Ini Penjelasan Ketua Majelis Sabuk Hitam tentang Diskriminasi terhadap Aulia
Berita tentang Aulia, siswi SMPIT Harapan Umat Ngawi yang mendapat diskriminasi saat akan bertanding karate menjadi viral di media sosial. Hijab yang dikenakannya dianggap menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh panitia. Pihak panitia meminta peserta untuk mengganti hijabnya dengan bentuk kerpus yang terlihat leher dan telinga. Daripada membuka aurat, gadis ini lebih memilih mundur saja dari pertandingan.
Banyak berita klarifikasi kemudian tersebar. Dari pihak juri mengelak bahwa mereka meminta peserta buka hijab. Istilah mereka adalah menyuruh peserta mengganti model hijab. Tapi kalau yang dimaksud hijab adalah model kerpus yang masih terlihat telinga dan lehernya, jelas ini sama saja dengan menyuruh peserta membuka hijab.
Hiruk-pikuk komentar dari para komentator memenuhi medsos, pro dan kontra seperti biasa. Bahkan ada suara yang menyatakan bahwa kasus Aulia dilarang memakai hijab ini dianggap mengada-ada. Padahal jelas-jelas sumbernya sangat kredibel. Sumber awal saya membaca kasus ini dari akun Maimon Herawati, dosen Unpad. Sebelum menuliskan kasus tersebut, beliau menelpon Aulia dan ibunya lebih dulu untuk tahu kondisi sebenarnya. Lalu informasi berikutnya adalah dari viralnya tulisan dari pihak guru Aulia: Janan Farisi.
...Hiruk-pikuk komentar dari para komentator memenuhi medsos, pro dan kontra seperti biasa. Bahkan ada suara yang menyatakan bahwa kasus Aulia dilarang memakai hijab ini dianggap mengada-ada...
Membaca penjelasan dari pihak FORKI (Federasi Olahraga Karate-do Indonesia) Jatim di laman indosport.com yang diwakili oleh Suyanto Kasdi menyatakan bahwa hijab versi WKF (World Karate Federation) adalah berbentuk kerpus. Tak heran kalau Aulia memilih mundur bila mau panitia seperti ini. Salut untukmu Aulia, pertahankan prinsip itu!
Tapi tak puas dengan penjelasan pihak FORKI, saya berusaha mewawancarai Ketua Majelis Sabuk Hitam cabang Surabaya yang juga sekaligus Komisi Teknis Jatim, Rahmat Dwiyogo.
“Tidak benar bila dalam pertandingan karate ada larangan memakai hijab. Boleh-boleh saja asal warnanya hitam,” jelasnya saat saya hubungi via telpon.
Saat saya jelaskan kasus Aulia dengan diskriminasi yang diterimanya di Magetan, karateka senior yang pernah menjadi atlit nasional ini berujar, “Bisa jadi panitia tidak tahu itu bahwa memakai hijab boleh-boleh saja dalam pertandingan karate.”
Tapi, kata panitia mereka mengacu pada standar WKF jadi pelarangannya sah-sah saja.
“Yang saya katakan ini juga mengacu pada standar WKF, hijab yang boleh dipakai untuk pertandingan baik nasional maupun internasional.”
Loh, kok bisa beda ya? Yang satu bilang standar WKF itu bentuk kerpus, yang satu bentuk hijab sebagaimana biasa. Yuk kita amati foto yang saya dapatkan di salah satu kolom komentar akun Bu Maimon Herawati ini. Silakan dinilai kira-kira pernyataan siapa yang lebih mendekati kenyataan itu ya?
Maka sangat layak jika Bu Maimon Harawati memberi judul tulisannya tersebut dengan ‘Mayoritaskah? Atau Minoritas?’
Mayoritaskah? Atau Minoritas?
Jumat, 23 Desember 2016, Magetan. Aulia bersiap mengikuti perlombaan Karate se-Jatim di GOR Magetan. Siswi Smpit Harapan Umat Ngawi ini mengenakan sabuk biru. Bersama Aulia, ada beberapa siswa lain yang juga berjilbab.
Menjelang pertandingan, juri memeriksa calon peserta. Saat itu, juri meminta peserta membuka jilbab.
Aulia tercekat dan tercenung. Rekan peserta berjilbab lainnya membuka jilbab mereka. Aulia memilih meninggalkan lapangan. "Ya udah. Nggak bisa [bertanding]."
Mengapa?
"Kan dalam agama nggak boleh membuka aurat," jelas gadis cilik ini saat saya telpon baru saja.
Ada rasa sedih, itu pasti. Siang malam Aulia berlatih sekuat tenaga. Berangkat latihan pagi pagi sekali, lalu pulang menjelang dzuhur. Istirahat sejenak lalu pergi latihan lagi, dan baru kembali pulang jam setengah sembilan malam. Setiap hari.
Guru Aulia, Pak Ustadz Janan Farisi yang menulis tentang Aulia ini, bercerita kalau pihak official sudah berusaha protes pada juri. Tapi, tidak berhasil. Aulia didiskualifikasi karena tidak mau membuka jilbabnya.
Gadis cilik 13 tahun yang bercita-cita ingin menjadi dokter ini melantunkan doa dalam kesedihannya, semoga Allah ganti [pertandingan gagal karena mempertahankan jilbab ini] dengan yang lebih baik.
Engkaulah petarung sesungguhnya, Nak. Dan engkau telah menjadi juara.
*Aulia membaca FB ini. Komen Ibu/Bapak dibaca Aulia. Aulia berterima kasih untuk perhatian yang diberikan. Saya sengaja tidak mentag Aulia, menjaga supaya dia tetap aman*
(riafariana/voa-islam.com)
0 komentar:
Post a Comment