Inilah 8 Kegagalan dan Skandal Jokowi Pimpin Jakarta
Barangkali belum lupa dari ingatan warga Jakarta jika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) berikrar janji pada kampanye Pilkadanya tahun 2012 lalu. Populer kampanyenya adalah, mereka sesumbar akan membereskan permasalahan Jakarta, terutama pada masalah krusial ibukota seperti macet dan banjir, hanya dalam waktu 100 hari.
Media berita online seperti detik.com, merdeka.com, tempo.co, dan kompas.com, saat itu tak henti-hentinya mempromosikan pasangan Jokowi-A hok. Segala berita tentang Cagub-Cawagub kader P-DIP dan Gerindra ini terus dimuat hampir setiap saat di laman-laman trending topic atau hot news. Alhasil, saat itu wajah media-media tersebut tidak dapat lagi menyembunyikan kiprahnya yang secara terang-terangan turut andil melakukan kampanye, bahkan tak lagi malu-malu ‘melumpuhkan’ siapapun lawan-lawan Jokowi-A hok di Pilkada 2012.
Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2012 pada akhirnya dimenangkan oleh kubu Jokowi-A hok dengan perolehan suara 42,60 persen. Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama pun resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terhitung sejak hari pelantikan keduanya pada 15 Oktober 2012.
Namun tepat di hari ke-100, nyatanya kondisi Jakarta sama sekali tidak menunjukkan adanya perubahan. Justru memasuki hari ke-92, yaitu pada tanggal 17 Januari 2013, banjir bandang malah sudah lebih dulu merendam Jakarta. Banjir yang begitu sangat parah. Bahkan disebut-sebut paling parah sepanjang 50 tahun terakhir. Bundaran HI yang indah dan cantik, yang selama ini ‘aman’ dari banjir tak luput diterjang air bah berwarna coklat tersebut.
Hari demi hari berlalu seiring waktu, 100 hari perubahan untuk ‘Jakarta Baru’ ternyata tidak ditepati Jokowi-A hok. Janji pembenahan ibukota hanya dalam waktu 100 hari itu merupakan ucapan dari mulut Jokowi-A hok sendiri saat kampanye Pilkada, bukan dari tuntutan warga. Ajaibnya, pasangan petinggi ibukota tersebut tidak pernah mengakui kegagalannya, bahkan mereka dan tim suksesnya, termasuk media pro Jokowi-A hok tak pernah berhenti memberitakan keberhasilan kinerja Jokowi-A hok dalam membenahi ibukota.
Pada tanggal 28 Februari 2014 lalu, janji Jokowi-Ahok telah memasuki hari ke-501, yang berarti telah memasuki ulang tahunya yang ke-5. Dan rupanya kondisi ibukota bukan membaik tapi malah semakin mundur jauh ke belakang. Dan inilah 8 kegagalan janji sekaligus skandal Jokowi-A hok :
1.Banjir
Tak pantas rasanya jika sebuah ibukota negara masih mengenal istilah banjir, apalagi sampai terjadi banjir bandang. Ribuan rumah tenggelam bersama air coklat. Puluhan ribu warga terlantar, kedinginan, dan kelaparan karena harus mengungsi.
Banjir, jika pun harus terjadi, tidak perlu lima tahun sekali. Jika terjadi 4 tahun sekali? Itu masih lumrah! Jika terjadi 3 tahun sekali? Itu pasti ada yang salah! Lalu bagaimana jika 2 tahun sekali? Itu parah! Lalu bagaimana jika setahun sekali? Pemprov DKI bermasalah! Kemudian bagaimana jika setahun 2 kali? Memancing warga marah! Bisa dibayangkan jika banjir terjadi sebulan sekali atau bahkan seminggu sekali? Memakzulkan petinggi DKI, warga akan membuatnya menjadi lebih mudah.
Dalam tugasnya, Jokowi-A hok bukan saja tak bisa membendung banjir, tapi membuat banjir menjadi semakin tak terkendali. Banjir bandang itu kian meluas bahkan merendam jalan-jalan. Tiga perempat wilayah Jakarta menjadi lautan air coklat.
Sementara banjir yang semula setahun 2 kali, kini dibuatnya menjadi setahun 8-10 kali. Lalu banjir yang semula 2-3 hari, Jokowi-A hok sukses membuatnya menjadi 30 hari. Maukah secara jujur diakui, bahwa ini prestasi ataukah aib yang memalukan? Sebuah penanganan proyek banjir, dimana Pemprov DKI Jakarta telah mengalami kemunduran hingga 300 tahun ke belakang.
Dalam sejarah, pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Willem Daendels, 300 tahun lalu, sebagian wilayah Batavia memang kerap terendam air di setiap musim penghujan. Ketinggiannya mulai betis hingga lutut orang dewasa. Karena Batavia kala itu, hampir sebagian besar wilayahnya adalah rawa-rawa. Namun saat pemerintah Hindia Belanda gencar melakukan pembangunan struktrual dan infrastruktural di Batavia, Daendels pun muncul dengan program kanal-kanalnya yang brilyant. Rawa-rawa tidak lagi digenangi air, karena Daendels telah menyulap rawa-rawa yang menjadi resapan air itu menjadi bangunan-bangunan kokoh lalu ia mengganti nya dengan kanal-kanal yang meliuk-liuk di tengah-tengah kota.
300 tahun telah berlalu. Daendels sukses mem’permak’ Batavia menjadi lebih indah. Namun kini, permasalahan banjir kembali terulang. Jakarta kembali ke titik nol. Kembali ke masa Daendels. Jakarta kembali menjadi rawa-rawa dan empang dadakan di setiap musim penghujan. Di jaman Daendels, peralatan yang digunakan belum secanggih sekarang, sementara anggaran yang digunakan Daendels pun tidak sebesar anggaran yang diajukan Jokowi dan Ahok saat ini. Seharusnya Jokowi dan A hok dapat lebih sukses dibanding Daendels dalam menangani permasalahan banjir di ibukota. Sampai pada titik ini, Jokowi, A hok, serta tim sukses mereka telah membuktikan kinerjanya kepada publik yang telah mengalami kegagalan total.
2. Macet
Kemacetan menempati urutan kedua sebagai permasalahan paling krusial di Jakarta. Di kota besar manapun di dunia kemacetan merupakan rutinitas sehari-hari terutama pada jam sibuk. Namun bedanya, tingkat kemacetan di Jakarta tidak seperti kota-kota besar di belahan dunia lain yang lebih cocok jika disebut sebagai ‘padat tapi lancar’, biarpun padat tapi tetap berjalan lancar. Potret kemacetan di kota-kota di belahan dunia lain itu tak ubahnya seperti kondisi kemacetan Jakarta pada tahun 2000-2006.
Sementara Jakarta mulai tahun 2013 menempatkan kondisi kemacetannya melebihi kota-kota besar lain di dunia. Sebenarnya kondisi lalulintas di Jakarta tidak lagi dapat disebut dengan kemacetan, karena lebih cocok jika disebut ‘padat tak bergerak’. Warga Jakarta terlampau sering menemui kondisi ini, yaitu kondisi dengan lalu lintasnya yang diam mematung, artinya, kendaraan bisa bergerak maju per jam cuma 40-50 meter. Tidak heran, di kalangan pengendara beredar istilah populer tapi menakutkan, yaitu ‘terjebak kemacetan’. ‘terjebak bukan kata kiasan, tapi dalam arti yang sesungguhnya. Bisa masuk tapi tidak bisa keluar.
Di Jejaring sosial seperti Twitter, umpatan dan caci maki pengguna jalan menanggapi kemacetan ibukota bukan hal baru. Begitu hebatnya kemacetan di Jakarta hingga beberapa akun Twitter seperti @NTMCLantas Polri dan @RadioElshinta memberikan ruang berita khusus untuk kemacetan. Disana pula akun-akun tersebut sering meng-update foto-foto kemacetan lalu lintas di ibukota yang konon kini telah berjuluk ‘kota paling macet di dunia.
Kemacetan ini menjadi semacam shock therapy yang dirasakan warga DKI Jakarta setiap hari. Lelah, stress, pusing, dan ngantuk para pengguna jalan bercampur aduk menjadi satu. Sejauh ini Pemprov DKI Jakarta terkesan tak peduli terhadap kemacetan lalulintas, karena sejatinya, sekecil apapun, setiap upaya pembenahan yang serius tentunya hasil perubahan itu akan terlihat nyata. Dan tentunya warga pun akan merasakan perubahan tersebut.
Namun nyatanya, kemacetan lalulintas di Jakarta ternyata semakin menggila, dan itu adalah kenyataan yang tak bisa berdusta. Namun pihak pendukung Gubernur DKI Jakarta (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (A hok) terlalu pandai beretorika, hingga mereka selalu memainkan politik pengalihan isu dengan tak henti melakukan upaya-upaya pencitraan tertentu untuk mengelabui warga Jakarta.
Secara jujur diakui, bahwa tim sukses Jokowi-A hok untuk beberapa saat memang sanggup melakukan upaya branwash (cuci otak) dengan melakukan serangkaian pencitraan. Tapi politik ‘hina’ ini tidak sukses dilakukan secara massal, karena tidak semua warga ibukota bodoh. Rakyat Indonesia pun tidak semua dapat tertipu. Di Jakarta dan seluruh Indonesia masih banyak menyisakan orang-orang cerdas dan pintar. Meski sebagian dari mereka telah ‘dibeli’ tapi ‘tangan’ tim sukses Jokowi-Ahok tidak dapat menjangkau sebagian lagi. Karena Tuhan akan selalu menyisakan tempat untuk kebenaran. Masih ada orang cerdas yang punya nurani, yaitu mereka yang lebih memilih terus menjadi opisisi ketimbang menjadi penguasa yang nuraninya telah mati karena dikuasai oleh ambisi.
Pada point ini, Jokowi-A hok lagi-lagi membuktikan pada warga Jakarta yang cerdas dan yang memiliki nurani bahwa kepemimpinan mereka bukan saja tak mampu mengatasi kemacetan di ibukota, melainkan malah membuat lalulintas kendaraan di Jakarta menjadi tidak bergerak.
3. Bus TransJakarta
Terkuak skandal bus TransJakarta yang sejumlah unitnya ditemukan dalam kondisi bekas, menggiring semua mata mengarah tepat ke Balai Kota, termasuk pula para pendukung Jokowi-Ahok. Diakui atau tidak, ketika skandal bus warisan Sutiyoso ini bocor ke publik, adrenalin negatif saat ini bisa saja tengah melanda para pendukung Jokowi-A hok. Dimana mereka kuatir skandal ini akan menjadi bom waktu yang akan menggagalkan seluruh rencana yang telah mereka susun selama ini.
Temuan sejumlah unit bus ‘baru’ TransJakarta yang ternyata berkondisi bekas pada akhirnya membuat publik mencium sejumlah daftar panjang kegagalan Pemprov DKI Jakarta cuma pada masalah-masalah sepele, yang sebenarnya bisa ditangani pejabat sekelas Camat, seperti pada masalah BusTransJakarta ini.
Ratusan bus TransJakarta dibeli Pemprov DKI dari Cina. Sebuah keputusan mengejutkan Pemprov DKI Jakarta yang ternyata lebih memilih kendaraan produk Cina ketimbang merek yang memang sudah terbukti kualitasnya, seperti Volvo, Mercedez Benz, Daewoo, atau Hyundai. Bahkan bus dengan kualitas dan mereknya yang terkenal itu harganya bisa jauh lebih murah dari bus-bus yang dibeli Jokowi dari Cina.
Penandatanganan proyek bus TransJakarta ini terjadi ditengah kritisnya publik terhadap kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Tidak perlu ditanya siapa yang telah menyetujui sekaligus menandatangai proyek ini, karena sudah pasti mereka adalah tokoh-tokoh yang paling bertanggung jawab terhadap jalannya roda pemerintahan di ibukota.
Kasus proyek bus TransJakarta terlanjur menguap berikut sejumlah batu sandungan masalah di dalamnya. Dan benar saja, hanya dalam jangka waktu 2 pekan terakhir, 4 unit bus TransJakarta ditemukan mogok baru-baru ini. Ke 4 bus TransJakarta itu teronggok begitu saja di ruas koridor busway. Dan ternyata, semuanya adalah bus baru yang dibeli dari Cina.
Telinga publik pun terlanjur mendengar kejanggalan kasus ini. Jika sekarang kasus ini belum terungkap, publik dengan setia akan menyimpannya sebagai kenangan yang setiap saat bisa diungkit.
4. Monorail
Proyek monorail yang mangkrak selama 5 bulan menambah daftar panjang sejarah buruk Jokowi-A hok dalam menepati janji-janji kampanyenya. Apalagi setelah terbongkarnya skandal ‘kongkalikong’ Pemprov DKI Jakarta yang ‘gelap mata’ meloloskan tender proyek tersebut tanpa harus memenuhi syarat-syarat tertentu dari Pemprov DKI sendiri.
Sebelumnya, pada era Fauzi Bowo, proyek monorail yang sempat beroperasi seperempat jalan itu terhenti dan akhirnya mangkrak begitu saja dengan waktu cukup lama. Ketika Jokowi berkuasa, ia berjanji akan melanjutkan proyek tersebut dan bahkan menjamin proyek akan berjalan lancar sesuai rencana. Namun fakta yang terjadi adalah, kinerja Pemprov DKI Jakarta pada era Jokowi tidak lebih bagus dari era para Gubernur sebelumnya. Kondisi yang membuat era kepemimpinan Jokowi semakin telihat lebih buruk adalah sikap sembrono dalam menangani ‘super mega proyek’ macam monorail ini. Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sesungguhnya telah menandatangani sebuah kontrak kerjasama tanpa dilengkapi sejumlah berkas penting.
Seorang petinggi negara sekelas Lurah tidaklah mungkin melakukan sebuah kecerobohan fatal. Layak disebut sebuah kebodohan yang tidak bisa ditolerir jika Lurah sampai menandatangani sebuah berkas tanpa dibaca, apalagi jika sampai tidak teliti. Maka jelas aneh jika ada petinggi negara sekelas Gubernur DKI Jakarta, sebagai kota pusat bisnis dan pemerintahan Indonesia sampai melakukan penandatanganan atas berkas proyek senilai 20 trilyun tanpa dibaca dan tanpa diteliti.
Sementara bersamaan dengan kasus-kasus yang melibatkan para petinggi di Balai Kota yang tengah menjadi trend topik, hujan pencitraan terhadap Jokowi-A hok terus gencar dilakukan untuk menutupi kegagalan demi kegagalan.
5. PKL
PKL (Pedagang Kaki Lima) yang bertebaran di sekitaran Pasar Grosir Blok A Tanah Abang memang dinilai sangat mengganggu pemandangan. Dengan lapak-lapaknya yang berada di sisi kanan kiri jalan para PKL cuek menggelar dagangannya yang notabene memang laris manis. Sementara bukan cuma PKL yang berjejer disana, kendaraaan roda empat dan roda dua pun nampak berbaris panjang dan menjadikan sisi jalan sebagai lahan parkir lengkap dengan tukang parkir berseragam yang memberikan karcis.
Meski berada di emperan jalan dan meski harus berpanas-panasan di siang hari yang teramat terik namun para konsumen pedagang kali lima itu ramai membludak, bukan sekedar konsumen kalangan biasa, konsumen dari kalangan menengah ke atas dengan mudah ditemui disana.
Di lapak-lapak kaki lima itu para konsumen dengan mudah menemukan barang-barang yang biasa dijual di Blok A. Kualitas barangnya sama, hanya saja harganya lebih murah. Bedanya berbelanja di kedua tempat tersebut adalah, jika berbelanja di Blok A suasana akan terasa sejuk karena dilengkapi pendingin udara, sementara berbelanja di emperan jalan harus rela berpanas-panasan dan berjibaku dengan debu jalanan serta asap kendaraan.
Disinyalir, aktivitas para PKL di Tanah Abang telah mengancam stabilitas ekonomi dan income Pasar Grosir Blok A yang di kancah internasional sudah terlanjur dikenal sebagai pasar grosir terbesar di Asia Tenggara. Para konsumen yang semula diharapkan dapat berbelanja di Blok A justru malah beralih berbelanja di pedagang kaki lima. Dengan demikian, otomatis stabilitas income Blok A dapat terancam dengan kehadiran para PKL tersebut.
Income Blok A juga dipastikan akan semakin berkurang jika ditambah dengan kendaraan yang tidak memarkir di parking zone pasar grosir tersebut karena pemilik kendaraan lebih memilih parkir di sisi-sisi jalan. Tak heran jika pada jam-jam sibuk ratusan kendaraan, baik roda empat maupun roda dua nampak berjejer di sepanjang jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang.
Kondisi demikian memicu munculnya banyak persaingan dan kepentingan berbagai pihak. Blok A yang memang telah diramaikan oleh sejumlah investor yang terdiri dari para konglomerat berharap akan muncul sosok pejabat dari Pemprov DKI yang berani membela kepentingan mereka dibandingkan membela kepentingan para penguasa wilayah Tanah Abang yang selama bertahun-tahun telah merongrong ekonomi Blok A.
Selama ini, para PKL Tanah Abang dan tukang parkir memang menyetor sedikit uang kepada pihak tertentu. Mereka adalah para penguasa Tanah Abang. Umumnya setoran tersebut dikenal dengan istilah upeti yang disetorkan secara harian. Nilainya variatif, mulai dari Rp2000 hingga Rp5000. Nilai yang bisa tergantung dari besar kecilnya lapak para PKL.
Dan penantian panjang para pengusaha itu pada akhirnya menjadi kenyataan saat Jokowi-A hok berkuasa. Di bawah naungan bendera Pemprov DKI Jakarta, kepentingan para konglomerat dan para pengusaha itu pun dibela, dan kini mereka dapat bernapas lega, karena Jokowi- A hok sukses menggusur para PKL! Puluhan PKL dialokasikan di Blok G, sementara ribuan PKL lain yang memang terdiri dari kalangan ekenomi lemah tak lagi diketahui dimana rimbanya.
Namun masalah tidak berhenti sampai disitu. Usai dipindahkan ke Blok G, entah kenapa, para pembeli yang setiap hari biasanya memadati emperan jalan itu kini tak lagi mau berbelanja di sana. Kondisi ini jelas saja sangat berdampak buruk bagi penghasilan para pedagang di Blok G. Terbukti, tak sampai 1 bulan pindah ke Blok G, penghasilan seluruh pedagang itu anjlok, hingga tak ada yang dilakukan pedagang di Blok G setiap hari kecuali hanya tidur karena tidak ada pembeli sama sekali.
Sebelumnya, banyak pedagang di Blog G mengeluh, mereka sudah beberapa bulan tidak mampu membayar iuran sekolah anak-anaknya karena penjualan di kios sepi pembeli. Ada juga beberapa pedagang yang mengaku terpaksa harus memberhentikan anaknya sekolah karena malu tidak lagi mampu membeli alat-alat sekolah.
7 bulan berada di Blok G sejak direlokasi Pemprov DKI Jakarta awal Agustus 2013 lalu, para pedagang menganggap Pemprov DKI sengaja ‘membunuh’ usaha mereka. Kala itu banyak pihak bahkan menjuluki Jokowi dan A hok sebagai The Killer Poor (pembunuh rakyat kecil) Terbukti, tidak sedikit para pedagang yang mengalami gulung tikar, sementara sisanya lagi nyaris bangkrut.
Tak mampu terus bertahan dalam himpitan ekonomi yang parah selama 7 bulan, para pedagang di Blok G akhirnya memutuskan untuk kembali turun ke jalan. Perut dan kondisi keluarga yang dijadikan alasan mereka untuk kembali menggelar lapaknya di emperan, dari pada mereka harus melihat anak, istri, atau keluarganya kelaparan. Namun Pemerintah tidak akan tinggal diam, melalui kebijakan Pemprov DKI Jakarta, dengan cara apapun, Jokowi dan A hok akan kembali memaksa merelokasi mereka ke Blok G.
6. Ruas Jalan Ibukota
Melihat kondisi ruas jalan ibukota saat ini memang miris. Jalan-jalan yang semula indah dan mulus kini dengan sekejap dapat berubah menjadi kubangan air raksasa hanya karena disebabkan hujan sesaat. Dan saat kubangan air itu surut, pemandangan yang tak kalah memprihatinkan pun terlihat. Aspal jalan-jalan nampak rusak. Lubang-lubang di jalan dengan diameter cukup besar mudah dijumpai di sana sini.
Kondisi ini tidak membuat Pemprov DKI Jakarta cepat merespon, meski telah banyak korban dari para warga berjatuhan dan menyebabkan korban menderita luka-luka bahkan tewas disebabkan lubang-lubang itu. Peristiwa kecelakaan yang memakan korban jiwa paling sering terjadi di wilayah Jakarta Utara. Cerita pemotor yang tewas terlindas truk karena berusaha menghindari lubang sudah menjadi peristiwa biasa sehari-hari disana.
Hingga saat ini sebagian besar ruas jalan di ibukota akan berubah menjadi empang dadakan tiap kali hujan lebat turun dan lubang-lubang akan bermunculan segera setelah air surut. Meskipun pihak Pemprov DKI Jakarta mengaku telah berupaya melakukan pencegahan dan perbaikan namun banyak pihak menilai bahwa sesungguhnya Pemprov DKI Jakarta tak mampu mengatasi masalah ini.
Jokowi hampir genap 2 tahun berkuasa, namun hanya sedikit ruas jalan di ibukota yang mengalami pembenahan. Sungguh kinerja buruk untuk sebuah bentuk pemerintahan yang kadung dipuja puji media. Dari sini dapat dilihat sukses atau tidaknya program Jokowi dalam membenahi ibukota, karena baik atau buruknya ruas jalan di sebuah daerah akan menjadi cermin kesigapan pemerintah setempat pada pembenahan infrastruktural di daerah tersebut.
7. Waduk Ria Rio
Desember 2013 lalu menjadi sebuah peristiwa penting di Waduk Ria Rio, Jakarta Timur. Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) dan Wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (A hok) pada akhirnya merelokasi warga Waduk Ria Rio ke Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) Pinus Elok setelah sebelumnya pihak Pemprov DKI Jakarta harus melewati serangkaian negosiasi rumit dengan warga.
Perelokasian warga Waduk Ria Rio merupakan proyek Jokowi- A hok dalam komitmennya untuk menghijaukan area tersebut. Jokowi pun berkomitmen akan membangun sebuah hutan kota di Waduk yang memiliki luas area 25 hektar ini
Serangkaian negosiasi alot pun dilakoni Pemprov DKI Jakarta dengan para warga yang menghuni Waduk Ria Rio. Proses negosiasi yang lambat dan berjalan alot membuat A hok emosi. Seperti sedang dikejar target A hok nampak ingin persoalan Waduk Ria Rio cepat selesai. Ia pun sempat mengancam akan memenjarakan warga Waduk Ria Rio jika membangkangnya. A hok bahkan menyebut warga yang menuntut ganti rugi lahan sebesar 5 juta sebagai pelaku ‘kriminal’.
Ketika prosesi relokasi warga usai dan area waduk telah disulap menjadi menjadi indah Waduk tiba-tiba sejumlah pihak tersadar ada keganjilan dalam proyek tersebut. Tak berbeda dengan proyek-proyek lainnya, proyek Waduk Ria Rio ini pun kembali menuai perspektif baru dalam langkah-langkah kebijakan Jokowi. Kini keganjilan tersebut dengan mudah dapat ditemukan di sekitar waduk.
Keganjilan ini ditemukan mulai dari rencana Jokowi yang akan menjadikan area waduk sebagai lokasi wisata hingga apartemen-apartemen yang secara tiba-tiba bermunculan tak jauh dari lokasi waduk. Keganjilan semakin bertambah manakala sejumlah hotel dan apartemen milik swasta itu dibangun bersamaan dengan proyek perehaban Waduk Ria Rio menjadi lokasi wisata kota.
Jauh sebelum proyek Waduk Ria Rio dicanangkan, kawasan tersebut memang sudah lebih dulu dikenal sebagai satu-satunya waduk di Jakarta yang dikurung oleh apartemen-apartemen mewah milik swasta. Apartemen-apartemen itu persis menghadap ke arah waduk. Hanya saja keberadaan waduk yang kumuh dan semrawut membuat view di sekitar apartemen jadi tak sedap dipandang. Ria Rio pun selama bertahun-tahun menjadi penghalang keindahan mata para penghuni apartement.
Keganjilan proyek Ria Rio inipun dipertanyakan berbagai pihak. Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Achmad Farial mengatakan, bahwa ia melihat adanya perbedaan antara ucapan Gubernur DKI dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Menurutnya, terdapat kesalahan dalam konsep pembangunan di sekitar lokasi waduk Ria Rio
“Kalau saya tidak salah tangkap yaitu sekitar 5 persen pembangunan di sana (Ria Rio) untuk ruang terbuka hijau dan ruang terbuka umum. Kenapa kok sekarang jadi ada hotel dan apartemen?," kata Achmad Farial dalam pertemuan Komisi VII dengan Pemprov DKI di Balai Kota, Senin 28 September 2013 lalu.
Sebelumnya, Jokowi memang pernah mengutarakan niatnya untuk membangun kawasan rekreasi di Waduk Ria Rio mirip Marina Bay di Singapura, bahkan lebih baik dari Singapura. Lalu apakah ada kaitan antara rencana Jokowi dengan pembangunan hotel dan apartemen mewah di lokasi tersebut? Tentunya sudah dapat ditebak, pihak Jokowi tentunya akan menyangkal isu kaitan tersebut.
Keganjilan demi keganjilan yang ditemukan hampir pada semua proyek Jokowi semakin menambah daftar panjang isu miring korupsi yang melibatkan mantan Walikota Solo tersebut
8. Kartu Jakarta Sehat
KJS (Kartu Jakarta Sehat) merupakan proyek program kesehatan yang diluncurkan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (A hok). Peluncuran KJS ini semula bertujuan untuk meringankan beban warga DKI Jakarta khususnya mereka yang berlatar belakang ekonomi lemah. Dengan KJS warga Jakarta akan memperoleh fasilitas pemeriksaan gratis di seluruh Puskemas dan RSUD milik pemerintah.
Proyek yang sudah terlanjur digembar-gemborkan sebagai proyek unggulan Pemprov DKI Jakarta itu semula direncanakan dapat mendongkrak citra Jokowi-A hok. Namun nampaknya Dewi Fortuna lagi-lagi sedang tidak berpihak pada petinggi Pemprov DKI tersebut. Elemen bangsa yang teliti menemukan banyak kekeliruan pada program KJS yang dapat berakibat fatal di lapangan.
Program KJS milik Jokowi-A hok yang semula bertujuan untuk meringankan beban masyarakat Jakarta, namun ternyata justru memberatkan mereka dan menguntungkan perusahaan asuransi. Pasalnya, dengan diterbitkannya KJS ini sudah dipastikan setiap satu orang warga DKI Jakarta akan kehilangan tanggungan biaya berobat sebesar Rp 94.000.000,-(Sembilan Puluh Empat Juta Rupiah) dari Pemprov DKI Jakarta karena ternyata KJS hanya akan memberikan limit tanggungan biaya sebesar Rp 6 juta. Jelas program KJS ini bertolak belakang dengan Perda (peraturan daerah) sebelumnya No. 4 tahun 1999 yang memberikan limit biaya pengobatan sebesar Rp 100.000.000,-(Seratus Juta Rupiah) kepada setiap warga.
Tak ubahnya seperti proyek BLT (Bantuan Langsung Tunai), dimana mereka yang tidak berhak atas BLT tapi tetap ‘ngotot’ merampas jatah BLBT. Proyek KJS juga sempat ditolak mentah-mentah oleh para dokter dan Rumah Sakit karena telah menyebabkan kerugian sangat besar. KJS produk Jokowi-A hok tidak hanya diperuntukkan bagi warga Jakarta yang miskin saja, melainkan kepada seluruh masyarakat Jakarta tanpa terkecuali.
Kasus BLT versi 2 pun kembali terulang. Warga yang mampu pun akhirnya berbondong-bondong pergi ke Puskesmas dan RSUD untuk berobat gratis. Dampaknya, pasien membengkak tajam hingga berkali-kali lipat. Kualitas pelayanan kepada pasien pun menurun drastis. Semula untuk setiap 1 orang dokter dalam sehari tidak boleh melayani pasien lebih dari 30 orang. Mengingat kualitas pelayanan terhadap pasien yang harus selalu dijaga. Namun para dokter terpaksa harus menomorduakan kualitas pelayanan karena saat ini dalam sehari para dokter harus melayani sedikitnya 100 pasien, yang berarti untuk setiap 1 orang pasien hanya diberikan waktu periksa maksimal 10 menit.
Masalah demi masalah pun terungkap dan masih terus bergulir. KJS pun disinyalir telah sengaja menyimpang dan melakukan sejumlah pelanggaran Perda. Tuduhan ini dipicu oleh sejumlah temuan penyimpangan terhadap peraturan perundang - undangan yang berlaku seperti UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahaan Kedua Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Perda DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah.
Pada Februari 2013 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta mengkritik program Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diusung Gubernur Joko Widodo (Jokowi), karena dibuat terburu-buru tanpa mempertimbangkan fasilitas kesehatan yang ada, akibatnya jumlah pasien membludak dan pelayanan memburuk. Bahkan, akibat fasilitas perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) kurang bayi Dera Nur Anggraini yang lahir prematur melalui caesar meninggal.
"Di Perda itu yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan adalah orang miskin dan rentan. Lalu Pak Jokowi menggunakan Pergub, memberlakukan untuk semua masyarakat," kata Achmad Nawawi (19/2)
Menurut Nawawi, melalui KJS, semua warga miskin dan tidak miskin bisa menikmati layanan kesehatan gratis asalkan bersedia dirawat di ruang rawat inap kelas III. Mereka hanya bermodalkan KJS atau kartu tanda penduduk Jakarta. Akibatnya, pasien di puskesmas dan rumah sakit membludak, sementara ruang perawatan dan tenaga medis terbatas.
Nawawi juga mengungkapkan bahwa sejak pertama program KJS belum jelas. Jokowi tidak mengkaji terlebih dahulu berapa pasien yang akan datang, berapa puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah yang akan menampung, bagaimana dengan obat-obatan hingga sumber daya manusia yang ada. Hasilnya, banyak pasien KJS yang terbengkalai.
"Ini jadi crowded di lapangan. Perawat tidak nambah, obat tidak namnbah. Itu semua diberikan dalam waktu tiga menit," kata Nawawi.
Bagi Nawawi program KJS tak jauh berbeda dengan program Gakin di era Gubernur Fauzi Bowo. Bedanya, Jokowi memotong birokrasi dan memperbolehkan semua golongan masyarakat untuk berobat.
"Makanya saya minta Perda 4 tahun 2009 direvisi karena Pergub Nomor 187 Tahun 2012 melawan Perda," ujar Nawawi.
Nawawi menjelaskan bahwa Fraksi Partai Demokrat, mendukung program KJS. Fraksi Demokrat melihat program tersebut berguna bagi rakyat. Hanya saja perlu ada revisi terhadap Perda sehingga tak bertabrakan dengan Pergub.
Namun kenyataannya permintaan dan saran dari DPRD DKI tersebut tidak indahkan oleh Pemda DKI. Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi terus melanjutkan pelaksanaan KJS berdasarkan Pergub Nomor 187 Tahun 2012 yang sangat cacat hukum itu.
Rencana interpelasi (hak meminta penjelasan pemerintah) DPRD DKI Jakarta terhadap Gubernur Jokowi yang semula sempat mencuat namun kemudian malah dibatalkan karena serangan opini negatif sejumlah media 'bayaran' terhadap rencana interpelasi itu. Belakangan mulai ditemukan banyak penyimpangan dan dugaan kuat telah terjadinya korupsi ratusan miliar pada Program KJS tersebut.
Penyimpangan pada Program KJS tersebut mulai dari dasar hukum yang cacat, mekanisme penyaluran yang tidak jelas mekanisme dan pertanggungjawabannya, sampai pada pelanggaran dalam bentuk penunjukan langsung rekanan asuransi Pemda DKI yang menjamin pelaksanaan Program KJS ini yang diperkirakan telah menyebabkan kerugian pemerintah hingga ratusan milyar perbulan.
Sumber: spektanews
0 komentar:
Post a Comment