Tangan Tersembunyi UEA dibalik Kudeta Gagal di Turki
Danny Brown
Pada malam 15 Juli, khususnya setelah pukul 10.30, mata dunia tertuju ke Turki menyaksikan upaya kudeta terhadap pemerintah yang berkuasa. Pemberitaan media setelah kudeta tertuju kepada kelompok Gulenis yang dianggap berada dibalik kudeta, namun gambar ini sesungguhnya belumlah lengkap perihal keterlibatan tangan-tangan tersembunyi yang mengendalikan peristiwa tersebut.
1 tahun setelah kudeta yang gagal di Turki, “Krisis diplomasi Qatar” terjadi pada 5 Juni 2017, menyebabkan perpecahan dan konflik di antara negara-negara Teluk. Karena krisis ini, tidak salah untuk menyebutkan adanya dua kekuatan yang bangkit di kawasan ini. Kelompok pertama adalah negara-negara yang kontra revolusi dan satu pihak lain pendukung Arab Spring. Dan benar bahwa bentrokan kepentingan antara dua kelompok ini adalah tentang bagaimana mendekati gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin.
Berkaitan dengan hal itu, Turki dan Uni Emirat Arab (UEA) berada dalam posisi berlawanan di kawasan ini, meskipun kedua negara memiliki hubungan yang hangat hingga kemudian keduanya memiliki kebijakan yang bertentangan setelah Arab Spring. Perselisihan antara Turki dan UEA menjadi semacam perang dingin yang diamati. Karena perselisihan tersebut, pertanyaannya: Seberapa besar perang dingin antara Turki dan UEA?
Dalam perselisihan tersebut, bagaimana kita menaksir klaim bahwa UEA terlibat dalam kudeta gagal di Turki pada 15 Juli 2016?
Pelbagai rumor menunjukkan ada tuduhan serius atas UEA dalam kudeta yang gagal. Pada 9 Juli 2017, selama iftar AKP di cabang Istanbul, Presiden Recep Tayyip Erdogan menyatakan: “Kami tahu benar siapa negara Teluk yang senang selama kudeta berlangsung. Jika mereka punya badan intelejen, kami juga punya.Bagimana tahu apa yang mereka kerjakan malam itu. Kami tahu mereka yang mengikuti perkembangan yang terjadi pada malam itu dan mengharapkan keberhasilan dalam upaya kudeta. Kami tahu benar jumlah uang yang mereka gelontorkan untuk kepentingan kudeta ini.
Sebelum ada pernyataan Erdogan, media dan politisi telah membicarakan hal itu.
Apakah UEA Ambil Bagian dalam Kudeta?
Juni lalu, di beberapa laman berita, kita mendapatkan beberapa klaim mengejutkan: Beberapa minggu sebelum kudeta di Turki, Putera Mahkota Mohammed bin Zayed mentransfer uang kepada Mohammed Dahlan, sosok Palestina yang kontroversial yang dikenal memiliki koneksi dengan para pembesar di Timur Tengah. Dahlan adalah mantan anggota Al Fatah yang pindah ke Abu Dhabi setelah dipecat dari Fatah dan dilarang kembali ke Palestina. Namun, Dahlan masih bersaing dengan Mahmoud Abbas dan berupaya membeli pengaruh untuk dapat kembali ke Palestina.
Klaim ini disepakati dengan klaim lainnya, dari sebuah laman berita Inggris pada 29 Juli 2016 yang mengatakan bahwa Mohammed Dahlan telah menghubungi Fethullah Gulen, otak dibalik rencana kudeta dan pemimpin Gulenis melalui seorang pebisnis Palestina yang tinggal di AS.
Sulit untuk menyatakan klaim ini tidak masuk akal. Jika kita buka kembali ingatan, kita akan ingat bahwa selama malam kudeta, media UEA seperti Sky News dan Al Arabiya menyiarkan distorsi media tentang perkembangan rencana kudeta malam itu dan kebijakan editorial yang distortif itu berlangsung selama 12 jam. Meskipun pada akhirnya pandangan UEA tentang kudeta berubah pada akhirnya karena UEA segera menyerahkan 2 jenderal yang menjadi bagian dari rencana kudeta yang gagal. Ini dilihat sebagai upaya putar haluan setelah mereka yakin bahwa rencana kudeta telah gagal.
Disamping itu, butuh beberapa hari para pejabat UEA secara resmi mengecam rencana kudeta yang gagal.
Fakta lainnya, yang melengkapi klaim terkait peran Mohammed Dahlam dalam rencana kudeta, beberapa media Mesir memberikan kesempatan kepada Fethullah Gullen untuk mencuci tangannya dari rencana kudeta dan sebaliknya menyebarkan propaganda dan informasi sesat tentang rencana kudeta di Turki. Baru-baru ini, dalam peringatan 1 tahun kudeta gagal, Gulen diberi kesempatan koran Mesir Al Yaum al Sabi, laman berita maya yang dekat dengan rejim Mesir dengan sebuah wawancara. Apa yang penting dari pernyataan Gulen adalah bahwa koran yang diklaim dibiayai oleh Dahlan dan beberapa figur penting UEA ini menyediakan halamannya ke Gulen.
Untuk memahami secara penuh perselisihan antara Turki dan UEA dapat dilihat dari bocoran email duta besar UEA untuk Washington, Yousef al Otaiba. Email ini berbicara tentang hubungan dekat antara Otaiba dengan Lembaga Pertahanan Demokrasi (FDD), kelompok thin tank pro Israel di Washington. Pendirinya, Mark Dobowitz dianggap membawa kepentingan Israel dan sangat memusuhi Turki. Jelas dari bocoran email tersebut adalah Otaiba tidak hanya dekat dengan Dubowitz, namun juga penasehat senior FDD, John Hannah yang dikenal sebagai pendukung penjatuhan Erdogan dalam artikelnya di Foreign Policy, yang dipublikasikan satu bulan sebelum kudeta di Turki.
Beberapa media Turki melacak informasi ini, yang tidak diungkap dari bocoran email tersebut, menyebutkan bahwa FDD berkordinasi dengan Gulenis di AS untuk satu kepentingan yang sama: Menjatuhkan pemerintah Turki.
Jika klaim ini benar, peran institusi seperti FDD berupaya fasilitasi di lapangan bagi keberhasilan rencana kudeta dengan mempromosikan legitimasi bagi upaya kudeta melawan pemerintah yang ada. Misalnya, akhir Janurari 2016, jurnalis Turki Gercek Hayat, jurnal politik pekanan Turki menulis bahwa UEA mencoba menciptakan opini publik yang mendukung upaya kudeta melawan pemerintah Turki dan untuk melakukan hal itu, mereka menggunakan Mohammad Dahlan. Dalam keranka upaya itu, 4 strategi direncanakan akan dilakukan:
Menciptakan gambaran negatif tentang Presiden Turki Erdogan di seluruh media Arab dan Turki yang bersikap oposisi.
Mendukung oposisi di pemerintahan Turki dan Erdogan di Turki dengan membiayai mereka.
Menciptakan kekacauan di Turki, merusak keamanan dan mendukung PKK, kelompok terorris Kurdi.
Mendukung faksi dalam militer yang menentang pemerintah.
Kita telah menyaksikan upaya yang sama sebelum krisis diplomatik baru-baru ini antara Qatar dan beberapa negara Teluk. Tidak lama setelah krisis diplomatik pecah, 14 media AS terus menerus menuduh Qatar mendukung terorisme. Tampak jelas bahwa ada orang yang sedang menekan tombol kampanye anti Qatar. Maka hal yang sama tidak terlalu sulit dilakukan atas Turki sebelum kudeta.
Sumber: Arabic Huffington/permatafm
0 komentar:
Post a Comment