Mewaspadai Konglomerat Hitam di Pilpres
Pemilihan umum presiden (Pilpres) tinggal menghitung hari. Berbagai langkah-langkah tentu dilakukan calon presiden (Capres) dan tim untuk memenangkan pertarungan yang akan digelar 9 Juli 2014.
Segala sesuatunya harus disiapkan, baik dukungan partai politik (Parpol) untuk berkoalisi, tim yang solid dan terakhir adalah pundi-pundi. Rasanya ini hal yang lumrah (mungkin) dalam pertarungan ini. Lalu adakah orang yang nekat untuk mensponsori capres?
Bukan rahasia umum lagi, kalangan pelaku usaha atau pemilik modal besar sangat memengaruhi atau menentukan corak kehidupan bangsa ini. Hitam putihnya wajah negara ikut ditentukan oleh sepak terjang komunitas elite ekonomi tersebut.
Sebutan lain elite ekonomi atau pelaku usaha itu adalah konglomerat. Memang, seperti ramalan almarhum budayawan kenamaan Kuntowidjoyo pernah menyampaikan prediksi tersebut. Konglomerat di negeri ini memegang kunci strategis dalam memengaruhi potret kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Puluhan juta rakyat Indonesia menggantungkan kesejahteraan ekonomi kepada mereka.
Namun, karena perilaku konglomerat itu, khususnya yang terbilang konglomerat hitam, wajah negeri ini juga centang-perenang, terlebih dalam dunia hukum. Buramnya negara hukum tidak terlepas dari aksi dan andil konglomerat hitam.
Buramnya dunia hukum kita, minimal sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi ini, tak lepas dari peran konglomerat hitam yang demikian jauh memasuki dunia peradilan. Jumlah mereka memang tidak terhitung dan tidak bergelar sarjana hukum. Tapi, sepak terjangnya mampu membiaskan atau mengontaminasi bekerjanya idealisme hukum menjadi "hukum sekadar di atas kertas".
Dalam memberikan dukungan, para konglomerat hitam cenderung memilih calon presiden dan wakilnya yang dianggap bisa melindungi kepentingannya di kemudian hari.
Tahun 2004 lalu, Faisal Basri pernah menyampaikan, dari segi perspektif konglomerat hitam, dalam menentukan pilihan calon presiden (capres), mereka akan memilih pasangan yang secara efektif bisa melindungi kepentingan-kepentingan mereka dan bisa melindungi segala sesuatu yang telah mereka dapatkan agar bisa berlanjut pada proses yang lebih pasti.
Misalnya, para konglomerat yang sudah mendapatkan surat bebas utang dari BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Dalam menentukan pilihan, mereka juga akan melihat siapa kiranya yang akan iseng mengutak-atik kepentingan mereka. Untuk menutup itu, mereka akan mendukung capres yang mereka anggap iseng itu. Tapi, mereka juga akan menghitung lagi kans menang capres itu, kata Faisal.
Dikatakan, dilihat dari segi pro bisnis, yang ditakutkan para konglomerat hitam adalah kebijakan-kebijakan yang nasionalistik, antipasar, antiglobalisasi, dan sebagainya. Capres-capres yang mengumbar janji terlalu banyak pada kepentingan tenaga kerja biasanya akan masuk daftar hitam konglomerat hitam itu.
Teten Masduki dalam kesempatan yang sama mengatakan, ada dua celah yang bisa dilakukan konglomerat hitam dalam memberikan sumbangan. Pertama, menyumbang langsung lewat kandidat yang kemudian diatasnamakan diri kandidat. Kedua, lewat partai.
Kedua celah ini memang memungkinkan karena di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak diatur ketentuan batasan sumbangan dana kampanye dari pasangan calon maupun partai politik atau gabungan partai politik. Dalam UU tersebut hanya disebutkan batasan sumbangan dari perorangan yang jumlahnya maksimal Rp 100 juta dan badan hukum swasta yang jumlahnya Rp 750 juta.
Teten mengatakan, dari hal itu ICW berkeyakinan bahwa dana kampanye para capres itu berasal bukan dari anggota, tetapi setoran dari pengusaha. Pintu penyaluran sumbangan tersebut bisa lebih dari satu pintu. Jadi tidak harus melalui bendahara partai atau tim sukses, kata Teten.
Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam keras kelompok pemilik modal dan konglomerat hitam yang berupaya mendikte dan mengendalikan perpolitikan Indonesia baik untuk kepentingan bisnis mereka maupun kepentingan lainnya.
Kecaman itu dilakukan MUI dan beberapa ormas atau lembaga Islam yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Islamiyah.
"Mengecam kelompok pemilik modal dan konglomerat hitam. Artinya rakyat telah mengetahui apabila calon tersebut pernah melakukan penyelewengan terhadap uang rakyat, dan berusaha mendikte politikal di Indonesia," ujar Ketua Umum MUI Pusat Din Syamsuddin, di Gedung MUI, jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis (3/4/2014).
Mereka bertekad meningkatkan Ukhuwah Islamiyah, kebersamaan dan kekompakan dalam menghadapi masalah dan tantangan umat Islam dan bangsa Indonesia. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan dan pengorbanan para syuhada.
"Maka kita menolak setiap gelagat dan upaya yang ingin memberi peluang bagi pengaruh dan dominasi kekuatan asing dan mendiskreditkan umat Islam dalam pembangunan bangsa," terangnya.
Selain itu MUI juga menyerukan kepada umat Islam dan bangsa Indonesia untuk mencegah, melawan dan melaporkan politik uang dan suap menyuap yang dilarang Islam.
Penulis memiliki harapan, kita tersadar akan cengkraman konglomerat hitam ini, karena dampaknya terhadap masa depan bangsa dan negara ini. Mari sama-sama kita membuka mata dan telinga dan mewaspadai dengan tidak memilih calon presiden (Capres) yang didukung konglomerat hitam ini.“Nasib bangsa ini ditentukan oleh suara kita, jangan sampai salah pilih”.
Oleh: Amril Jambak - Wartawan di Pekanbaru, Riau, sekaligus peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment