Jujur Dalam Membahas Ikhtilaf (Koreksi Terhadap Standar Ganda Hizbut Tahrir)
By: Junaedi Putra
sejujurnya saya sejak dulu merindukan agar kaum muslimin seluruhnya bisa bekerjasama dalam hal yg disepakati dan saling toleransi dalam masalah khilafiyah.
sehingga energi kaum muslimin bisa dicurah limpahkan untuk bersatu. adapun tentang perkara khilafiyah kita bisa saling toleransi sehingga jikapun ada pembahasan tentang masalah khilafiyah, maka pembahasannya tak lebih dari proses saling memahami diantara kaum muslimin. aku tau kamu, kamu tahu aku. kita sama sama tahu, kita ta'aruf. begitulah kiranya.
bahkan imam Syafi'i yang mengatakan qunut dalam sholat subuh pun bisa sangat mencintai imam Ahmad yang justru menganggap qunut dalam subuh itu bid'ah. bahkan ketika imam Ahmad dipersilakan untuk menjadi imam, beliau justru menggunakan qunut.
begitu indahnya ketika kaum muslimin saling memahami.
namun rupanya hal ini yang hilang pada zaman sekarang. hingga energi kaum muslimin justru dihabiskan untuk membahas masalah khilafiyah dan pada akhirnya melalaikan kerja besar kita pada hal yang kita sepakati.
bukankah lebih masuk akal jika kita sejenak bertoleransi terhadap khilafiyah dan kita saling bergenggaman tangan untuk sama-sama berjuang pada hal yang kita sepakati.
tentu sangat aneh jika kita sampai bermusuhan hanya karena memperdebatkan masalah status qunut dalam sholat subuh, lalu kita sendiri tidak pernah mengajak orang lain untuk sholat berjamaah ke masjid. bukankah lebih baik kita ajak seluruh kaum muslimin ke masjid, lalu jika sudah sampai ke masjid baru kita sampaikan bahwa menurut madzhab imam syafi'i qunut itu dianggap sunnah mu'akkad, dan menurut madzhab Hambali qunut itu dianggap bid'ah. lalu jelaskan dalil dari masing-masing pihak dan biarkan kaum muslimin memilih pendapat yang menurutnya lebih mendekati kebenaran. dalam konteks itulah ikhtilaf baru bisa jadi rahmat. ketika disikapi secara bijak, proporsional, dan tepat.
saya menemukan paling tidak ada 2 bentuk ketidakjujuran dalam membahas tentang ikhtilaf:
1. hal yg sebenarnya bukan ikhtilaf, namun dikatakan ikhtilaf walau harus memelintir ucapan ulama untuk mendukung pendapatnya yang keliru.
misalnya ketika ada seorang ustadz di HTI memfatwakan bolehnya melihat gambar porno. lalu membela fatwanya dengan berdalih bahwa itu perkara ikhtilaf. lalu dikutiplah banyak perkataan ulama. padahal nyatanya ada 3 catatan
a. ternyata ikhtilaf yg dimaksud adalah hanya dikalangan internal HT itu sendiri. karena fatwa yg membolehkan itu hanya dari ulama yang ternyata beliau adalah mantan HT, bukan ulama yg mu'tabar.
b. dan kalaupun mengutip pendapat ulama yg lain, ternyata itu hanya memelintir ucapan ulama lain. pembahasan yg sebenarnya ada pada bab nikah dan sub bab mahrom, dan kata yg lebih tepat diterjemahkan "tidak menjadikan mahrom", justru diterjemahkan "tidak diharamkan"
c. dan ternyata mengutipnya pun tidak utuh.
2. hal yang sebenarnya ikhtilaf, namun dikatakan tidak ada ikhtilaf hanya untuk memaksakan pendapatnya.
misalnya; ketika saya diskusi dengan ustadz SR, saya berkata "ini jadi standar ganda bagi ana. disatu sisi antum menyerukan untuk menghargai khilafiyah , namun disisi lain antum memaksakan pendapat antum tentang masalah demokrasi". beliau bersikukuh bahwa itu bukan masalah khilafiyah, dan masalah demokrasi itu qoth'i, dan siapapun yg bertentangan dengan pendapat mereka lalu dihukumi menyimpang. lucunya beliau tidak memahami bahwa ikhtilaf itu ada pada cara memandangnya, bukan menghukumi demokrasi versi amerika dalam konteks vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). beliau berpendapat bahwa masalah demokrasi itu harus dikembalikan kepada definisi awalnya seperti yg ada di yunani. saya katakan lah justru disitulah letak khilafiyahnya
"apakah memandang demokrasi harus sebagai definisi awalnya, atau hanya sesuai dengan 'al musamma'nya saja"
jika beliau memandang bahwa demokrasi harus dikembalikan kedefinisi asalnya lalu buat hukum umumnya, untuk kemudian baru dihukumi sesuai dengan kondisi, maka itu adalah satu pendapat.
namun kita juga harus menghargai pendapat ulama lain yg tidak berpendapat demikian karena justru kita lihat lebih banyak ulama yang tidak berpendapat demikian, melainkan langsung menghukuminya sesuai faktanya.
ketika saya sampaikan bahwa saya sepakat dengan ulama yang berpegang pada kaidah
"al hukmu yadurru 'alal musamma"
"hukum itu ditegakkan kepada yang diberi nama, bukan kepada nama itu sendiri"
beliau katakan bahwa kaidah itu tidak ada dalilnya.
saya katakan bahwa dalilnya adalah bahwa umar bin khothob ketika digugat oleh orang yahudi perihal sebutan "jizyah" yang terkesan memarjinalkan mereka yang pada akhirnya Umar bin khothob mengganti sebutan jizyah bagi mereka dengan sebutan "zakat" walau umar berkata tanpa mereka ketahui bahwa mereka adalah orang yang jahil, menolak nama, namun menerima substansi yang sebenarnya sama saja. hal itu dilakukan untuk menghindari pemberontakan yang diduga kuat akan mereka lakukan.
mendengar pemaparan saya ustadz SR langsung saja membantah "bukan begitu mas, itu kasusnya beda."
saya tanya "bedanya dimana?"
ada istilah yg sifatnya umum, artinya tidak ada nilai-nilai tertentu yg dikandung di situ"
saya tanya "zakat itu umum?"
dan beliaupun tidak menjawabnya dan kamipun melaksanakan sholat isya. dan di pertemuan selanjutnya setelah sholat isya pun beliau tidak bisa membantah argumen yg saya ajukan.
saya melihat inkonsistensi yg parah dilakukan oleh ustadz di HTI bukan cuma kali ini. ini hanya sebagian contoh.
ketika pendapat nyelenehnya digugat lalu bilang "oh ini kan khilafiyah" lalu digunakanlah argumen yang persis mirip seperti argumennya aktifis JIL saat berdebat dengan hartono ahmad jaiz di UIN. namun ketika membahas masalah yang jelas khilafiyah bahkan mayoritas ulama berpendapat berbeda dengan mereka malah dikatakan bukan khilafiyah dengan cara membenturkannya pada kasus asasi yg disepakati tanpa memahami dalam konteks apa letak khilafiyahnya.
lalu terburu-buru menyimpulkan bahwa orang lain bicara tanpa dalil, padahal belum mendengarkan dalil yg disampaikan oleh lawan bicara. cara bicara seperti ini ternyata yg sering digunakan oleh syabab HTI ketika melakuka ad hominem kepada lawan bicara, pokoknya sebut lawan bicara anda sebagai orang yg bicara tanpa dalil.
seperti banyak yg sering saya temui. ketika saya menggugat dalil yg terlalu dipaksakan oleh HTI dalam mewajibkan tholabunnushroh, saya disuruh memberikan dalil. lah? dalil apa yg dimaksud? yg saya lakukan justru menggugat penggunaan dalil yang keliru oleh syabab HTI.
saya beri contoh, jika saya membantah orang yg mengharamkan tape dengan dalil haramnya khomr apa yg harus saya lakukan?
tentu membantah pemahamannya, bukan malah mendatangkan dalil bahwa tape itu halal. karena memang kata "tape" itu tidak ada dalam al qur'an maupun hadits.
lalu ketika saya berikan qiyas tentang bakpao, semakin jelas jauhnya perbedaan pemahaman mereka dengan kaum muslimin.
ketika mereka katakan bahwa semua harus dikembalikan kepada definisi awalnya, lalu saya tanya
"lantas bagaimana dengan bakpao? definisi bakpao itu jika kita kembali kepada asalnya maka itu adalah makanan yg mengandung unsur babi dalam makanannya, apakah harus dikatakan bahwa bakpao di indonesia harus diharamkan juga walau seluruhnya dibuat dari bahan yang halal"
diluar dugaan, mereka bahkan mengatakan bahwa kita harus mengatakan hukum bakpao itu haram, nah klo bakpao di indonesia itu halal.
sekarang saya mau tanya siapa ulama yg berpandangan seperti itu selain mereka? tak pernah saya temukan satupun ulama yang mengatakan hal seperti itu. seluruhnya sepakat bahwa bakpau itu ya halal walaupun sejarah awalnya itu haram. sama seperti bir pletok. siapa yang berani mengatakan bir pletok haram? ya jelas halal walau namanya bir, karena "al musamma"nya tak ada menggunakan satupun bahan yg haram. karena memang hukum itu ditegakkan kepada yg diberi nama bukan kepada nama itu sendiri.
penerimaan ustadz HTI tentang qiyas masalah bakpao ini sekaligus membantah syabab HTI yang memperolok saya ketika saya menjelaskan tentang masalah ini. nah, dulu kan mereka memperolok saya ketika mengqiyaskan ttg masalah bakpao, sekarang beranikan mereka memperolok ustadz mereka yg melakukan hal yg sama dengan saya?
oh tidak mungkin dong, klo ustadz HTI sih boleh, dan harus disanjung puji, tp klo yg melakukannya orang biasa non HT seperti saya ya boleh dihujat sejadi-jadinya. begitukah yg ada dalam pikiran mereka? entahlah, namun itulah yg terjadi.
sama persis seperti syabab HTI yg dulu menghina dan menyebut saya berdusta dan memfitnah ketika saya berkata bahwa ada ulama HTI yg membolehkan melihat gambar porno. setelah video diskusi saya di upload, lantas apa suara mereka? kini mereka malah membela mati-matian fatwa ulamanya itu. jangankan meminta maaf atas tuduhan mereka kepada saya, kini mereka bahkan sedang berusaha sekuat tenaga untuk membela fatwa ulamanya itu.
sungguh saya makin paham sekarang betapa bahayanya ashobiyah itu.
ke depan saya berharap ulama HTI lebih bijak dalam memahami ikhtilaf. jangan menerapkan standar ganda. ketika pendapat "nyeleneh"nya digugat, langsung berdalih dengan kata "ikhtilaf". namun ketika berbeda pendapat dengan harokah lain lantas mengklaim bahwa pendapat merekalah yg benar dan yg beda dengan mereka lalu dianggap menyimpang. na'udzubillah min dzalik.
kejujuran itu memang penting. agar aku bisa tahu siapa kamu dan kamu bisa tahu siapa aku, dan kita bisa berjalan bersama untuk bekerja sama dalam hal yang kita sepakati.
wallahu a'lam bisshowwab
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete