Motasem A Dalloul
Beberapa hari lalu, Jerman, Belanda dan Swedia telah membatalkan acara ekspatriat Turki karena menganggapnya sebagai ancaman keamanan. Di Jerman dan Belanda, situasinya sangat jelas ketika para pejabat senior Turki, termasuk para menterinya dilarang masuk dan bahkan dideportasi. Menteri Keluarga dan Urusan Sosial Turki misalnya ditahan oleh kepolisian Belanda sebelum dideportasi. Fatma Betul Sayan Kaya mengklaim bahwa dia telah “diperlakukan tidak manusiawi” oleh aparat keamanan Belanda.
Dibawah pemerintahan AKP, Turki telah melalui beberapa pemilu demokrasi secara aman. Pluralisme politik memiliki tempat yang berarti di negara itu, sementara peran masyarakat sipil semakin diperluas. Era kudeta militer di Turki telah berakhir. Kudeta militer tahun berhasil digagalkan karena rakyat dan institusi sipil melawan aksi kudeta yang didukung internasional. Ratusan jenderal dan perwira senior ditahan. Pelbagai rapat akbar digelar oleh para pemilih Turki yang tinggal di Eropa untuk memberi dukungan bagi pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan. Di Barat, Erdogan dianggap sebagai rejim yang arogan dan otoritarian, meskipun pada kenyataannya, AKP telah membebaskan Turki dari pemerintahan militer, mereformasi institusi militer dan merestrukturisasi lembaga-lembaga intelejen.
Namun, Barat masih tidak memberikan kesempatan kampanye kepada sang “diktator” yang berencana mengonsentrasikan kekuasaan di tangannya. Ini yang tampak jelas dalam pernyataan pelbagai pemimpin Eropa. Bandingkan dengan komentar para pemimpin mereka pada saat kemenangan AKP pada 2002. Penulis Arab Mohammed Amari menyebutkan bahwa mereka semua menyambut hasil pemilu dan memberi selama kepada warga Turki karena sukses melakukan proses demokrasi yang bebas. Namun, mereka sangat tidak senang ketika kendali Erdogan atas AKP.
Sederhananya, Jelas bahwa Barat tidak ingin Muslim yang disebutnya “Islamis” memimpin Turki, dimana imperium Usmani pernah berkuasa. Imperium Usmani dikalahkan dalam Perang Dunia I dan dihancurkan pada 1924. Bukan rahasia bahwa Barat berada dibalik penyingkiran para Sultan Usmani, dengan mendukung Mustafa Kamal Ataturk untuk “memodernisasi” Turki dengan cara menyingkirkan Islam dari kehidupan rakyat Turki; pakaian Barat diwajibkan, sementara tulisan Arab diganti dengan Latin Romawi sebagai tulisan pengganti.
Menlu Inggris pada waktu itu, Lord Curzon mengatakan kepada Majelis Rendah setelah perjanjian Lausanne pada 1923, “Ketika kita berhasil mengakhiri Khilafah, maka kita harus menjamin bahwa tidak ada lagi kebangkitan persatuan Muslim, baik itu secara intelektual maupun kultural.” Dia juga mengatakan bahwa Barat “harus mengakhiri segala sesuatu yang mengarah kepada persatuan Islam di antara para pemeluknya.” Ini yang telah menjadi inti agenda Barat di dunia Islam sejak itu.
Para pemimpin Barat telah menjalankan agenda selama puluhan tahun untuk merusak upaya persatuan dunia Islam dan tampak terang dalam kampanyenya sekarang terhadap Ikhwanul Muslimin. Salah satu ironi yang ditampakkan laiknya perang terhadap gerakan ini adalah suka cita Amerika pada saat pembunuhan Hasan al Banna, pendiri Ikhwanul Muslim. Peristiwa itu membuka mata seorang pejabat senior kementerian budaya Mesir yang rindu persatuan dunia Islam pada saat itu. Sayyid Qutb pada waktu itu sedang melakukan perjalanan di AS pada 1949 ketika peristiwa itu terjadi. Dia sangat terkejut atas sambutan suka cita penduduk Amerika atas tewasnya Hasan al Banna.
Dunia Muslim, khususnya Timur Tengah telah menyaksikan kebangkitan Islam setelah mencoba pelbagai isme yang berbeda, apakah itu Marxisme, kapitalisme dan sekularisme. Secara berturut-turut, Barat telah meningkatkan upayanya untuk mendemonisasi Islam dan kaum Muslimin. Meskipun Ikhwanul Muslimin mempromosikan demokrasi dan jalan anti kekerasan, demikian pula AKP, partai Islam yang moderat dan demokratis, namun mereka tetap menganggap kelompok Islam itu telah melakukan kejahatan terhadap Muslim maupun non Muslim.
Dalam pidato pada 2005, Presiden George W Bush menyatakan bahwa dia tidak ingin melihat kelompok Islamis bersama-sama memimpin negara-negara mereka karena mereka pasti akan mendirikan imperium Islam. “Para militan meyakini bahwa mengendalikan satu negara akan dapat mengerahkan massa Muslim,” klaimnya.” membuat mereka dapat menggulingkan ‘pemerintah moderat’ di kawasan itu dan mendirikan imperium Islam yang radikal yang membentang dari Spanyol hingga Indonesia.” Ide tentang “pemerintahan moderat” versi mereka adalah pemerintah diktator dan monarki absolut yang tundak kepada tekanan Barat.
Presiden Bush menganggap Muslim adalah teroris dan menjadi ketakutan nyata Barat. “Dengan kekuatan politik, ekonomi dan militer yang lebih besar, para teroris akan dapat menjalankan agenda yang dirancangnya: mengembangkan senjata pemusnah massal, menghancurkan Israel, mengintimidasi Eropa, menyerang penduduk Amerfika dan memeras pemerintah kita.” Bahkan cara berpikir semacam ini jauh dari jalan pemikiran mayoritas Muslim sekarang ini, pandangan tersebut tidak lebih merefleksikan sudut pandang Islamophobia.
Kata-kata Bush sedikit banyak menggema dalam pandangan PM Inggris pada waktu itu, Tony Blair dan Menteri Dalam Negerinya, Charles Clarke, Dick Cheney, Kanselir Angela Markel dan sosok-sosok lainnya yang menyatakan ketakutan yang sama. Semua pemimpin ini ingin menjadikan Muslim tetap terpecah belah sehingga mereka tidak dapat lagi mendirikan khilafah, kata yang sering banyak disebut.
Mengapa khilafah? “Kepemimpinan politik yang bersatu di dunia Islam,” tukas salah satu sumber, “yang dihancurkan pada 1924 setelah 1350 tahun berkuasa. Sepeninggal Rasulullah Muhammad, para khalifah dipilih untuk memimpin para Muslim. Dalam periode yang dinamis ini, khilafah Islam menjadi jantung peradaban besar, mengantarkannya menjadi pemimpin dalam iptek, hukum, filosofi, matematika dan astronomi.”
Ikhwanul Muslim menyatakan sejak awal bahwa gerakan ini didirikan utamanya dalam jangka panjang adalah menegakkan kembali kekhilafahan, menegaskan bahwa ini merupakan cara yang terbaik mengembalikan era sejahtera di bidang sains dan sebagai bangsa yang beradab. Ini adalah kenyataan sejarah bahwa ketika Muslim bersatu dibawah satu entitas politik maka mereka akan akan menjadi umat yang maju dalam banyak hal. Inilah yang saya katakan mengapa Barat tidak ingin Muslim bersatu kembali. Mengapa mereka sangat memusuhi sosok seperti Recep Tayyip Erdogan, meskipun moderat, tetap dimusuhi Barat.
Erdogan tidak menganggap Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris dan mengadopsi ideologi Islam yang sangat dekat dengan gerakan tersebut sehingga Barat tidak menyukainya. Jika dia menjadi pembela sekularis yang gigih, dia pasti didukung barat sekalipun berkuasa dengan tangan besi selama puluhan tahun. Kita cukup hanya melihat bagaimana Barat mendukung para diktator yang tidak demokratis di seluruh dunia Arab dan itu pula faktanya.
Barat tidak hendak membela demokrasi. Mereka mengklaim bahwa Erdogan membawa Turki kepada otoritarianisme dan kediktatoran. Jika mereka peduli dengan demokrasi, mengapa mereka tetap mempertahankan hubungan yang kuat dengan rejim tiran di Mesir, negara-negara Teluk dan banyak negara-negara lain? Mengapa mereka tutup mata kepada catatan pelanggaran kemanusiaan di Mesir dimana rejim militer mengkudeta presiden yang dipilih oleh rakyat? Alih-alih mengecam rejim diktator di Kairo, para pemimpin Barat memberikan dana dan senjata agar rakyat Mesir dapat terus ditundukkan dan tidak lagi terpikirkan memilih presiden dari Ikhwanul Muslimin. Barat tidak benar-benar mendikung demokrasi di dunia Islam, setidaknya di Turki. Mereka hanya tertarik untuk meyakinkan bahwa dunia Islam dan umatnya tetap terpecah belah.
0 komentar:
Post a Comment