Gerombolan Asu Jokowi

Oleh: Ragil Nugroho

Tugas asu [anjing] adalah mengonggong. Tentu saja menyalak pada siapa saja yang mengganggu sang Tuan. Inilah yang sedang dilakoni orang orang Kiri yang ada di kubu Jokowi. Agar gonggongan kuat, dibentuklah persekutuan bernama ASU [Asal SUka] Jokowi. Mereka telah menyiapkan gongongan paling keras demi melindungi Tuan Jokowi dari gangguan siapa saja.

Ketika menyusun konsep alieansi, Marx mengembangkannya dari Kitab Perjanjian Lama. Yaitu konsep syirik. Dalam pengertiannya, syirik bukan menyembah banyak Tuhan, tetapi ketika manusia memuja ciptaannya sendiri. Manusia membuat berhala, setelah jadi, ia sembah.

Pun, gerombolan ASU Jokowi melakukan hal serupa: mereka ciptakan berhala bernama Jokowi. Berhala tersebut dipahat dengan dilengkapi berbagai aksesoris agar menarik:populis, jujur, bersih, anti korupsi, anti asing, pembaharu, dsb. Setelah jadi, berhala Jokowi itu mereka puja dan sembah sebagai Yang Mahasuci dan Yang Mahamulia. Selain sebagai penyembah, mereka sekaligus berperan menjaga berhala Jokowi dari gangguan pihak lain yang ingin menghancurkannya.

Sebetulnya sejarah selalu maju, tapi kejadian kejadian bisa berulang; tentu saja dalam ujud yang berbeda. Kita ingat kisah arkaik tentang Abraham [Ibrahim]. Ia anak pembuat patung. Sampai suatu hari ia sadar patung patung tersebut tak lebih berharga dari manusia. Hanya ilusi tentang kekuatan Adi Krodati. Sebesar dan semegah apapun patung itu, tetap ciptaan manusia. Ia ambil kapak. Dihancurkannya patung patung di kuil pemujaan. Siapa yang marah atas kelakuan Ibrahim? Tentu saja para pemuja patung patung itu: Raja Namrud dan para pengikutnya.

Sekarang peran para pengikut Raja Namrud diambil alih gerombolan ASU Jokowi. Orang orang Kiri yang teraleanasi dengan pujaanya sendiri, siap memburu siapa saja yang akan mengusik berhala Jokowi.

Tentu saja tidak semua gerombolan ASU Jokowi berperan sebagai tukang kepruk. Ada juga di antara mereka yang berlaku sebagai pendeta dan brahmana. Tugasnya memberikan pengesahan lewat ayat ayat Marxisme bahwa memuja berhala Jokowi adalah kebenaran mutlak, tak bisa diganggu dan dibelokkan. Mereka mengutip ngutip kata kata indah dari Marx dan Lenin. Ditaburkan di atas berhala Jokowi sehingga bisa tampak sebagai pembebas kaum yang tertindas. Gonggongan mereka terlihat lebih halus dan apik karena diberi bunga bunga ayat ayat Marxisme. Dalil dipilih, ayat ayat disampih. Lahirlah sebuah fatwa kudus: menyembah dan membela berhala Jokowi adalah keharusan sejarah yang tak bisa disanggah.

Gerombolan ASU Jokowi mempunyai sifat sebagaimana tergurat dalam Perjanjian Lama: "Mata yang mereka miliki tak melihat, telingga mereka miliki tak mendengar." Kalaupun ada yang mengingatkan bahwa berhala Jokowi hanya ilusi, mereka akan mengamuk: mengonggong, menyalak, mencakar dan mengigit; kesetanan layaknya anjing gila. Bagi mereka, berhala Jokowi adalah yang Mahasempurna.

Lantas untuk apa mereka rela menjadi gerombolan ASU Jokowi? Tentu saja mereka berharap agar surga yang dijanjikan akan terwujud. Selama ini mereka merupakan orang orang Kiri yang gagal mewujudkan surga itu. Frustasi begitu akut. Harapan sirna. Maka pada suatu hari yang semenjana, mereka ciptakan berhala Jokowi.

Setelah berhala jadi, gairah mereka kembali membuncah. Si Jomblo dari Slipi yang sudah bosan sebagai penunggu gerai lukisan, turun ke gelanggang sembari membasuh keringat di dahinya yang selalu membasah. Si Botak dari Kalibata yang sempat menangis nangis karena mau didepak dari lembaga peramal, membuka kembali kitab kitab bulukan sambil mengelus elus botaknya. Yang lari ke negeri Paman Dollar karena melarikan permaisuri orang, muncul sebagai biksu suci pembawa obar Marxisme. Yang gagal menjadi tim hore dalam pemilihan aktor dan aktris di Senayan, seperti si Cebol dari Solo, tampil sebagai tukang kepruk untuk membuang kefrustasian. Dan, banyak lagi. Mereka berbaur dalam gerombolan Asu Jokowi.

Surga yang diharapkan oleh gerombolan Asu Jokowi tergurat dalam puisi kuno Sumeria yang berjudul "Enki dan Nimhusag":

Singa tidak membunuh
Serigala tidak merenggut domba,
Anjing ajak, pelahap anak anak tidak dikenal
Dia yang matanya melukai tidak berkata: "Mataku melukai."
Dia yang kepalanya pusing tidak berkata: "Kepalaku pusing." [dikutip dari buku 'Sejarah Dunia Kuno' karya Susan Wise Baufr]

Sebagaimana keimanan yang mesti total, gerombolan ASU Jokowi yakin bahwa Jokowi bisa mewujudkan surga itu.

Tapi seindah indahnya asu, tetaplah asu. Ia bisa saja dirawat dan diberi makanan enak, tapi tetap saja asu. Derajat mereka berada jauh di bawah si Tuan Jokowi--ciptaan mereka sendiri.

Semoga gerombolan ASU Jokowi selalu ingat corat coret di tembok: Selain asu dilarang kencing di rumah Emak Banteng!
(tikusmerah) DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About MUSLIMINA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment