Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), A.A. Yewangoe, mengatakan gereja-gereja di Indonesia tidak pernah menolak atau mendukung capres tertentu, termasuk Prabowo Subianto, sebagaimana yang banyak diberitakan. Namun, ia dengan tegas membenarkan bahwa PGI menolak manifesto perjuangan Partai Gerindra, partai yang mengusung Prabowo sebagai capres. "PGI tidak pernah menolak atau mendukung capres.
Tetapi yang kami tolak adalah manifesto Partai Gerindra yang menyatakan negara menjamin kemurnian ajaran agama. Kami menilai bukan domain negara menilai kemurnian ajaran agama. Itu domain masyarakat karena negara tidak berteologia, " kata Yewangoe, ketika berbicara pada seminar bertema Partisipasi Umat Kristen dalam Pemberantasan Korupsi, yang diselenggarakan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Nehemia, Pondok Indah, Jakarta, hari ini (17/5).
Dalam Manifesto-nya, partai besutan Prabowo Subianto itu terdapat satu paragraf yang telah memunculkan kontroversi ramai. Bunyinya sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.
Menurut Yewangoe, yang memimpin organisasi beranggotakan 94 gereja yang tersebar dari Aceh hingga Papua itu sejak tahun 2004, Pemerintah selama ini justru terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan beragama. Ia mengambil contoh ucapan Menteri Agama, Suryadharma Ali, yang mengatakan bahwa ia akan membuat penganut Syiah dan Ahmadiyah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Menurut Yewangoe, Menteri Agama keliru dalam hal itu karena negara tidak mempunyai wewenang dan kompetensi untuk membuat seseorang bertobat. "Dan hal itu sudah saya katakan kepadanya ketika kami bertemu di Sidang Raya PGI," kata dia.
Yewangoe juga mengingatkan bahwa persoalan berbangsa di Tanah Air dewasa ini bukan soal Islam berhadapan dengan Non-Islam atau Islam dengan Kristen. Munculnya kasus-kasus intoleransi beragama, seperti tidak diizinkannya umat GKI Yasmin beribadah, diusirnya penganut Syiah dan Ahmadiyah, kata Yewangoe, bukan karena adanya ketegangan penganut agama yang berbeda. Penyebabnya adalah karena bangsa ini sedang 'sakit.'
"Bangsa ini sedang sakit. Sebab, dulu tidak ada permusuhan Islam dan NonIslam. Kita pernah bisa hidup rukun. Kenapa sekarang tidak bisa? Karena bangsa ini sedang sakit. Dan semestinya itulah yang harus ditangani oleh negara, dicari penyebabnya kenapa bangsa ini sakit," tutur Yewangoe.(jaringnews)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Tidak heran bila agama yang tidak murni khawatir.
ReplyDeleteini pendeta sakit kali ya....
ReplyDelete