Sakralisasi Jokowi Bahayakan Demokrasi
Pemilu Presiden 2014 ini menjadi titik kulminasi upaya sakralisasi terhadap calon presiden Joko Widodo. Kritik dan mengungkap sisi lain Joko Widodo dianggap tabu dan membahayakan. Ini tentu peringatan bagi demokrasi di Indonesia.
Upaya sakralisasi Joko Widodo dengan menolak kritik atas kinerjanya selama memimpin di Solo dan Jakarta tentu menjadi peringatan bagi proses demokrasi di Indoensia. Upaya check and balances dari publik maupun personal terhadap pejabat publik merupakan syarat penting proses demokrasi di Indoensia.
Anggota Komisi Hukum DPR RI Ahmad Yani menyesalkan peristwa pelarangan kritik terhadap Jokowi yang dilakukan aktivis LSM di Indonesia. Menurut Yani, situasi tersebut menjadi lampu kuning bagi proses demokrasi di Indonesia. "Ini tentu berbahaya dalam proses demokratisasi di Indonesia," tegas Yani di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (19/6/2014).
Pernyataan ini merepons adanya upaya pelarangan kritik Jokowi. Sebelumnya, salah satu penggiat LSM yang cukup dikenal publik memberi pengakuan kepada INILAHCOM, Rabu (18/6/2014) di Jakarta tentang tekanan yang diterima akibat gencar melakukan kritik atas kinerja dan performa Joko Widodo. "Gue tidak bisa lagi kritik Jokowi. Sementara tiarap. Dapat teguran dari pimpinan karena Dewan Penyantun melarang," ucap aktivis itu yang enggan disebutkan namanya.
Untuk membuktikan pernyataannya, aktivis tersebut menunjukkan isi pesan singkat yang berasal dari pimpinannya agar tidak lagi mengritik Jokowi. Dalam pesan singkat tersebut disebutkan agar yang bersangkutan tidak lagi mengritik Jokowi. Alasannya, Dewan Penyantun melarang dirinya untuk bersikap kritis terhadap Jokowi.
Ahmad Yani mengaku risau bila LSM sebagai perwujudan masyarakat sipil menjadi insubordinat terhadap kekuasaan. Pelarangan kritik terhadap Jokowi tentu menjadi isyarat buruk bagi penguatan masyarakat sipil di Indonesia. "Itu sama saja merendahkan LSM yang juga perwujudan dari masyarakat sipil," ingat Yani.
Fenomena sakralisasi Jokowi juga secara nyata muncul di permukaan. Kritik terhadap Jokowi dianggap sebagai pembusukan terhadap mantan Wali Kota Solo tersebut. Membuka fakta tentang Jokowi dianggap sebagai upaya pembusukan. Tak jarang, siapa saja yang bersikap kritis terhadap Jokowi terutama yang muncul di dunia maya langsung mendapat komentar dan kritik balik dengan konotasi bully.
Sikap yang muncul tak lebih sebagai upaya klaim kebenaran dan klaim kebaikan yang dimunculkan oleh para pendukung capres Jokowi. Jokowi ditempatkan sebagai sosok yang baik dan benar, tidak boleh dikritik.
Maka tak aneh bila jargon para pendukung Jokowi bernada mengecilkan pihak lainnya seperti "orang baik memilih orang baik", "orang waras memilih orang waras". Logika tersebut bila dikembangkan, tentu akan berakibat fatal, pendukung capres non Jokowi bukanlah orang baik dan orang waras. Tentu bukan ini maksud dan tujuan hajat demokrasi lima tahunan itu bukan? [mdr/inilah]
0 komentar:
Post a Comment