Lapor Komandan! Konsep Politik Syiah itu Berbahaya bagi NKRI
Oleh : Sigit Kamseno
Satu minggu ini, kita dibuat geger oleh penyerangan sekelompok preman ke perumahan Bukit Adz-Dzikra, Sentul, Bogor. Menurut pimpinan Majelis Dzikir Adz-Dzikra, al-Ustadz Muhammad Arifin Ilham, semoga Allah menjaga beliau selalu, penyerang tersebut berasal dari kelompok syiah yang merasa tersinggung akibat pemasangan spanduk anti syiah di kompleks perumahan Muslim itu. Tak cukup di situ, pidato seruan jihad ulama ahli dzikir itu menyebar di media sosial. Seruan itu demikian menggelegar, membuat pendengarnya merinding sebab beririsan langsung dengan semangat membela agama. Dukungan terhadap ustadz Arifin pun menjamur, mulai dari sokongan pimpinan ormas-ormas Islam, hingga kalangan masyarakat di akar rumput. Status yang menjadi awal berita di laman facebook ustadz kelahiran Kalimantan itu dikomentari ribuan orang, tak sedikit di antaranya mengatakan “Siap Menunggu Perintah!”
Selama ini, ustadz Arifin Ilham dikenal sangat lembut, bertutur santun, selalu menyebutkan nama pribadi sebagai kata ganti aku, dan tawadhu’. Pun, beliau menggunakan kata sapa ‘abang’ atau ‘ayahanda’ kepada sesiapa yang lebih tua sebagai sebentuk ihtiram atau penghormatan. Majelis dizkirnya di berbagai kota dihadiri ribuan umat yang larut dan khusyu’ dalam lautan dzikir. Tangisan jamaah ketika hanyut dalam alunan dzikir dengan berbagai macam penyesalan dosa dan harapan terdengar bersahutan, begitu selalu.
Namun memang, berhati-hatilah dengan marahnya mukmin yang sabar, sebab ia marah karena panggilan iman. Bahkan seorang yang sangat sufistik dan berbudi luhur semoncer al-Syaikh Baiduzzaman Said Nursi pun, marah ketika harga diri dan kehormatan agamanya dilanggar. Pun demikian Hadhratu al-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama, yang tak tunduk pada siapapun yang menantang agamanya. Sekadar informasi, cucu KH.Hasyim Asy’ari, KH.Shalahuddin Wahid atau Gus Sholah—yang juga guru kami semua sebagai warga yang dibesarkan dalam tradisi NU—juga berkomentar saat ditanya bahwa pemasangan “spanduk menyesatkan dan rasis” anti syiah itulah yang menjadi penyebab penyerangan, serta merta kyai pimpinan pondok Pesantren Tebuireng itu menjawab, “itu bukan Rasis, jika tak setuju bisa dilawan dengan spanduk.” Kicaunya di akun twitter.
Tahun 1997, sebetulnya PBNU dalam surat yang ditandatangani oleh Rais Am KH. M. Ilyas Ruhiyat dan Katib Am KH. Dawam Anwar telah menginisiasi penerbitan buku tentang syiah agar umat tidak terkecoh propaganda syiah yang menyamakan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan syiah. Jauh sebelumnya, Hadhratu al-Syaikh KH.Hasyim Asy’ari (1875-1947) mengatakan “semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran (syiah) ini.” Saat membahas syiah, kyai Hasyim menukil fatwa Imam Qadhi Iyadh dalam kitab al-Syifa yang menjelaskan sesat dan kafirnya kaum syiah.
Saya justru tak habis pikir dengan kicauan aktivis berpemikiran Islam liberal seperti Zuhairi Misrawi yang menyindir ustadz Arifin Ilham pasca kasus itu dengan sebutan “ustadz penjaja dzikir yang menebarkan kebencian”. “penjaja dzikir”, dapatkah engkau fahami kalimat sarkastik yang merendahkan itu? Melihat Zuhairi merendahkan tokoh agama, saya teringat Tan Malaka merendahkan Diponegoro. Tokoh agama, siapapun yang tak sejalan dengan pandangannya, dikritiknya penuh sarkasme.
Konsep Politik Syiah Berbahaya bagi NKRI
Segera saja, kumandang Jihad sang ustadz itu mengundang respon tokoh-tokoh yang selama ini dikenal kerap membela Syiah. Dina Sulaiman, ibu rumah tangga yang tulisan-tulisannya acap membela syiah menulis surat terbuka kepada ustadz Arifin Ilham dengan bahasa mendayu dan sentimentil. Alumnus program S2 di Tehran University, Iran, ini meminta agar ustadz Arifin tak “kerahkan pasukan” karena akan berbahaya bagi negara Indonesia, jangan sampai Indonesia luluh lantak selayak Libya dan Suriah, pesannya. Dina nampak cinta Indonesia, sayangnya istri dari Otong Sulaeman –seorang yang juga mengecap studi di Qom, Iran– ini sama sekali “luput” untuk menyinggung atau menyalahkan penyerangan yang dilakukan preman syiah tersebut, ia justru berpesan agar Arifin Ilham bijak dan tak serukan kumandang jihad karena akan berakibat buruk bagi NKRI, semacam ancaman halus?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Dina lupa bahwa konsep politik syiah sebetulnya justru tak kalah berbahaya bagi NKRI?
Kita tahu, syiah bukan sekadar sekte dalam aliran teologi, ia adalah persenyawaan paham teologi dan konsep politik. Kelahiran madzhab syiah, jika boleh disebut madzhab, tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik pada zaman awal Islam. Dalam berbagai literatur kita tahu bahwa syiah, yang kemudian berkembang dalam puluhan sub-sekte itu, tak bisa dilepaskan dari faktor politis, baik saat penentuan siapa pemimpin pengganti selepas wafatnya Nabi, atau saat perang Jamal dan Shiffin. Dari sejarah yang politis itu, konsep politik syiah hingga kini terus mengalami perkembangan.
Di era modern, yang paling mencolok dari konsep “theo-politis” khas syiah terutama terletak pada kuasa Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin tertinggi yang dipilih oleh Majelis Khubreganpada konsep vilayatul faqih) sebagai pemegang kendali yang “lebih berkuasa” dari kepala negara.
Tokoh kharismatik yang duduk sebagai Rahbarini memegang otoritas kepatuhan yang lebih diimani penganut syiah ketimbang siapapun yang ada di dunia ini, termasuk kepala negara.Bagaimanapun, vilayatul faqih diyakini sebagai penerus imamah selama imam masih ghaib, dimana imamah itu sendiri bagi kaum syiah merupakan bagian dari inti agama, yakni aqidah. Dhiauddin Rais menggambarkan posisi imamah dalam doktrin syiah sebagai pokok Islam yang tumbuh dan cabang-cabangnya meninggi.[1]
Berbeda dengan kaum sunni yang lebih dinamis dalam menafsir relasi agama-negara, syiah kukuh pada prinsip teokrasi, yakni negara syiah. Iran adalah contoh terbaik tentang konsep negara agama versi syiah di era kontemporer sebagai hasil dari revolusi khumaini pada 1979. Khumaini mengatakan, selama ghaibnya imam al-Mahdi, kepemimpinan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Oleh karena itu, sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya karena ia memiliki kekuasaan dan otoritas sebagaimana yang dimiliki Nabi dan para imam terdahulu.[2] Doktrin syiah, menempatkan imam mereka dalam posisi suci, Carl Brown (2000) menyebut doktrin imam mahdi syiah ini sejajar dengan peran messiah dalam agama Yahudi atau Kristus di dalam kepercayaan Kristen.[3]
Saya teringat tulisan dari Khamami Zada, seorang intelektual muda NU dalam Jurnal Tashwirul Afkar medio 2007. Ia menuangkan kekhawatirannya akan ancaman gerakan Islam trans-nasional seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir yang dianggap berbahaya karena dianggap membawa pandangan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia dengan watak yang secara politik dan doktrin agama memengaruhi pandangan keagamaan masyarakat lokal di Nusantara.
Sebangun dengan alam pikiran Khamami Zada, selayaknya gerakan syiah dimasukkan sebagai ancaman yang lebih serius. Ancaman berbahaya syiah bagi NKRI adalah apabila mereka berhasrat menerapkan konsep politik beraroma imamahnya itu di Indonesia. Tidakkah, konsep teokrasi versi syiah yang diimani sebagai “negara yang dijaga oleh penerus para imam yang suci dari dosa” ini berbahaya bagi NKRI?
Ikhwanul Muslimin (IM), bahkan sebetulnya tidak berbahaya karena gerakan asal Mesir itu memandang politik hanya sebagai bagian dari ranah muamalah, bukan perkara aqidah. IM perlu ditempatkan sebagai gerakan yang cukup moderat untuk menerima demokrasi, belakangan kelompok ini malah semakin moderat dengan melakukan “indigenisasi” gagasan-gagasannya terhadap tradisi dan kearifan lokal Nusantara. Dibanding Hizbut Tahrir (HT), syiah juga jauh lebih mengancam. Sekalipun berhasrat untuk mendirikan khilafah atau pemerintahan Islam, doktrin Hizbut Tahrir melarang anggotanya menempuh jalan kekerasan dalam meraih tujuan, hal ini berbeda dengan syiah yang revolusioner dan radikal, saya harap kita tidak lupa dengan revolusi syiah 1979 yang menggulingkan pemerintahan Reza Shah Pahlevi.
Terkait revolusionerisme syiah itu, ketika membedah tentang fundamentalisme Agama, Ian Adams (1993) dalam bukunya Political Ideology Today, mengatakan bahwa sekalipun minoritas, fundamentalisme syiah mampu menghasilkan fundamentalisme yang paling besar dan agresif. Pada saat yang sama, bedah Adams, ulama syiah juga memiliki peran lebih penting daripada lembaga negara. Ian Adams juga mencatat doktrin Khumaini yang melancarkan fatwa bahwa para ulama wajib meruntuhkan pemerintahan yang represif, ulama tidak boleh hanya memberi saran tentang hukum dan tindakan pemerintah.[4]
Nampaknya, semangat yang samalah yang mendorong empat orang pemuda Iran mengunjungi Buya Hamka di kamar hotelnya untuk mengajarkan revolusi syiah di Nusantara. Saat itu dengan tegas Hamka menjawab, “Kami adalah bangsa merdeka dan tidak menganut syiah!”
Radikalisme syiah juga digambarkan oleh Olivier Roy[5], yang mengatakan bahwa kendati syiah merupakan agama kontemplatif, mistis, dan politis seperti dilakukan Ali Syariati, namun ada beberapa tema dalam “imajinasi syiah” yang bersebangun dengan semangat-semangat revolusioner, yakni kesadaran sejarah, milenarisme –keyakinan munculnya masyarakat ideal lewat tindakan revolusioner, gagasan keadilan sosial—devaluasi kekuasaan temporal, dan sebagainya. Tema-tema ini dilukiskan sebagai teladan oleh para tokoh syiah sehingga melahirkan semangat revolusi yang menggebu-gebu.
Sedemikian radikalnya, di kalangan internalnya sendiri sebetulnya kelompok syiah tidak akur satu sama lain. Misalnya pada kasus pendirian Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) oleh para habaib syiah sebagai protes atas diangkatnya Jalaludin Rahmat sebagai ketua IJABI. Pembentukan LKAB yang kemudian berkembang menjadi Ahlul Bait Indonesia (ABI) ini didasari oleh ketidakpuasan kelompok keturunan Arab Alawiyin karena Jalaludin Rahmat adalah orang Sunda dan bukan keturunan bangsa Arab Alawiyin sehingga tidak layak menjadi pimpinan lembaga syiah di Indonesia[6].
Epilog
Kita perlu memahami dan mendudukan syiah tak hanya sebagai faham teologi an sich, tetapi sebagai doktrin politik yang akan berimplikasi pada stabilitas politik nasional. Ketika doktrin imamah syiah menemukan ruangnya dalam konstelasi politik kita, perjuangan berdarah-darah para pahlawan dalam membangun Indonesia yang humanis, nasionalistik, demokratis, dan menjaga ketinggian tradisi nampaknya perlu dimulai kembali dari angka nol.
Salam
Twitter: @mistersigit
17/2/15
–
Referensi:
Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UIPRess, 2002
John L.Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Khamami Zada, “Agama dan Tradisi Kultural: Pertarungan Islam Lokal dan Islam Kaffah” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No.23/2007, “Agama Tradisi dan Tradisi Agama: Pertarungan, Negosiasi, dan Akomodasi”
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993
Mahfudz Shiddiq, Pemikiran dan Manhaj Politik Ikhwanul Muslimin, Jakarta, Tarbiatuna: 2003
Majelis Ulama Indonesia, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, ttt, Formas, tt
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, tt
Reslawati, “Menelusuri Jaringan Syiah di Jabodetabek”, dalam Jurnal Harmoni, Vol IX No.36/2010, “Hubungan Antarumat dan Kebebasan Beragama”
Tan Malaka, Aksi Massa, Jakarta: Narasi, 2013
[1] Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Jakarta: GIP, 2001), h.123
[2]Amin Farazala al-Malaya, “Konsep Politik Pemerintahan Sunni vs Konsep Politik Pemerintahan Syiah Imamiyah” www.syiahali.wordpress.com, perlu dicatat sekalipun menyerukan persatuan ummat kepada NU, Jamaah Tabligh, dst., untuk memerangi wahabisme, penulis artikel ini, Amin Farazala al-Malaya atau disebut juga ibnu Jakfar alias Ustadz Syiah Ali, membuat bold besar-besar pada headline blognya: “Bersatu hanya dibawah satu bendera syiah di bawah Rahbar Iran”, perhatikan kalimat “Muslim sedunia bersatu di bawah bendera syiah dipimpin Rahbar Iran”
[3]L.Carl Brown, Wajah Islam Politik (Jakarta: Serambi, 2003), h. 58
[4]lihat Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Yogyakarta: Qalam, 2007), h. 437-441
[5]Lilhat Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi, TT), h. 214-232
[6]Reslawati, “Menelusuri Jejak Syiah di Jabodetabek”, dalam Jurnal Harmoni, Vol.IX, No36/2010, h.73
0 komentar:
Post a Comment