Lobi-lobi Erdogan: Menggerus Kurdi, Melengserkan Assad
Kecerdikan berpolitik Recep Tayyip Erdogan tak perlu lagi ditanyakan. Kecerdikan dan kelicikan itu beda-beda tipis. Di politik dua-duanya harus bisa dikombinasikan betul agar kekuasaan bisa terus bersinambung. Erdogan paham betul dengan ini. Dia tidak seperti politisi-politisi yang terpengaruh pemikiran Hasan Al-Bana lainnya.
Di saat Ikhwanul Muslimin digerus di Mesir, Front Islamic du Salut dihentikan militer di Aljazair, Hamas tak bisa menanding Fatah di Palestina dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia yang begitu-begitu saja, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mampu melejit di Turki mempertahankan dominasi hingga 14 tahun lamanya.
Empat belas tahun itu bukan waktu yang singkat, terlebih Turki dikenal negara sekuler dan militer jadi garda terdepan menjaga kesekuleran itu. Jika tak jeli, nasib AKP dan Erdogan akan seperti Partai Refah dan Necmekin Erbakan yang dikudeta militer 1997 silam. Dengan bermain cantik Erdogan sukses berkongsi dengan Gulenist menghabisi perlahan militer Kemalist. Dengan licin pula dia mendorong Gulenist ke jurang kenistaan dengan cap sebagai organisasi teroris.
Sikap menentukan siapa kawan dan siapa lawan jadi kecerdikan seorang Erdogan.Tidak hanya dalam konteks lokal, pada cakupan internasional pun dia sama jelinya. Seperti kasus yang terjadi baru-baru ini: saat Erdogan memperdayai dua negara adidaya Amerika Serikat dan Rusia.
Eksistensi Suriah sebagai negara jadi seperti sebuah lawakan. Banyak negara secara terbuka/sembunyi-sembunyi menggelar operasi militer darat di sana; Rusia di Latakkia, Iran di Damaskus, Amerika Serikat di Hasakeh, Perancis di Kobani, Inggris di Manbij, Hizbullah (Lebanon) di Homs, Damaskus dan Allepo, Milisi Afghanistan dan Irak di Allepo.
Selasa lalu (24/8/2016) Israel terlibat dalam perang-perangan di Dataran Tinggi Golan. Kemarin lusa, Turki akhirnya memutuskan menggelar agresi darat dengan tajuk Operasi Perlindungan Eufrat dengan menerobos perbatasan di Suriah Utara untuk merebut kota Jarablus dari tangan ISIS. Entah apa perasaan Assad melihat kekuasannya itu kini di-GangBang oleh banyak negara.
Melihat invasi Turki, Damaskus hanya bisa gigit jari dan menggerutu. “Kami menuntut agresi ini,” keluh Menteri Luar Negeri Suriah, Walid Mu’allem.
“Setiap pihak yang melakukan pertempuran terhadap terorisme di Suriah harus berkoordinasi dengan pemerintah dan tentara Suriah yang telah berperang selama lima tahun ini. Mengusir keluar ISIS dan menggantinya dengan kelompok teroris yang lain, jelas bukan untuk memerangi terorisme,” katanya lagi.
Wajar jika Damaskus murka dengan agresi Turki. Keterlibatan sekitar 350 tentara Turki, termasuk 150 anggota pasukan khusus, ratusan tank dan bantuan angkata udara itu disertai juga dengan 1500 milisi Front Pembebasan Suriah (FSA) – musuh terbesar Assad dalam konflik Suriah. Media-media Turki menyebut dalam operasi pembebasan Jarablus, banyak dari tentara FSA yang bahkan sengaja didatangkan dari Allepo dan Lattakia memutar naik di utara masuk melalui Turki.
Upaya Turki ini pada hakikatnya merealisasikan rencana yang tertunda. Februari lalu, Turki, Arab Saudi dan koalisi negara Sunni mengagendakan menggelar Operasi Badai Utara di sana. Keberadaan Rusia di Suriah sejak Oktober 2015 penyebab bersatunya negara Sunni ini.
Operasi ini tentu ditentang keras oleh Rusia, Iran dan Lebanon selaku penyokong rezim Assad. Untung operasi tidak jadi dilakukan sebab Rusia menarik separuh kekuatannya dari Suriah. Jika operasi ini dilakukan bisa jadi triger terjadinya Perang Dunia III.
Kegagalan kudeta Turki mengubah peta politik di Timur Tengah. Erdogan merasa kudeta itu didukung penuh oleh koalisi Barat pimpinan AS. Dengan cekatan Erdogan lalu mulai mendekat pada Rusia dan Iran. Tak bisa dipungkiri bahwa Operasi Perlindungan Eufrat telah restu dari Teheran dan Kremlin.
Pada dua pekan lalu (12/8), Erdogan mendatangi Moskow untuk bertemu Vladimir Putin secara langsung. Erdogan berusaha menormalisasi hubungan dua negara yang retak pasca ditembaknya jet Sukhoi Rusia oleh F-16 Turki pada November 2015. Pertemuan itu pun membahas konflik Suriah ke depan. Kedua negara sepakat untuk sama-sama berperang menghadapi ISIS.
Kekesalan pada Barat membikin Turki tak kepalang tanggung memberi izin bagi Rusia untuk memakai pangkalan udara di Incirlik untuk mempermudah operasi melawan ISIS di Suriah. Tindakan Turki ini tentu membuat sekutu kebakaran jenggot mengingat Incirlik adalah pangkalan udara AS dan NATO.
Sepekan setelah mendatangi Rusia, Menteri Luar Negeri Turki, Mevut Cavusoglu, secara tiba-tiba berkunjung ke Teheran (19/8). Pembicaraan tak lepas dari normalisasi hubungan Iran – Turki yang memanas akibat Suriah. Sulit diprediksi poin-poin penting dari pembicaraan antara Turki, Iran dan Rusia. Namun, lobi-lobi cerdik Erdogan ini yang membikin Turki akhirnya bisa menggelar agresi ke Suriah.
Operasi ini sejatinya untuk membebaskan wilayah perbatasan Turki – Suriah sepanjang 77 kilometer dari Kota Jarublus hingga Kota Sahwan. Daerah ini masih dikuasai ini oleh ISIS. Jika berhasil diambil-alih, maka otomatis ISIS akan terisolasi mengingat perbatasan di area timur Turki-Suriah telah dikuasai kelompok Tentara Demokratik Suriah (SDF) dan Milisi Kurdi Suriah (YPG)
Bagi Erdogan, yang terpenting adalah ISIS tak akan lagi leluasa keluar masuk untuk berbuat aksi teror di Turki. ISIS akhir-akhir ini sering meneror kota-kota di perbatasan, aksi bom bunuh diri di Gaziantep yang menewaskan 50 orang pekan lalu (4/8) jadi pemicu Turki melakukan operasi ini.
Tidak hanya akan menyikat ISIS, Turki pun akan memerangi YPG Kurdi. Diketahui bahwa YPG Kurdi memang berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang sering melakukan aksi separatis dan pengeboman.
Di Suriah dan Irak Utara, YPG Kurdi berandil besar menahan laju ISIS. Kekuatan itu tak lepas dari bantuan penuh dari AS. Hal ini tentu membingungkan karena YPG adalah musuh Turki.
Dalam konflik ini yang mesti kita ketahui adalah YPG Kurdi memang merupakan bagian dari SDF, namun tidak semua SDF adalah YPG Kurdi. Banyak juga kelompok Arab, Turkman, Irak yang masuk dalam SDF. Tapi berhubung YPG Kurdi mendominasi SDF, maka SDF pun diidentikan sebagai ancaman teroris oleh Turki layaknya YPG Kurdi.
Kemajuan SDF yang berhasil menyeberangi Sungai Eufrat dan merebut kota-kota ISIS di perbatasan membuat Turki gusar. Itu sama saja dengan keluar dari mulut buaya masuk mulut macan.
“Mutlak ISIS harus benar-benar dihentikan. Tapi itu tidak cukup bagi kami. PYD dan milisi YPG tidak boleh menjadi pengganti ISIS di sana,” kata Menteri Pertahanan Turki, Fikri Isik, Kamis (25/8).
Jika tidak dilakukan maka dua wilayah kekuasaan SDF di bagian barat dan timur akan bersatu. Selain menguasai 371 km daerah perbatasan di sisi timur, SDF pun menduduki 50 km di daerah barat dari kota Maydan Akbis hingga perbatasan A’zaz. Sisi barat dan timur itu tidak terhubung karena masih dikuasai FSA dan ISIS. “Mimpi terbesar PYD adalah untuk menyatukan Kurdi dari barat dan timur. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi,” kata Isik.
Sesuai dengan rencana, Turki akan merangsek masuk sejauh 15-30 km dari perbatasan yang dikuasai ISIS. Kehadiran Turki beserta milisi FSA membuat SDF gusar. Apa sebab? Karena FSA dan SDF bermusuhan. Posisi SDF/YPG Kurdi dalam konflik ini amatlah bias karena mendukung penuh pemerintahan rezim Bashar Al-Assad.
SDF bahu membahu dengan rezim Assad untuk mengepung kota Allepo yang jadi basis terkuat FSA. Wajar jika ketika Turki hendak menyerang SDF/YPG Kurdi bak gayung bersambut kesempatan balas dendam itu disambut antusias oleh milisi FSA – yang bahkan sengaja datang jauh-jauh dari Allepo/Lattakia.
Lantas setelah Jarablus jatuh, dalam operasi hari kedua terjadi pertempuran sengit antara SDF dan FSA di Kota Al-Bab akhirnya meletus.
Kita masih akan bertanya-tanya sampai sejauh mana dan berapa lamakah Turki akan bertahan di Suriah. Para pengamat percaya, perang ini akan berlangsung panjang. Mereka melihat tanda-tanda bahwa Pasukan Divisi 2 Angkatan Perang Turki yang terdiri dari 100,000 tentara dan 20 brigade dengan ribuan tank, kendaraan taktis dan artileri telah disiapkan di area perbatasan Turki-Suriah.
Suatu hal tak terduga adalah saat dimana AS tiba-tiba saja mendukung penuh tindakan Turki ini. Beberapa jam usai menggelar operasi, Pentagon merilis bahwa Turki tidak akan sendirian menghadapi ISIS, Departemen Pertahanan AS ikut serta mengirimkan pesawat-pesawat jet tempur mendukung operasi militer Turki. “Pesawat tempur berawak dan pesawat tak berawak berpartisipasi dalam operasi ini di dekat perbatasan Suriah-Turki,” kata juru bicara Pentagon Adrian Rankine-Galloway.
Keterlibatan ini membuat Turki dengan cerdik memaksa AS agar meminta SDF mundur secara sukarela. Mereka meminta AS menekan SDF mundur ke sisi timur sungai Eufrat. Permintaan ini dituruti oleh Menteri Luar Negeri AS, John Kerry yang sudah menyerukan milisi SDF bergerak mundur ke arah timur. Sebagai anak kandung AS, SDF tentu akan nurut. Ancaman Wakil Presiden AS, Joe Bidden yang mengatakan akan menarik dukungan jika tak mundur membuat SDF ciut.
Betapa miris, setelah berbulan-bulan merebut kota yang dikuasai ISIS secara susah payah, SDF harus pergi begitu saja demi memuaskan tuannya. Jika merujuk permintaan Turki ini maka ada kemungkinan besar, Kota Manbij – 30 km ke selatan dari Jarablus – akan diserahkan juga pada FSA. Sebuah ironi karena untuk merebut kota ini dari ISIS, SDF butuh waktu 70 hari dengan korban tidak sedikit.
Dalam kasus ini di manakah posisi Assad dan sekutunya? Sejak 2012 lalu, rezim Assad sudah tak lagi berkuasa di Suriah Utara. Wajar ketika Turki melancarkan agresi, Damaskus hanya bisa menggerutu dan Kremlin merasa prihatin. Tidak ada kepentingan Assad yang terusik.
Meski berkoalisi dengan di Allepo, Assad seolah tak peduli dengan YPG Kurdi. Hubungan antara Assad dan YPG Kurdi sedang memanas baru-baru ini. Ada ketidaksepahaman antara mereka yang berujung dengan saling baku tembak di kota Hasakah. Tak tanggung, Assad bahkan mengirim jet-jet tempur menggempur milisi Kurdi di sana. Lagi-lagi momentum perpecahan ini sukses dimanfaatkan oleh Erdogan.
Setelah menguasai sisi barat sungai Eufrat banyak pengamat memprediksikan gerak pasukan koalisi Turki – FSA akan bergerak ke arah barat menghajar milisi SDF dan YPG Kurdi di provinsi Aleppo. Kekalahan SDF di Aleppo akan mensterilkan jalur akses menuju dua kota yang dikuasai pemberontak, Idlib dan Aleppo. Tak menutup kemungkinan selain bantuan kemanusiaan, bantuan logistik senjata bagi para milisi pun akan mudah dikirim. Bagi Assad, pergerakan Turki ini adalah ancaman.
Yang jadi soal apakah Damaskus, Kremlin dan Teheran menyadari hal ini? Para pengamat menganalisa telah terjadi kesepakatan antara Rusia dan Turki terkait pembentukan pemerintahan baru di Suriah. Tentunya kesepakatan ini tidak akan disetujui Rusia dan Iran jika itu tidak menguntungkan. Jadi sebuah pertanyaan adalah apakah Erdogan sukses melobi Rusia dan Iran agar menyetujui Assad untuk tumbang? Hanya waktu yang bisa menjawab.
0 komentar:
Post a Comment