Amar keputusan Pengadilan Uni Eropa menyatakan bahwa pelarangan tersebut tidak termasuk “diskriminasi langsung” jika aturan internal perusahaan tersebut melarang “pemakaian tanda politik, filosofi dan keagamaan.”
Pengadilan memberikan putusan akhir kasus dua Muslimah di Perancis dan Belgia yang dipecat dari pekerjaannya karena menolak melepaskan hijabnya karena bagi mereka ini adalah kewajiban agama.
AlJazeera menelisik pandangan 4 perempuan Muslim atas keputusan pengadilan Uni Eropa ini.
Ini artinya kami dipaksa memilih antara hak saya berpakaian dengan hak saya bekerja’.
Khedachi terlibat dalam proyek penanganan diskriminasi di Perancis dan Uni Eropa |
Ada obsesi diperbolehkannya pemakaian jilbab di Perancis. Kini, seiring keputusan tersebut, maka perlu ada pekerjaan tambahan untuk membangun feminisme inklusif yang dapat melindungi semua perempuan.
Sebagai Muslimah, saya merasa bahwa keputusan ini akan membuat kehidupan kesehariaan saya menjadi lebih sulit. Alih-alih melindungi maupun menegaskan hak saya. Saya melihat keputusan itu merupakan ancaman langsung keberadaan saya di negeri saya ini.
Sekarang, beberapa partai politik di Perancis sedang mempertimbangkan larangan pemakaian jilbab di ruang publik dan universitas, maka saya tidak dapat menganggap keputusan ini merupakan langkah maju. Ujaran kebencian yang menarget etnik minoritas dan agama semakin meningkat.
Saya adalah warga negara Perancis dan baru saja menyelesaikan pendidikan saya dan saya sekarang lagi mencari pekerjaan. Saya lulus dengan dua gelar sarjana, namun seperti kebanyakan orang, saya sedang mencari pekerjaan di luar negeri karena minimnya kesempatan di Perancis. Benar, jika saya dapat kesempatan mendapatkan pekerjaan di perusahaan Perancis, saya tahu bahwa pertanyaan tentang jilbab akan ditanyakan selama wawancara. Apakah saya akan tetap memakai atau melepaskan karena beresiko kehilangan pekerjaaan. Dengan kata lain, ini berarti saya dipaksa memilih antara hak saya memilih pakaian saya dengan hak saya untuk bekerja.
Dengan demikian, hidup menjadi semakin tidak mudah dan saya menjadi “orang asing di rumah saya sendiri”.
Ini karena kami dilihat sebagai masalah. Di masa lalu, umat islam tidak diharapkan masuk universitas atau bahkan terlihat. Saya kira keputusan ini hanya akan memberikan umpan atas praktik diskriminasi yang terjadi selama ini, seperti dukungan hukum.
Ini juga berkaitan dengan masalah yang lebih besar, keterlihatan perempuan Muslim. Apakah kita tidak diijinkan tampak seperti seorang Muslim? ataukah keterlihatan kami merupakan tindakan kriminal?
Ketika menjalankan pekerjaaan, netralitas menghendaki bahwa setiap pegawai memberikan pelayanan yang sama kepada konsumen -tidak peduli dengan pakaian yang dikenakan. Netralitas adalah tempat umum dimana kami, apakah itu ateis, agnostik, orang beriman- dapat hidup berdampingan dengan perbedaan kami dan diperlakukan seperti itu. Namun, pertanyaannya adalah: apakah netralitas tersebut? Dan seberapa jauh netralitas itu? Jika netralitas berhenti karena menjadi seorang seperti saya, maka bagaimana kita menjadikan netralitas sebagai kebersamaan dan penghormatan?
Mengabaikan hak perempuan untuk bekerja karena pakaiannya tidak sejalan dengan masyarakat Eropa yang demokratis dan inklusif seperti yang kita inginkan.
Harus jelas bahwa tidak mungkin bagi kita mencapai klaim kebebasan tubuh kita dengan retorika yang membatasi. Logika rasis tidaklah membebaskan namun menundukkan.
‘Pengadilan Uni Eropa telah memilih melindungi perusahaan ketimbang warga negaranya’
Warda El-Kaddouri Delegasi muda PBB 2015-2016
Ketika adik saya memutuskan memakai hijab pada usia 18 tahun, perasaan yang menggelayut orang tua saya adalah ketakutan. Takut karena anaknya tidak akan diterima, atau terbebani karena pilihannya; ditekan kesempatan pendidikan dan profesinya, bahkan boleh saya jadi dihina secara verbal dan fisik di masyarakat-hal yang sebenarnya telah terjadi.
Pemberdayaan perempuan bagi saya berarti memberikan kebebasan untuk membuat keputusannya sendiri tentang tubuh anda. Ini hanya tampak dalam kasus perempuan yang memilih berpakaian minim, bukan untuk perempuan berpakaian yang serba menutupi. Jika saya mempertimbangkan memakai hijab, saya dapat melakukannya tanpa harus takut kehilangan pekerjaaan saya. Kapasitas dan kecakapan seseorang tidak berubah karena ada pakaian penutup kepala saya.
Saya telah melihat para perempuan yang memakai hijab yang ditolak berulang kali untuk magang atau mendapatkan pekerjaaan. Saya telah melihat bagaimana mereka sedikit demi sedikit mengidap keadaan mental kehilangan motivasi dan terasing dan bahkan depresi. Bagaimana anda menuntut mereka berpartisipasi dalam masyarakat?
Dapat bekerja dalah faktor krusial partisipasi dan integrasi sosial. Bukannnya kita menjadikan pasar tenaga kerja lebih mudah diakses bagi kelompok minoritas agama dan etnik, perempuan, namun kita justru memilih menciptakan lebih banyak hambatan bagi para perempuan Muslim yang berhijab. Mengapa seorang perempuan harus mencopot hijabnya hanya untuk mendapatkan persamaan kesempatan?
Warda El-Kaddouri mengkampanyekan anti diskriminasi tenaga kerja di Sidang Majelis PBB ke 70. |
Saya lebih lanjut berargumen bahwa perbedaan agama pada kenyataannya merupakan hasil dari negara yang netral. Ketidakhadiran simbol agama yang dipaksakan seperti hijab tidak dapat disebut netral seperti yang diklaim partai-partai sayap kanan Flemish.
Belgia rentan terhadap partai-partai sayap kanan dan nasionalis di Eropa. Para politisi, publik dan intelektual dan para pembuat opini secara rasial berprasangka dan menstigmakan tanpa terkecuali. Keputusan tersebut memaksakan apa yang telah ada tentang larangan pemakaian simbil agama di ruang publik, seperti sekolah dan gedung pertemuaan di Belgia. Oleh karena itu, partai-partai politik sayap kanan merasa mendapatkan dukungan untuk melakukan tindakan (rasial) mereka seperti sebelumnya.
Muslimah yang memilih memakai hijab telah tahu sebelumnya bahwa kesempatan pekerjaaan mereka terbatas. Saya menganggap mereka ini sebagai kelompok sosial yang rentan, apalagi dengan latar belakang imigran. Mereka mendapatkan diskriminasi atas dasar etnik, jender dan agamanya.
Keputusan baru telah memberikan jalan legal kepada perusahaan untuk menyingkirkan mereka yang berhijab. Pengadilan Uni Eropa telah memilih melindungi perusahaan ketimbang warga negaranya.
Dampak psikologis atas Muslim Eropa tidak dapat dianggap enteng.
Dengan latar belakang atmosfer permusuhan politik, kedamaian pikiran saya sangat bergantung kepada pilar demokrasi, pengadilan. Menjadi seorang perempuan kulit berwarna, saya menganggap bahwa skenario terburuk xenophobia adalah dengan mengandalkan sistem hukum untuk melindungi hak dasar saya sebagai manusia. Kini, saya merasa tidak ada kepastian. Saya dapat melihat ketakutan keluarga-keluarga saudara dan teman-teman Muslim saya.
‘Netralitas adalah Ilusi’
Aya Sabi menulis tentang isu HAM untuk beberapa koran Belgia dan kini menulis buku. |
Meskipun keputusan tersebut berlaku untuk semua agama, namun dimulai karena kasus jilbab dan pada praktiknya kita melihat bahwa hukum ini akan berdampak kepada perempuan yang memakai jilbab dan masyarakat penganut Sikh.
Jilbab menganggu banyak orang karena ada dalam kepala mereka gambar Muslim dan Islam yang menakutkan. Perusahaan takut kehilangan pelanggan mereka, atau mungkin takut dengan jilbab sendiri, yang disinilah mengapa prinsip netralitas dibuat. Namun netralitas itu sendiri adalah ilusi.
Netral adalah kata lain normal, apa yang kita anggap oke, dan segala sesuatu diluar kita tidak oke. Hari ini mereka ini adalah Muslim. Mereka tidak oke, tidak normal dan tidak menjadi bagian disini. Dengan kata lain, mereka tidak sedang berada dirumahnya sendiri.
“Jika anda dilayani oleh seorang perempuan berjilbab, apakah itu di meja, atau bekerja dengan anda, atau mengajar anda, dia pertama dan utama adalah seorang perempuan yang memilih pada pagi hari itu untuk menutupi kepalanya sebagai (keputusan tentang ) tubuh mereka. Dan karena tubuhnya menjadi hal pertama dan utama bagi dirinya, tidak ada orang lain yang berhak mempertanyakan pilihannya, atau melarangnya.”
‘”Bagi Muslimah jilbab bukan hanya aksesoris, namun bagian dari keyakinan.”
Ilknur Kucuk is penulis keturunan Turki berusia a 38 tahun.
Anak perempuan saya berusia 11 tahun pernah bertanya kepada saya: “Mama, Apa saya harus keluar dari Jerman untuk belajar karena berjilbab sebagaimana mama keluar dari negaranya (Turki) untuk belajar?” Saya katakan,”Tidak sayang, di Jerman kamu dapat belajar dan bekerja dengan jilbab. Jangan khawatir.” Namun kini, saya tidak yakin dengan jawaban saya.
Saya harus meninggalkan Turkikarena jilbab 20 tahun lalu agar dapat belajar sambil berjilbab. Saya adalah orang mengalami kesulitan karena keyakinan agama.
Saya mendapati keputusan pengadilan Eropa yang memperbolehkan perusahaan melarang “pemakaian simbol politik, filosofi dan agama” sebagai keputusan yang sangat penting. Keputusan pengadilan muncul bersamaan beberapa negara Eropa seperti Jerman, Perancis dan Belanda sedang masuk musim pemilu.
Ilknur Kucuk bekerja untuk LSM di Koln dan editor buletin Islam Turki |
Bagi Muslimah jilbab bukan hanya sekedar aksesoris, namun menjadi bagian keyakinan agama. Maka seperti etnik, maka hal itu tidak dapat diubah atau digantikan. Larangan berjilbab akan membuat mereka keluar dari pekerjaannya.
Jika kita melihat para pendukung larangan berjilbab di Jerman, kita akan melihat bahwa kebanyakan mereka adalah orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang Muslim dan Islam.
Misalnya, saya punya tetangga Jerman yang tidak pernah berkunjung ke tetangganya yang Muslim. ketika kami tinggal berdekatan, mereka bertanya banyak hal tentang Islam dan perempuan Muslim. Setelah itu, mereka mengakui;“Kami mengakui hingga kini, kami tidak tahu orang-orang Muslim.”
Sayangnyam larangan berjilbab akan membuat 4 juta Muslim di Jerman akan mengalami diskriminasi. Di masa depan, saya akan terus menulis dan memperjuangkan hak kami.
0 komentar:
Post a Comment