Media Jokowi, PDIP merupakan kendaraan paling bebas menjemput penumpang dari berbagai kalangan, tidak terbatas pada klaim patriotisme Bung Karno, padahal tidak dijalan Sukarno seutuhnya, karena PDIP tidak punya modal untuk menjadi sosok “Sukarno” yang terkenal dan disegani bangsa bangsa dunia.PDIP dengan wajah Banteng Jantan Merah, lebih pada gaya “seruduk” tanpa konsep yang jelas, partainya terbuka tanpa kendali, siap menerima siapapun yang datang, asal konstribunya jelas pada partai. Baik yang beraliran agamis atau yang beraliran “dosa dosa besar” atau tidak bertuhan tidak ada halangan yang mencegah meraka masuk PDIP, karena yang penting partai ini “besar” dan menang dominative mengalahkan partai partai lain.
Kesempatan “keterbukaan partai yang dianut PDIP” harus menjadi pilihan kelompok keelompok masyarakat yang beraliran ekstrim, seperti tokoh tokoh liberal dari berbagai aliran, baik aliran kanan atau aliran kiri. Diantaranya, Syiah, Kristen, Aliran sesat lainnya, Waria, WTS dan jenis jenis populasi maksiat lainnya, ikut meramaikan PDIP. Benar kata Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang menyatakan : “seseorang akan bersama dengan yang dicintainya”. Demikian PDIP telah menjadi wajid dari orang orangnya yang merasa terlindungi kalau masuk PDIP, sebab memang tak ada partai dinegeri ini yang bisa menjadi pilihan kelompok kelompok sempalan maksiat tersebut selain PDIP, yang menjamin sepuasnya keberadaraan mereka.Karena PDI Perjuangan nilai tawarnya rendah, tidak mematok harga terlalu mahal untuk melindungi kesesatan dan perbuatan dosar besar mereka, asal memberikan kontribusi dalam pemenangan partai, maka bebas seseorang berbuat sekehendaknya dinegeri ini.
Tidak hanya sebatas partai, PDIP yang didukung Media TV, Metro TV, selalu menonjolkan dan melakukan pembelaan terhadap sikap sikap PDIP yang salah, misalnya sikap PDIP terhadap dolly di Surabaya, Metro TV membela lokasi maksiat tersebut, dengan menimbulkan opini seolah “Prostitusi [Pelacuran]” adalah lapangan kerja yang perlu disikapi dengan Arif, sebab hidup kalangan WTS yang tertumpu pada mata pencaharian meraka sebagai pelayan hidung belang juga butuh makan. Itu lontaran media Metro TV.
Bisa disebut metro TV benar benar media tidak berakhlaq, sering melakukan pembenaran terhadap sikap sikap miring yang menyudutkan agama sebagai makar terhadap Nasionalisme.
Sukarno sering menjadi bahan sacral di mata PDIP dan Nasdem, seolah Sukarno tetesan Tuhan, yang fatwa fatwanya berkaitan dengan nasionalisme selalu benar, dia selalu di puja para hambanya dari kalangan opurtunis PDIP atau Nasdem. Bahkan meletakkan pancasila lebih mulya dari kitab suci agama Islam, hingga menjadi tuhan yang tidak duanya.
Produk pemikiran PDIP dan Nasdem dengan reputasinya yang dikenal familiar dikalangan pemuja “dosa” sangat laku dan menjadi standar baku bangsa dan Negara. Koalisi maksiat yang terdapat didalamnya terbukti paling kuat memperjuangkan hak hak partai, termasuk pilpres, tak luput dari dukungannya.
Hari Selasa (27/05/2014), komunitas waria dan gay di NTT nyatakan mendukun Jokowi – JK jadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019.
Dukungan itu disampaikan saat bersama kelompok Perempuan Sehati Sesuara (Persehati) NTT mendeklarasi mendukung Jokowi – JK di Taman Nostalgia Kupang.
Pada bulan Januari lalu, ratusan waria sempat turun ke jalan, ikut dalam pawai yang digelar Sekretariat Nasional Joko Widodo (Seknas Jokowi) mendukung Jokowi menjadi calon presiden dalam Pilpres 2014.
Pawai dimulai dari patung kuda depan Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, hingga Bundaran Hotel Indonesia, tepatnya di sebelah Gedung UOB Plaza, Jalan Jenderal Sudirman.
Takfiri Syiah Rafidhi turut pula mendukung Jokowi :” “Kami sudah dapat restu dari para ulama Syiah internasional untuk dukung Jokowi,” kata Koordinator Oase Emilia Renita saat menghadiri Forum Pemimpin Gereja-gereja Indonesia dukung Jokowi di Galeri Cafe Cikini Jakarta, Jumat (30/05/2014) malam sebagaimana dikutip bisnis.com.
Maraknya dukungan pelaku maksiat di Indonesia kepada “jokowi” , makin memperkuat langkah PDIP menolak syariat Islam.(koepas)
0 komentar:
Post a Comment