Siapa Menebar Isu SARA akan Menuai Badai
*Sapto Waluyo
Memasuki putaran kedua, pemilihan kepala daerah DKI Jakarta semakin memanas. Dua pasang Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang maju ke babak final adalah Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat versus Anies Baswedan dan Sandiaga Shalahuddin Uno.
Sejumlah lembaga survei sudah memprediksi kandidat yang akan menang pilkada. Misalnya, Media Survei Nasional (Median) menyebutkan elektabilitas Anies-Sandi pada putaran kedua mencapai 46,3 persen, sedangkan Basuki-Djarot hanya 39,7 persen. Pemilih yang belum menentukan sikap cukup besar (14 persen).
Gelombang ‘asal bukan Ahok’ (Abah) disebut Median akan semakin menguat. Lebih dari 35 persen pemilih Agus-Silvy pada putaran pertama akan beralih ke Anies-Sandi, hanya 10 persen yang memilih petahana, dan 55 persen belum menentukan sikap.
Sedangkan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny J. A. memperlihatkan keunggulan elektabilitas Anies-Sandi pada putaran kedua (49,7 persen) dan mengalahkan petahana (40,5 persen). Pemilih yang belum menentukan sikap hanya 9,8 persen.
Anies-Sandi hanya membutuhkan dukungan 1 persen lagi untuk memenangkan pilkada. Aliran dukungan di lapangan memang menunjukkan arus perubahan. Hal itu tentu saja membuat kubu petahana panik.
Tetiba isu SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan) pun dimainkan. Di media sosial tersebar meme provokatif, “Program 100 hari Gubernur DKI Jakarta – Jakarta Bersyariah”. Ada foto Anies-Sandi yang mengapit rencana ‘Qanun Jinayat” (rangkaian Perda Syariah yang mengatur: wilayatul hisbah, ikhtilath, khalwat, liwath, musahaqah, uqubah cambuk, maisir, khamar, dan zina). Lalu, foto sejumlah ulama terkenal (KH Makruf Amin, Habib Rizieq Shihab, Prof. Didin Hafiduddin, Aa Gym, Arifin Ilham, dll) dijejer dengan tokoh politik (Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, M. Sohibul Iman, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dsb). Di bagian bawah dipajang logo organisasi Islam dan partai-partai nasional.
Meme itu membawa pesan apa dan ditujukan kepada siapa? Tak jelas. Karena sekarang para tim sukses tak lagi fokus melakukan positive campaign (memasarkan keunggulan kandidat pilihan) atau negative campaign (membongkar kelemahan kandidat kompetitor), tetapi lebih banyak black campaign (serangan merusak kredibilitas kompetitor atau mengacaukan persepsi publik pemilih).
Meme provokatif jelas ditujukan kepada undecided voters atau Golongan Putih yang tak bersikap di putaran pertama. Provokasi juga menyasar swing voters (pemilih yang mudah bergeser), karena kandidat jagoannya pada putaran pertama (Agus-Silvy) tidak lolos. Mereka harus menentukan pilihan atau bersikap netral, tergantung situasi yang paling menguntungkan.
Tak cukup dengan meme, disebarkan pula “Akad Kontrak” (Aqd al-Ittifaq) palsu antara Anies-Sandi dengan Forum Umat Islam (KH Muhammad al-Khaththath), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (H. Drs. Muhammad Sidik), dan Hizbut Tahrir Indonesia (KH Ismail Yusanto). Kontrak itu palsu karena jelas tanda-tangan yang tercantum bukan bikinan Anies-Sandi yang asli.
Anehnya, meski jelas palsu, berita kontrak abal-abal itu ikut disebarkan surveyor dan pengamat politik Saiful Mujani dengan embel-embel pertanyaan hoax. Kesannya, Saiful juga tidak tahu, sehingga Eep Saefullah Fattah memberi komentar agar Saiful memeriksa Wikipedia saja untuk mengetahui tanda-tangan Anies yang asli.
Siapa Menebar Isu SARA?
Mengapa isu SARA yang digunakan untuk menyerang kandidat penantang? Menurut Burhanuddin Muhtadi (Kompas, 21/2/2017), pemilih Jakarta terbelah antara: rasionalitas (tingkat kepuasan terhadap kinerja petahana cukup tinggi 73,4 persen) beda dengan akseptabilitas/favorabilitas (tingkat penerimaan/kesukaan yang rendah). Otak pemilih Jakarta membela petahana, tetapi hati pemilih menolak petahana karena sikap arogan dan meremehkan mayoritas Umat Islam.
Berdasarkan riset atas hasil putara pertama itu, maka isu SARA dipandang paling mudah menyulut emosi dan mengguncang akseptabilitas/favorabilitas Anies-Sandi yang terus menguat, bersamaan dengan elektabilitasnya yang meningkat. Dari situ kita paham, mengapa meme provokatif dan isu kontrak palsu digencarkan.
Selain itu, juga beredar kabar tentang nenek Hindun binti Raisman (78 tahun), warga Setiabudi, Jakarta Selatan yang meninggal (7/3/2017) dan konon tidak disalatkan di musala terdekat. Berita bohong itu ramai beredar di media sosial, antara lain melalui akun sastrawan terkenal Goenawan Mohammad (@gm_gm), yang diketahui publik menjadi pendukung petahana.
Setelah dikonfirmasi ke warga setempat dan pengurus musala, ternyata jenazah diurus dengan baik dan dishalatkan serta dimakamkan sebagaimana layaknya (TribunNews, 11/3/2017). Provokasi isu SARA telah menyentuh ruang privat warga Jakarta. Hal itu sangat berbahaya bila dibiarkan menjadi liar.
Peneliti dari Jepang, Ken Michi (2014) pernah meriset hasil Pilkada tahun 2012 yang dimenangkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama atas petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Miichi membandingkan hasil pilkada dengan data demografi Jakarta tahun 2000 untuk menguji pengaruh etnik dan agama terhadap sikap pemilih, berdasarkan uji statistik. Ternyata, Miichi menemukan faktor agama lebih berpengaruh terhadap sikap pemilih dibandingkan dengan faktor etnik.
Pada pilkada 2007, hanya 7,5 persen yang memilih petahana karena alasan agama. Tapi, dalam pilkada 2012, lebih dari 25,9 persen yang memilih petahana berdasarkan kedekatan agama. Sementara yang memilih karena alasan etnik hanya kurang dari 5 persen.
Namun, isu SARA dalam pilkada dimainkan bukan untuk memenangkan kandidat unggulan, tetapi untuk memojokkan sang penantang. Pada Pilkada DKI tahun 2007, petahana saat itu Fauzi Bowo (Sekda DKI) berpasangan dengan Prijanto (mantan Kasdam Jaya dan Aster KASAD) melawan Adang Darajatun (mantan Wakapolri) dan Dani Anwar (anggota DPRD DKI).
Petahana diusung oleh 20 partai besar dan kecil, sementara penantang hanya mendapat dukungan PKS. Isu yang beredar, jika Adang-Dani menang, maka Taliban akan berkuasa di Ibukota Jakarta. Isu itu tentu saja meneror pemilih, hingga akhirnya Fauzi-Prijanto memenangkan suara 57,87 persen atas Adang-Dani (42,13 persen). Sentimen serupa diputar ulang pada pilkada saat ini.
Uniknya, pada Pilkada 2012, Fauzi Bowo selaku petahana berpasangan dengan Nachrowi Ramli dan dicitrakan lebih radikal serta sektarian. Sementara pendatang baru Jokowi-Basuki diperpsepsikan lebih inklusif dan toleran. Isu SARA berbalik mengancam petahana, hingga kalah suara (46,2 persen) dengan pendatang baru (53,8 persen).
Jelas terlihat, isu SARA telah memojokkan kandidat yang dipersepsi radikal dan intoleran, sehingga pemilih yang ragu/bimbang akan mengalihkan dukungan kepada kandidat yang dicitrakan moderat dan inklusif.
Keunggulan Penantang, Kelemahan Petahana
Dari berbagai survei terbukti keunggulan Anies-Sandi bukan karena mengeksploitasi isu SARA, melainkan kuatnya karakter kandidat dan tim pendukung yang kompak. Faktor pertama dan utama adalah sikap tegas dan berani untuk menolak reklamasi Teluk Jakarta.
Itulah diferensiasi Anies-Sandi yang menonjol dibanding petahana yang mati-matian membela kepentingan pengembang. Sikap itu tak hanya meraih respons positif dari warga nelayan yang dirugikan, melainkan juga mendapat justifikasi dengan tiga kali putusan PTUN yang memenangkan gugatan warga atas kebijakan reklamasi petahana.
Kedua, program yang jelas bermanfaat dan aplikabel, antara lain One Kecamatan One Centre of Entrepreneurship (satu kecamatan satu pusat wirausaha). Sudah ribuan warga yang mengikuti pelatihan Oke Oce di berbagai pelosok kampung Jakarta, bahkan ada beberapa yang mendapat suntikan modal usaha sebagai percontohan. Produk binaan Oke Oce pun telah ditampilkan Sandi Uno dalam salah satu momen debat.
Begitu besarnya dampak program Oke Oce, hingga petahana buru-buru meresmikan Jakarta Creative Hub dengan dukungan dana CSR dari konglomerat. Jika petahana sudah menyontek program penantang, itu tanda kekalahan moral.
Ketiga, tim pendukung yang kompak, tak hanya melibatkan aktivis partai (PKS dan Gerindra), namun juga relawan dari beragam latar belakang sosial dan profesi. Mulai dari tokoh muda (Indra J. Piliang), Raja dangdut Rhoma Irama, tokoh perempuan Fahira Idris (anggota DPD RI asal DKI Jakarta), hingga para Ulama dari beragam organisasi.
Dukungan partai pun bertambah dengan PPP (DPW DKI pimpinan H. Abraham Lunggana) dan PAN (digerakkan langsung Zulkifli Hasan dan Eko Patrio).
Sementara itu, petahana mengidap kelemahan mendasar, sehingga acap berbuat blunder. Pertama, karakter petahana yang emosional terbukti sekali lagi dalam rapat pleno KPU untuk penentuan hasil pilkada (Kompas, 5/3/2017).
Fakta menunjukkan petahana dan rombongan salah masuk ruangan tunggu, tetiba marah dan walk out dari rapat, lalu menuduh Anies-Sandi terlambat. Padahal banyak wartawan menjadi saksi bahwa Anies-Sandi datang sebelum jadwal rapat dimulai.
Sikap emosional itu bukan hanya refleks, tetapi sudah menjadi habitus. Akibatnya, menular kepada para pendukungnya, terutama para buzzer di media sosial.
Tindakan emosional petahana yang paling menyinggung Umat Islam ialah ketika menyudutkan KH Ma’ruf Amin (Ketua Umum MUI dan Rais Aam Syuriah NU) sebagai saksi ahli di pengadilan (Kumparan, 1/2/2017).
Blunder besar itu yang membuat suara petahana anjlok pada hari pencoblosan. Padahal, target kemenangan sudah dicanangkan sedikitnya 51 persen, menang satu putaran.
Kedua, program petahana bersifat rutin dan tak ada inovasi. Kartu Jakarta Pintar (KJP) digelontorkan jor-joran tanpa target pencerdasan siswa dan pemberdayaan orangtua.
Kondisi prasyarat agar bantuan langsung tunai (cash transfer) bisa berdampak sosial positif tidak diperhatikan. Bahkan, sekarang merebak intimidasi bahwa KJP dan KJS tidak akan berlanjut, jika Anies-Sandi menang pilkada.
Padahal, program itu sudah ditetapkan dalam APBD dan akan tetap bergulir, siapapun Gubernur/Wakil Gubernur yang terpilih. Pembodohan macam itu memperlihatkan petahana sudah kehilangan kreativitas dalam mengelola kebijakan.
Ketiga, perpecahan di kalangan pendukung utama, ditandai oleh relawan Teman Ahok yang menyatakan rehat dulu, karena sudah lelah sejak 2014 mendukung pencalonan petahana.
Mungkin posisi relawan sudah digeser pengurus partai yang semakin dominan (Kompas, 10/12/2016). Mungkin pula ada urusan distribusi finansial dan logistik yang tidak lancar. Petinggi PDIP sebagai pengusung utama justru memobilisasi anggota DPR RI dari seluruh Indonesia agar berkontribusi dalam pemenangan pilkada Jakarta.
Belum lagi, ditambah mobilisasi 10.000 saksi yang dibekali ilmu bela diri dan taktik intelijen. Tipikal pendukung petahana mirip Iwan Bopeng yang mengintimidasi warga di TPS, sampai menghina TNI (mau dipotong-potong). Iwan akhirnya minta maaf, dan anehnya, batal diperiksa Polri. Aparatur kepolisian yang tidak netral akan berbahaya bagi stabilitas politik daerah.
Tiga keunggulan Anies-Sandi sebagai penantang dan tiga kelemahan petahana akan menentukan hasil Pilkada tahap kedua. Warga belajar dari pengalaman pilkada di masa lalu, siapa yang menebar isu SARA akan menuai badai kekalahan. Jakarta memang harus berubah.
*Direktur CIR (Center for Indonesian Reform)
0 komentar:
Post a Comment