Siapa yang Bangkrut dan Untung Akibat Pilkada Lewat DPRD?
Keputusan DPR yang mengesahkan revisi UU (Undang-Undang) pemilihan,dan menyetujui pemilihan lewat DPRD mempunyai dampak yang sangat serius terhadap berbagai fihak. Siapa yang bakal jatuh miskin dan bangkrut dan akibat pilkada melalui DPRD?
Pertama, yang bakal miskin dan bangkrut, yaitu para makelar (broker) politik, yang selama ini mereka menikmati hasil pekerjaan jasa sebagai ‘makelar (broker) antara para calon pejabat daerah yang ingin menjadi pejabat publik (gubernur, bupati dan walikota), dan dengan pemiihan lewat DPRD, mereka akan kehilangan pekerjaan.
Selama ini mereka bertindak sebagai ‘broker’ antara user (pengguna) seperti calon pejabat lokal (gubernur, bupati, walikota) dengan pemimpin partai dan pengusaha. Sehingga melalui ‘deal’ antara para pemburu jabatan, pemimpin partai dan pengusaha itu, mereka mendapatkan ‘fee’ (upah) yang tidak sedikit.
Bayangkan, posisi jabatan publik (gubernur, bupati dan walikota), akan menghabiskan uang ratusan miliar. Bukanya hanya untuk kampanye belaka.
Tapi, ongkos yang paling besar itu, membuat ‘deal’ politik antara sang calon dengan fihak pemimpin partai politik, dan para pengusaha yang bakal mendukung calon pejabat publik. Jumlahnya bisa puluhan miliar, ratusan, bahkan mencapai triliunan, seperti ditingkat provinsi.
Kedua, yang bakal miskin dan bangkrut, KPU, KPUD, Panwas dan lainnya, mereka akan kehilangan pekerjaan, dan hanya bengong di kantor. Kalau pemilihan langsung, dan dengan jumlah kabupaten dan kota seluruh Indonesia, jumlahnya lebih dari 600 itu, maka setiap hari, dua kali berlangsung pemilihan.
Dengan pemilihan melalui DPRD itu, mereka menjadi penganggur baru. Mereka tidak bisa lagi, jual beli suara. Dengan pilkada langsung, banyak calon-calon pejabat yang suaranya ‘cekak’ bisa membeli suara. Itu sudah jamak, bukan rahasia.
Ketiga, para aktifis ‘bayaran’ dan penggerak rakyat di level ‘grassroot’, mereka akan kehilangan mata pencaharian, sesudah keputusan DPR yang mengesahkan pemilihan melalui DPRD.
Selama ini mereka menikmati pekerjaan sebagai aktifis ‘bayaran’ yang mempengaruhi dan menggerakkan rakyat dengan bayaran tertentu. Apa yang disebut ‘relawan’ itu, sejatinya adalah para aktifif ‘bayaran’, yang pekerjaannya memenangkan sang calon yang sudah ditetapkan. Seperti akhir-akhir ini muncul banyaknya aktifis bayaran.
Keempat, media massa lokal dan pusat. Mereka kehilangan penerimaan melalui iklan, yang nilainya sangat besar.Dengan pimilihan melalui DPRD itu, mereka akan gigit jari, tidak ada lagi iklan dari para calon. Wartawan mereka juga kehilangan sumber berita yang menjadi objek.
Mereka bisa menaikan sang ‘tokoh’ menjadi super star, contohnya seperti Jokowi dan Ahok, tokoh antah berantah bisa nyohor, dan langsung dimakan oleh rakyat. Ini tidak lepas dari peran media.
Kelima, pemilik percetakan, pembuat spanduk, planflet, poster dan lainnya. Dengan pemilihan langsung, berapa banyak dana yang dikeluarkan, seperti membuat baliho, poster, spanduk, dan lainnya. Termasuk foto-foto dalam bentuk baliho besar, yang dipasang di jalan-jalan dan pohon-pohon.
Keenam, para cukong ‘Asing dan A Seng’, tidak lagi bisa merekayasa dengan cara-cara yang kotor, ingin menguasai asset daerah dengan mendukung salah satu calon, dan memberikan modal bagi mereka.
Selama ini, aktor dibelakang pilkada-pilkada di daerah, diintervensi oleh ‘Asing dan A Seng’, dan kemudian mereka menguasai asset daerah. Rakyat tetap miskin,karena semua kekayaan disedot oleh ‘Asing dan A Seng’.
Sekarang para ‘kaki tangan’ Asing dan A Seng, berteriak seperti orang ‘kesurupan’ dengan adanya pemilihan lewat DPRD, dan tidak bisa lagi menggunakan tokoh ‘abal-abal’, yang dibungkus dengan sejumlah rekaan kosong, seperti jujur, sederhana merakyat. Semua bohong.
Sebaliknya dengan pemilihan lewat DPRD akan menghemat anggaran APBN bertriliun-triliun, dan ini sebagai langkah penghematan di dalam kondisi krisi. Pemilihan langsung hanya menguntungkan 'asing dan a seng'. Negara dan rakyat ikut bangkrut. (jj/voa-islam.com)
0 komentar:
Post a Comment