Amerika terlihat sangat hati-hati bercampur khawatir dengan perkembangan politik Mesir. Hal ini terlihat dari gerakan Amerika yang mengambil banyak jalur; menteri luar negeri, wakil menteri luar negeri, menteri pertahanan, anggota kongres, dan sebagainya.
Penolakan Ikhwan untuk berdialog dengan Amerika berawal dari keyakinan mereka akan keterlibatan Amerika dalam kudeta. Bahkan Ikhwan menuduh dubes Amerika, Anne Patterson, mensupervisi secara langsung proses kudeta, dan turut mengancam Presiden Mursi beberapa saat sebelum terjadi kudeta.
Sekarang, dubes Amerika pun mengemas kopernya untuk segera meninggalkan Mesir. Hal itu karena indikasi menguat bahwa kudeta tidak akan bertahan lama. Apalagi setelah kunjungan Ashton menemui Presiden Mursi yang menekankan keteguhannya memegang legitimasi dan haknya untuk kembali memimpin Mesir.
Amerika meyakini bahwa sikap Presiden Mursi takkan bisa dirubah dengan peristiwa dan konspirasi. Bahkan kudeta telah menampilkan beliau sebagai orang yang kuat dan tegas, menampilkan Ikhwan sebagai organisasi yang tertata dengan rapi, mudah dimobilisasi, dan memegang kuat tanggung jawab.
Hal inilah yang membuat Amerika meyakini, permasalahan akan tambah berat kalau Presiden Mursi kembali memimpin. Israel juga tampak sangat cemas. Hal itu seperti dipahami dari penyataan Simon Perez bahwa Israel akan dihukum saat kudeta militer Mesir gagal. Beliau juga selalu menyebut-nyebut “Petaka yang akan datang”
Kecemasan ini wajar karena Israel mendukung secara resmi kudeta militer di Mesir. Bahkan Netanyahu memberi pernyataan pada tanggal 29 Juli lalu bahwa keberhasilan kudeta militer di Mesir lebih penting daripada menggagalkan program nuklir di Iran. Oleh karenanya, dia selalu meminta Obama untuk menekan para pemimpin Arab dan lainnya agar berkunjung ke Mesir sehingga lambat-laun pemerintah kudeta mendapatkan legitimasinya.
Amerika menerima tekanan bertubi-tubi dan bermacam-macam; dari Kongres, LSM yang anti kudeta militer, Lobi Yahudi yang khawatir Presiden Mursi kembali memimpin.
Selain itu, pemerintah mempunyai beban mental berupa tidak mulusnya kudeta militer di Mesir, masalah Korea Utara, kebocoran informasi oleh Edward Snowden tentang proyek Amerika dalam pengawasan elektronik terhadap dunia.
Semua ini membuat pemerintah Amerika gamang menjerumuskan diri dalam kudeta militer Mesir. Apalagi yang dikudeta adalah seorang presiden dari kalangan aktifis Islam yang terpilih secara demokratis murni seperti dinilai Jimmy Carter.
Impian Amerika sungguh telah lenyap di Rab’ah Adawiyah. Begitu kuat pendukung Presiden Mursi bertahan dalam demokrasi damai. Di sisi lain, pihak kudeta selalu gagal dalam banyak langkahnya, seperti rekayasa video dan surat kabar, perpecahan internal karena ambisi pribadi para penyokong kudeta, pembubaran dengan kekerasan, jatuhnya banyak korban jiwa, dan sebagainya.
Saat ini Amerika tidak bisa berbuat banyak. Sehingga mendorong Uni Eropa dan beberapa negara Eropa untuk berusaha mempertahankan status kudeta walaupun harus menerima beberapa poin rencana yang harus dirubah.
Semoga kegagalan Amerika dalam kudeta militer Mesir akan membuatnya berpikir ulang dalam melakukan hal serupa di negara-negara yang mengalami Arabic Spring. Walaupun demikian besar tekanan dari negara-negara Teluk seperti Emirat, Bahrain, dan Saudi Arabia. Karena dalam kondisi apapun, Amerika hanya memikirkan kepentingannya, bahkan dalam kondisi kembalinya Presiden Mursi memerintah Mesir. (msa/sbb/dkw)
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment