Aktivis HAM ini minta syariat di Aceh dicabut
Sejumlah aktivis mendesak pengkajian ulang dan evaluasi pemberlakuan Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh, saat peringatan setahun penerapan hukum tersebut.
Mereka menilai, peraturan bertentangan dengan hukum nasional dan berbagai konvensi antidiskriminasi terhadap perempuan dan antipenyiksaan yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, termasuk hukuman badan yang sebenarnya sudah dilarang di Indonesia.
"Kalau dilihat dari MoU Helsinki (tentang perdamaian Aceh), sebenarnya itu ada tentang bagaimana pemerintah Aceh ke depan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberi perlindungan terhadap masyarakat. Jadi kalau dibilang (perda itu) kekhususan, tetap tidak boleh melanggar kemanusiaan dan dasar negara itu sendiri", kata Nisaa Yura, pegiat Solidaritas Perempuan.
Satu hal yang dikhawatirkan kelompok ini adalah qanun jinayat bisa menimbulkan kekerasan berlapis terhadap korban pemerkosaan yang harus bisa memberikan saksi untuk alat bukti permulaan, sementara pelaku bisa lepas dari hukum dengan mengucapkan lima kali sumpah.
"Yang pasti harus ada pengkajian ulang, apakah melalui moratorium dulu, atau mau direvisi atau dicabut", kata Nisaa.
Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sejak Januari-September 2016, Mahkamah Syariah Aceh sudah memutuskan 221 perkara jinayat dan ada 180 terpidana yang dicambuk.
Nia Sjarifudin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika turut mengkhawatirkan tidak terpenuhinya hak para terpidana hukuman cambuk, terutama soal akses terhadap bantuan hukum.
"Periksa semua 180 kasus itu, apakah sudah memenuhi proses dan standar keadilan. Apakah dalam 180 kasus itu, betul-betul korban atau terdakwa, didampingi oleh penguasa hukum yang mumpuni?", katanya.
Menurut Nia, Qanun Jinayat, masih berada dalam proses pembahasan yang belum selesai, sehingga penerapannya dinilai terlalu terburu-buru dan tanpa uji coba yang memadai.
Nia juga mempertanyakan efek yang dimunculkan dari hukuman cambuk yang dipertontonkan di hadapan publik, termasuk anak-anak.
Jawaban Pemda Aceh
Terhadap pertanyaan ini, Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh, Frans Delian mengatakan bahwa hukuman cambuk telah memberikan efek jera di masyarakat.
"Hampir tidak ada orang yang tertangkap melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kali, sehingga kami nilai ini perkembangannya sangat efektif", kata Frans.
Sedangkan bagi para pelanggar yang bukan Islam, selalu diberikan pilihan antara hukum syariah atau pidana. Kebanyakan dari mereka memilih hukuman syariah.
Frans juga mengatakan bahwa pemberlakuan hukuman badan lewat cambukan di Aceh tidaklah bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
"Di nasional, mau ada hukuman kebiri, sudah jalan, itu kan hukuman badan juga", ujarnya.
Menurut Frans, hukuman cambuk memang sengaja menyasar pada efek rasa malu yang ditimbulkan pada penghukuman secara publik, daripada efek siksaan yang dihasilkan.
"Belum pernah sampai sekarang ada kejadian habis cambuk, masuk rumah sakit, memarnya nggak hilang-hilang, nggak ada seperti itu", ujarnya lagi.
Frans menegaskan, mereka yang dijatuhi hukuman cambuk sudah mendapatkan bantuan hukum yang menjadi hak para terdakwa, termasuk melalui proses pengadilan, sidang, dan pembuktian hingga keputusan.
"Misalnya, ada yang dilaporkan melakukan tindakan melanggar hukum, lalu (dalam sidang) terbukti itu tidak benar, dan kemudian tidak dicambuk, juga banyak kok", ujar Frans lagi.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Syahrizal Abbas, menolak jika disebut bahwa pemberlakuan qanun jinayat di Aceh sebagai hal yang bertentangan dengan hukum-hukum lain yang berlangsung secara nasional.
Alasannya, Aceh memiliki Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, yang salah satu isinya 'Aceh diberi kewenangan menjalankan syariat Islam secara menyeluruh, meliputi akidah, syariah, dan akhlak'.
"Syariah yang disebut di situ adalah semua tatanan hidup masyarakat, dengan dibentuk qanun. Apa yang diatur di qanun itu adalah amanah dari undang-undang dan dari Konstitusi", kata Syahrizal.
"Syariah di Aceh itu, cambuk itu merupakan salah satu bentuk dari sejumlah hukuman dalam hukum pidana Islam, bisa penjara, kerja paksa. Jadi yang diatur dengan cambuk, itu hanya yang tidak ada alternatif. Misalnya zina, itu tidak ada pilihan (hukuman lain), karena Qur'an menyatakan seperti itu, tapi kalau yang lain ada pilihannya, cambuk, denda, atau penjara, itu sangat tergantung pada hakim", tegasnya.
Sementara menurut Wapres Jusuf Kalla, MoU Helsinki sama-sekali tidak menyebut mengenai syariat Islam. Dimana aturan syariat berada di bawah payung hukum UU khusus pemerintahan Aceh.
"Itu tercantum terlebih dahulu di UU Khusus Aceh di mana daerah khusus itu dapat memberlakukan hukum-hukum yang khusus yang disetujui oleh DPR Aceh … Aceh bisa mengambil itu (hukum syariat) selama tidak bertentangan dengan hukum nasional yang bersifat umum", kata JK, 2015 lalu. (BBC Indonesia)
0 komentar:
Post a Comment