Murabitun: Perlawanan Al Aqsha dan Kebangkitan Kepemimpinan Ulama
Ketika Masjid Al AQsa ditutup dari 14 juli hingga 27 Juli sebagai aksi protes atas tindakan Israel yang memasang kamera pengawas dan alat pemindai logam di Bab Al Asad dan beberapa pintu masuki lainnya, ada satu kelompok muncul memimpin aksi demonstrasi dan mengorganisir sholat di jalanan dan lapangan.
Israel memperketat keamanan di Masjid Al Aqsa setelah terjadi bentrokan bersenjata di dalam halaman masjid antara 3 warga Palestina dan polisi Israel, yang menyebabkan ketiga pemuda Palestina tersebut tewas bersama 2 polisi Israel.
Diantara lingkaran yang mengorganisir tersebut adalah Kepala Badan Tertinggi Islam, Akrama Sabri, Mufti Besar Yerusalem, Muhammad Hussein, Direktur Badan Waqaf Islam, Azim Salhab, dan Hakim Wasif al Bakri. Mereka semua adalah para ulama yang dihormati dan dipercaya warga Yerusalem.
Kelompok tersebut diberi nama Murabitun, para sukarelawan pembela dan penjaga tempat suci menolak masuk ke tempat pemeriksaan sebelum masuk ke Masjid al Aqsa. Mereka membentuk komite teknis untuk mengkaji situasi di dalam dan diluar Masjid Al Aqsa serta mengindentifikasi setiap perubahan peraturan yang dibuat oleh otoritas Israel disana dan kemudian dilaporkan kepada Badan Waqaf Islam Yerusalem, yang bertanggung jawab administratif di Masjid Al Aqsa.
Mohammed Abdel Latif, 50 tahun, warga kota tua Yerusalem bergabung dengan Murabitun pada 14 Juli. “Jalanan di Yerusalem sepenuhnya tergantung kepada kepemimpinan ulama, yang telah memainkan peran yang sempurna dan membuat keputusan berdasarkan kehendak masyarakat.Kami merasa kepemimpinan ulama mendapat dukungan kuat dari rakyat dan memberikan kekuataan kepada kami untuk menjalankan tanggung jawab tersebut.”
Kini kepemimpinan ulama mengalahkan kepemimpinan partai politik. “Kepemimpinan ulama tidak memiliki orientasi politik dan kami nyaman dengan hal itu. Kami malah takut bahwa faksi politik akan mengambil alih pertempuran kami melawan otoritas Israel, tidak peduli siapa yang melakukannya, biasanya bertujuan untuk kepentingan mereka sendiri,” ujar Abdel Latif.
“Faksi politik tidak ada ketika pergolakan pertama kali pecah, namun setelah beberapa hari, ketika mereka menyadari tidak dapat mengendalikan rakyat di jalanan, maka mereka kemudian berupaya keras melakukannya,” lanjut Abdel Latif. “Kepemimpinan ulama harus terus bekerja untuk kepentingan Masjid Al aqsa. Mereka mendapatkan dukungan mutlak dari masyarakat.”
Meskipun alat pemindai logam telah dicabut dan aksi protes berhenti, peran kepemimpinan ulama terus berlangsung. Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada 1 Agustus, mereka memperingatkan atas “meningkatnya ketegangan yang dapat menyeret seluruh kawasan kepada krisis yang tidak dapat dicegah, jika pasukan pendudukan memaksakan diri untuk ikut campur tangan dalam urusan Masjid Al Aqsa dan Waqaf.”
Sabri menandaskan bahwa “lembaga-lembaga agama di Yerusalem bersatu dalam keputusan mereka karena tindakan keamanan Israel di dalam Al Aqsa, sehingga menginspirasi rakyat untuk mendukungnya. Kami tidak merepresentasikan diri kita sebagai alternatif bagi setiap orang, dan tindakan di lapangan terbuka bagi siapapun. Mereka yang ingin menyumbang bebas untuk melakukannya, namun para politisi gagal untuk mendorong perlawanan terhadap penjajah sehingga kita perlu intervensi segera. Kepemimpinan ulama mengisi kekosongan dengan segera, turun ke jalan dan memimpin rakyat dalam aksi protes.”
Sabri mencatat: “Kita butuh untuk menerukan pekerjaan kita karena perang tersebut belum berakhir. Israel tidak berhenti untuk menjalankan proyek dan aturannya di Al Aqsa dan akan terus berupaya mengubah situasi disana lagi. Kita perlu meneruskan upaya kita memenuhi Al Aqsa dengan para jamaah dan siap memobilisasi rakyat jika dibutuhkan. Satu-satunya misi kita adalah membela Al Aqsa.”
Otoritas Palestina sendiri terlambat terlibat di lapangan dan kemudian berupaya bergabung. 17 Juli, Presiden Mahmoud Abbas setibanya di China, kemudian memutuskan menyingkat kunjungannya dan segera kembali ke wilayah Palestina.
Setibanya di Tepi Barat, Abbas menyelenggarkan pertemuan dengan para pemimpin Palestina lainnya pada 21 Juli, sepekan setelah konfrontasi pecah dan masjid ditutup. Dalam pertemuan tersebut, Abbas mengumumkan akan membekukan semua kontak dengan Israel hingga negara itu mencabut alat pemindai logam.
Pemimpin politik Palestina tampaknya mulai menyadari pengaruh pemimpin agama dalam peristiwa di Yerusalem ini sehingga segera mendukungnya. Pada 27 Juli, pertemuan diselenggarakan oleh pemimpin Palestina dan dihadiri oleh mufti besar dan presiden yang menyerukan Murabitun segera masuk ke Masjid Al Aqsa setelah Israel membongkar alat keamanan mereka.
“Kebangkitan para pemimpin agama disebabkan karena perannya dalam masalah agama di Al Aqsa. Inilah mengapa keputusan yang dibuat sepenuhnya didukung rakyat,” papar Rasem Obeidat, analis politik. “Jalanan Yerusalem telah kehilangan kepercayaan kepada kekuatan politik dan otoritas Palestina,” tambahnya.
Obeidat melanjutkan:“Jika partai-partai politik atau otoritas Palestina menyerukan rakyat Yerusalem untuk protes, maka mereka juga tidak mau datang dan menyambutnya sebagaiman para pemimpin agama berhasil menyatukan mereka.”
Setelah memimpin aksi di Al Aqsa, maka kepemimpinan para ulama masih memiliki tanggung jawab besar dan menghadapi tantangan lebih jauh untuk bekerjasama dengan para pemuda Yerusalem membentuk dan mempersiapkan pemimpin lokal Yerusalem dalam menghadapi perkembangan baru atas kota ini.
permatafm
0 komentar:
Post a Comment