment