3 Alasan, Saya Pilih Prabowo
By: Nandang BUrhanudin
*****
Beda pilihan kan sah-sah saja. Sebagai makhluk sosial, kita dituntut peduli dan tidak menjadi pasifis destruktif. Bagi saya, Jokowi sudah basi. Kelemahannya adalah, posisi Jokowi yang tak berkutik di hadapan Bu Mega. Kita sudah paham, bagaimana 2 tahun Bu Mega berkuasa. Asset-asset negeri ini dilibas. Jauh dari kesan nasionalisme dan peduli wong cilik seperti yang didengungkan. Plus, PDIP dan parpol pendukung Jokowi sudah terlalu kelam. Masa tempat zinah, tempat mabok, tempat maksiat jadi andalan?
Lalu apakah Prabowo-Hatta lebih baik? Sama sekali tidak. Sejak hari ini saya mewanti-wanti hati ini, agar mendukung Prabowo-Hatta biasa-biasa saja. Tidak perlu menyandingkan dengan orang-orang beken seperti Umar bin Khatthab, Pangeran Diponegoro, atau Soekarno. Biarlah Prabowo memberikan bukti, bukan sekedar janji. Nah kalau Jokowi, bukti kegagalan dan ketidakmampuan memimpin Jakarta sudah terang benderang di depan mata.
Lalu apa alasan saya memilih Prabowo-Hatta? Saya tidak akan menyampaikan argumen Al-Qur'an-Sunnah. Saya hanya ingin kita berpikir dengan tiga parameter;
Pertama; Parameter Kebhinekaan dan Friksi.
Sebagai muslim, kita tidak boleh menganaktirikan saudara-saudara kita yang minoritas. Itu sudah absolut dalam ajaran Islam. Adapun klaim-klaim peneriak Khilafah dan Syariah yang mencaci maki koalisi PKS dengan Gerindra, nampaknya dipastikan mereka tidak khatam membaca kisah para Khalifah, terutama Khalifah Bani Abbasiah-Bani Umayyah yang ternyata sangat intens berkoalisi dengan Imperium Bizantium atau Romawi. Indonesia dengan segala keragamannya, mudah teruslut friksi dan perpecahan. Maka kehadiran Prabowo-Hatta -untuk saat ini- nampak lebih "adem" dibanding dengan Prabowo-Aher, misalnya. Koalisi Prabowo-Hatta diharapkan menjadi perekat; silih asah-silih asuh-silih asih.
Bandingkan dengan Jokowi. Faktor dominannya kaum radikal di kubu Jokowi nampak terasa. Di sana ada Liberal-Syi'ah-Ahmadiyah-selain Islamphobia yang juga radikalis. Mereka sebenarnya tidak siap kalah dan tidak siap menerima kenyataan, bahwa bangsa Indoensia itu mayoritas muslim Sunni. Jika menang. Dipastikan, kemaksiatan semakin radikal dan dipayungi payung hukum atas nama kekuasaan.
Kedua; Parameter Persaingan dan Sinergitas.
Persaingan antara Muslim-Non Muslim, Pribumi-Non Pribumi, Jawa-Non Jawa, semakin hari semakin meruncing. Unsur Prabowo (Jawa) dan Hatta (Sumatera), menjadi pelangi harmoni yang demikian indah. Keduanya muslim moderat, namun mudah-mudahan memiliki prinsip untuk menjaga keseimbangan arena persaingan. Lebih dari itu, bisa menciptakan sinergitas antara elemen masyarakat Indonesia.
Saya khawatir. Bila Jokowi berkuasa, maka ia akan tampil sekedar pion. Jongos dari orang-orang serakah di belakangnya. Bisa jadi, Bu MEga akan menuntaskan program-program lelangisasi asset negara dan BUMN yang belum tuntas dijalankan sewaktu berkausa dulu.
Ketiga; Parameter Kepatutan dan Internasionalisme.
Indonesia itu negara yang sangat potensial. Kaya dengan SDA-SDM. Plus orang Indonesia adala orang-orang yang "MAU-in", tinggal menunggu pemimpin yang "NAU-in". Apa sich yang tidak bisa dibikin oleh orang Indonesia? Tapi tanpa pemimpin yang "NAU-in", maka kemauan rakyat Indonesia tersisihkan dari bangsa-bangsa dunia. Kita perlu pemimpin seperti Putin di Russi, Erdogan di Turki. Pemimpin yang mampu melakukan nasionalisasi dan tidak mau jadi kacung para cukong.
Kebayang jika Jokowi jadi. Kreatifitas anak bangsa pasti akan disalahgunakan. Jika hobinya metal dan dugem, maka yang dibuat anak muda Indonesia bukan motor, mobil, pesawat, teknologi. Tapi, he he ... penambahan anak dari jalur perzinahan. Tuch sudah didukung dengan terpilihnya pelaku pornografi dan bugilgrafi dari PDIP ke Senayan. Jadi 5 tahun Jokowi berkuasa, akan lahir anak-anak yang tidak jelas ayahnya. Persis seperti Jokowi saat ini, yang malu-malu mengungkap siapa ayah dan apa agamanya. Mau?
Itu pilihan saya! Masa tak sama!
0 komentar:
Post a Comment