Sejarah Terlupakan: Pembantaian Aksi Damai Mendukung Kemerdekaan Aljazair di Paris
Pada tahun 1830 ketika Perancis menginvasi ibukota Aljazair, 130 tahun proses perbudakan pendudukan Aljazair dimulai, Hingga Perang Dunia (PD) II, penduduk Arab Aljazair berperang melawan pasukan pendudukan. Namun, pasukan Perancis mencoba dengan pelbagai upaya untuk mematahkan perlawan dan mencegah gerakan kemerdekaan menyebarkan pengaruhnya baik secara militer, politik, agama, budaya dan ekonomi. Pasukan Perancis secara brutal membasmi perlawanan disetiap tempat sehingga mengakibatkan ratusan ribu penduduk tewas.
Antara 1948-1952 menjadi tahun persiapan melawan invasi di Aljazair. Gerakan Harakatu’l-Intisar li’l-Hurriyah wa’d-Dimukratiyyah yang didirikan Messali Haj melancarkan gerakannya secara terstruktur mulai 1950. Satu kelompok yang tidak puas dengan kepemimpinan Messali dan karakter perlawanannya yang damai, keluar dan mendirikan gerakan baru dibawah nama Front Pembebasan Nasional (FLN). Dengan pendirian FLN pada 1 November 1954, maka pelbagai serangan terhadap sasaran militer Perancis dimulai. Sejak itu, Perang kemerdekaan secara resmi pecah. .
Front Pembebesan Nasional-FLN
Menteri Dalam Negeri Francois Mitterand mengatakan, “Saya tidak akan pernah menerimaq pertemuan maupun negosiasi dengan para musuh negeri ini. Satu-satunya negosiasi dengan mereka adalah perang!”. Jawaban dari Perancis kepada rakyat Aljazair yang menghendaki kemerdekaan adalah perang. Namun, pada 1960, Perancis memberangkatkan 360 ribu pasukan ke Aljazair untuk mengendalikan keadaan.
Perang yang berujung genosida di Aljazair ini mengundang reaksi protes ratusan ribu penduduk Aljazair yang tinggal di Perancis. Organisasi FLN menganggap ide bagus untuk menggerakkan warga Perancis di Perancis. Demontrasi damai yang terjadi di Paris dilakukan dalam rangka mendesak diakhirinya perang dan membangkitkan kesadaran di Eropa. Bagi FLN, demonstrasi menjadi alat efektif yang digerakkannya secara rahasia. Namun, Perancis tidak memberikan kesempatan demonstrasi itu terjadi. Dalam pertemuan dengan Mendagri, Gubernur Paris, Maurice Papon mendapatkan otoritas penuh mencegah aksi demonstrasi itu terjadi di Paris.
17 Oktober, 30 ribu migran Perancis memulai demonstrasi damai untuk memprotes perang. Dengan komando langsung dari Gubernur Papo, aksi demonstrasi tersebut dibubarkan. Polisi diperintahkan menembak dan aksi pembantaianpun terjadi. Posisi mengejar para demonstran yang melarikan diri dan memukulinya hingga mati. Ribuan warga Aljazair terluka dan ratusan lainnya tewas. Jasad mereka yang tewas di Jembatan Saint Michelle dilempar ke sungai Seine. Sekitar 14 ribu demonstran ditaham. Mereka ditahan di ruang terbuka selama berhari-hari.
“Kami Menenggelamkan Orang-Orang Aljazair Disini”
Pembantaian yang menorehkan tinta hitam dalam sejarah Perancis tidak dikabarkan media dan lembaga resmi di Perancis. Hanya dikabarkan tiga orang tewas. Sikap presiden dan perdana menteri pada waktu itu jauh dari sikap apologetik. Kini, topik ini dibicarakan secara lebih obyektif. Pada 2001, PM Perancis Francois Hollande menyatakan bahwa “dia dengan tulus mengingat semua yang kehilangan nyawa mereka pada drama 17 Oktober 1961.”
Ketika berperang di Aljazair, Perancis terpaksa merubah kebijakan politik mereka disebabkan problem yang terus tumbuh dan akhirnya berubah menjadi krisis besar, yang kemudian memaksa mereka berunding dengan FLN. Pada 1962, perjanjian damai disepakati. Di Aljazair, referendum kemerdekaan digelar pada 1 Juli 1962. Dua hari setelah referendum, PM Perancis De Gaulle mengakui kemerdekaan Aljazair.
0 komentar:
Post a Comment