Spanduk-Spanduk itu Akhirnya Lenyap
DUA hari yang lalu saya melakukan safar lumayan jauh, menuju Probolinggo. Perjalanan agak spesial, mengingat ada hal yang cukup menarik.
Bagi saya, tahun ini merasa spesial melakukan perjalanan ke luar kota. Di antara pengalaman yang berkesan bagi saya adalah hilangnya spanduk-spanduk ucapan Perayaan Natal yang biasanya bersambung dengan Slamat Tahun Baru di banyak tempat.
Selama perjalanan saya dari Malang menuju Probolinggo sangat sedikit saya temui spanduk-spanduk Ucapan Natal dan Tahun Baru yang dulu biasa dipasang di pinggir-pinggir jalan maupun pusat-pusat keramaian.
Awalnya saya kurang menyadari hal tersebut. Baru ketika mulai masuk Kota Probolinggo seakan tersadar bahwa tulisan ucapan itu hampir tidak ada. Kalaupun ada, tidak sebanyak 5 tahun belakangan ini.
Saya menemukan tulisan itu pertama kali di depan sebuah kantor dinas milik Pemkot Probolinggo. Spanduk berikutnya terpampang di depan Koramil, ada juga di salah satu toko di sebuah pasar.
Ucapan paling jelas terlihat dari bilboard besar melintang di atas jalan raya bergambar bos MNC Grup Hari Tanoe bersama istrinya. Ada juga nampak satu dua-tulisan variasi: Selamat Libur Hari Natal dan Tahun Baru.
Saking penasarannya, ketika balik ke Malang, saya perhatikan ulang rasa penasaran saya sepanjang rute Paiton sampai Malang.
Hasilnya sama, minim spanduk ucapan Natal. Bahkan di depan minimarket dan jaringan ritel yang saat ini sedang jadi ramai diperbincangkan umat Islam juga tidak saya temukan.
Boleh jadi ini bagian dari fenomena efek geliat umat Islam belakangan.
Mungkin ini adalah bagian keberhasilan fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 ‘tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan non – Muslim’ yang dikeluarkan hari Rabu (14/12/2016) atau bertepatan dengan 14 Rabi’ul Awwal 1437 H.
Tentu kota bersyukur dengan fenomena seperti ini. Inilah toleransi. Inilah kondisi negara dengan mayoritas penduduknya Muslim. Ini tentu sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana di banyak tempat dipaksakan ucapan –bahkan atribut-atribut agama lain digunakan karyawan Muslim—di toko, mall hingga pom bensin. Sangat menggangu.
Saya belum tahu, apakah fenomena ini juga terjadi di daerah lain. Seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan kota-kota lainnya.
Bersama Ulama
Fenomena minimya spanduk seperti ini pada tahun ini harus terus dijaga dan diperjuangkan. Ghirah umat Islam pasca Aksi Bela Islam II & III serta keluarnya fatwa MUI untuk umat Islam (bukan untuk warga non Muslim) harus menjadi acuan umat Islam dan umat agama lain yang memiliki karyawan dan pegawai Muslim.
Kita melihat upaya tokoh-tokoh Islam dan ulama menjaga hal ini. Dari Aksi Bela Islam hingga melahirka ‘Gerakan Subuh Berjamaah”, boikot Sari Roti, munculny muslim cyber army, gagasan media dan televisi Islam bisa dilihat dari geliatnya umat Islam atas perlakuan, diskriminasi dan ketertindasan mereka selama ini. Inilah salah satu hasil perjuangan pemimpin Islam dan para ulama.
Diamnya umat Islam selama ini rupanya menyimpan bara. Berupa bara semangat dan ghirah. Dengan harapan-harapan seperti itu menunjukkan bahwa jika umat bersatu, banyak pekerjaan rumah selama ini untuk selesaikan. Kemandirian ekonomi, melawan kemiskinan dan marjinalisasi dalam banyak aspek (social, politik, informasi) insya Allah akan terurai.
Ibarat peperangan melawan kebatilan mala masih banyak pertempuran-pertempuran berikutnya yang harus dilalui dan dimenangkan.
Musuh-musuh Islam (baik yang asing, pribumi), yang bayaran atau yang golongan munafikin tidak akan diam saja dengan realitas ini. Buktinya, beberapa hari ini mereka mulai menyerang balik dengan segala caranya.
Barulah saya menyadari. Betapa semakin beratnya tugas pemimpin umat dan para ulama.
Saat ini, pemimpin umat, penegak kebenaran bahkan bisa dituduh “RADIKAL” dan “TERORIS”. Dihina, dibully, dilaporkan ke polisi serta tidak mendapat tempat istimewa di media massa. Inilah fitnah zaman.
Tugas kita, berdiri dan berjalan di belakang para pemimpin dan ulama. Diam saat ini bukan pilihan tepat. Kita harus menjadi pendukung, pengawal perjuangan para ulama. Wallahu alam.*
Syarief Hidayatullah | Pendidik, tinggal di Malang
0 komentar:
Post a Comment