Pada hari ketiga gencatan senjata setelah penjajah zionis ‘Israel’ menyerang Jalur Gaza selama empat minggu, situasi di Rumah Sakit Shifa menjadi relatif lebih tenang. Meski RS itu tetap ramai karena ada ratusan keluarga pengungsi yang berkemah di lantai-lantai RS. Di antara begitu banyak orang di RS Shifa tersebut, Narjes Al-Qayed (21 tahun) merasa sangat gugup. Ia sedang menanti saudara laki-lakinya yang berumur 12 tahun, Ahmed.
Pada 25 Juli lalu, ketika dilaporkan sedang ada gencatan senjata, Ahmed sedang kembali ke rumah mereka untuk mengambil kasur dan baju baru untuk Idul Fitri dan membawanya kembali ke sekolah UNRWA tempat mereka mengungsi.
Narjes mengatakan ia mengingat jelas senyum Ahmed ketika ia berkata,”Jangan lupa bawakan aku hadiah Idul Fitri.”
Akan tetapi, kedua bersaudara itu tidak berhasil kembali ke pengungsian dan tidak menemui Idul Fitri. Sebuah bom dari pesawat tanpa awak milik penjajah menghantam mereka berdua dalam perjalanan mereka kembali ke pengungsian PBB. Walaa langsung meninggal saat itu juga. Penjajah membunuh Walaa hingga tubuhnya hancur. Petugas medis harus mengumpulkan potongan tubuh Walaa yang terpisah-pisah karena bom dan membawanya ke RS Al-Aqsa di Deir Al-Balah.
Akan tetapi jenazah Ahmed tidak ada di situ ketika kru ambulans tiba. Hal ini terasa menakutkan sekaligus memberi harapan bagi keluarga Ahmed yang menelepon rumah sakit-rumah sakit yang ada untuk mencari berita. Para staf Komite Palang Merah Internasional memberi kabar bahwa Ahmed masih hidup dan dibawa tentara penjajah ke RS Sorko di Beersheba.
Kami sangat lega mendengar Ahmed masih hidup,” kata saudara ipar Ahmed.
Penantian selama 13 hari tanpa kabar mengenai kondisi Ahmed terasa menakutkan bagi keluarganya. Satu-satunya orang yang mungkin akan tahu tentang luka-luka Ahmed hanyalah Walaa, yang kini telah dimakamkan di pemakaman Deir Al-Balah.
Pada saat gencatan senjata minggu lalu, keluarga Ahmed memanfaatkannya untuk berlari ke rumah mereka dan menemukan sisa-sisa kantung cairan infus dan perban. Mereka berharap ini sebuah tanda bahwa tentara penjajah sempat memberikan perawatan medis bagi Ahmed. Karena persediaan obat yang terbatas, biasanya ambulans Palestina hanya mengangkut korban ke rumah sakit. Sementara tentara penjajah punya banyak perlengkapan medis yang mereka bawa ke lapangan.
Lalu pada 5 Agustus, keluarga Ahmed mendengar kabar bahwa beberapa korban terluka yang dirawat di RS penjajah telah dibawa pulang oleh Palang Merah Internasional.
Narjes langsung membawa hadiah Idul Fitri yang telah ia simpan dan bersama suaminya, Adham Al-Qayed dan saudara iparnya Amal Al-Sayad, pergi ke RS Shifa. Begitu sampai di RS Shifa, Narjes berlari ke seluruh penjuru RS dan mengecek keberadaan Ahmed. Akan tetapi, Ahmed tidak ada di mana-mana, di daftar pasien pun nama Ahmed tidak bisa ditemukan.
Lalu setelah sekian waktu, salah seorang petugas medis menghampiri dan menanyakan, “Apakah kamu saudara dari Al-Qayed?” Ketika mereka mengiyakan, petugas tersebut menyuruh mereka mengikutinya ke bagian selatan RS.
Narjes dan keluarganya tersebut hanya tahu sedikit mengenai posisi ruangan di RS Shifa. Sehingga mereka hanya bisa mengikuti petugas medis tersebut dengan gugup. Ternyata mereka dibawa ke ruang jenazah dan Narjes pun langsung terjatuh dan menangis, “Ahmed! Saudaraku Ahmed!”
Ahmed dan Walaa telah dibunuh penjajah. Pada tahun 2002, saudara mereka yang bernama Mahmoud yang saat itu berusia 12 tahun juga dibunuh oleh penjajah.
“Ahmad, aku mencintaimu. Bangun, Sayang, aku membawa hadiah Idul Fitri-mu,” kata Narjes sambil terus menangis. Tetapi Ahmed telah meninggal dengan luka di sekujur tubuhnya. Mungkin ia sempat bertahan beberapa hari sebelum ia kemudian dibawa kembali ke Gaza.
“Hancur benar hatiku karena kedua anakku dibunuh tanpa alasan. Mereka hanya ingin merayakan Idul Fitri,” kata ibu dari Ahmed dan Walaa. * (Middle East Eye|Sahabat Al-Aqsha)
0 komentar:
Post a Comment