Pemilu Legislatif 2014, Mimpi Buruk Media Mainstream
Pemilu Legislatif 2014 menjadi mimpi buruk bagi industri media massa raksasa di Indonesia. Betapa tidak? Media massa arus utama gagal mewujudkan harapan sejumlah capres dan cawapres yang notabene adalah pemilik media massa. Tengok saja pasangan Win-HT yang mendominasi pemberitaan di sejumlah media massa di bawah perusahaan MNC Group. Berdasarkan hitung cepat yang digelar sejumlah lembaga survei, partai politik pasangan ini (Hanura) bahkan tidak mampu melampaui beberapa parpol Islam, yang sebelumnya diprediksi bakal gagal meraih simpati masyarakat. Harapan mendapat respon positif dari rakyat Indonesia kandas, karena iklan, program televisi dan lain sebagainya yang tayang di media massa yang bernaung di bawah MNC Group, gagal menciptakan citra yang positif.
Capres dari Partai Golkar pun demikian, Aburizal Bakrie alias ARB adalah raja media Viva Group (TVOne, ANTV dan Viva.co.id). Media massa yang dikuasainya tidak mampu mengerek suara partainya hingga 25 persen, persentase yang menjadi ambang batas pencalonan presiden. Dengan angka demikian, sulit bagi Golkar mengajukan capres tanpa berkoalisi dengan parpol lain. Dikutip dari Harian Umum Republika (10/4), ARB sendiri mengakui kegagalan partainya untuk menyentuh target pemerolehan suara yang telah ditentukan.
Begitu pula dengan Partai Nasdem. Surya Paloh, sang pemilik Metro TV dan Media Indonesia, harus gembira dengan pemerolehan suara di bawah Ksatria Bergitar, Rhoma Irama yang menjadi Capres PKB. Pidatonya yang berapi-api di setiap program berita di Metro TV gagal mendapat simpati masyarakat.
Pekerja kreatif yang tergabung dalam tim sukses masing-masing partai politik tentu bekerja keras. Kemasan iklan dibuat sedemikian rupa agar pasangan yang dijual, laku di tengah-tengah masyarakat. Namun menjadi ironis, belanja promosi yang sudah dikeluarkan begitu besar, tidak memberikan hasil sesuai harapan.
Pelajaran yang bisa dipetik dari fakta di atas adalah, penguasaan media massa raksasa tidak memiliki korelasi signifikan dengan peningkatan persepsi publik tentang sosok individu atau pun partai politik. Media massa memang memiliki peranan penting untuk menciptakan citra positif, tapi jika citra yang dibangun hanya kemasan luar, maka menjadi tidak efektif. Komunikasi searah yang dibangun oleh media massa konvensional, menjadikan penilaian terhadap objek di dalamnya menjadi absurd dan tidak jelas. Istilah obyektivitas dan independen sebenarnya hanya jargon, karena produk yang dihasilkan tidak benar-benar obyektif dan tentunya juga tidak independen.
Bisa dibilang, media massa saat ini sudah menjadi wadah politik yang tidak melukiskan realitas politik sebenarnya. Talkshow di televisi, iklan dengan bujet miliaran rupiah dan peliputan berita yang massif menjadi sebuah hiper realitas yang terputus sama sekali dari realitas politik di alam nyata yang sebenarnya. Angka-angka prediksi di media massa hanya menjadi semacam realita kedua yang berbeda dengan realita di dunia sesungguhnya.
Media Televisi saat ini menjadi ajang politisasi para pemilik media. Harian umum berubah menjadi politik yang hidup dalam wujud simulasinya di dalam ruang pencitraan. Berbagai sudut pandang menghiasi informasi, ide, pemikiran, maupun gagasan yang tidak lagi mempresentasikan politik yang sesungguhnya di dunia nyata. Hal itu terbukti dengan hasil pemerolehan suara sementara dalam Pemilu Legislatif 2014.
Gempuran iklan capres, partai politik maupun calon anggota legislatif demikian deras di media massa sebelum 9 April 2014. Hal itu sesuatu yang jamak terjadi setiap perhelatan lima tahunan di Indonesia. Iklan-iklan tersebut diproduksi secara profesional dengan melibatkan kru yang tidak sedikit. Tayangan iklan tersebut menjadi lukisan realitas yang sarat dengan distorsi.
Mengapa disebut demikian? Tujuan dibuatnya iklan adalah agar elektabilitas meningkat pada hari pencoblosan. Namun, pada kenyataannya, pada tingkat ekstrem dia benar-benar tanggal dari dunia realitasnya. Lukisan yang berbeda antara harapan dengan kenyataan. Kondisi demikian akan melahirkan logika pembiakan citra yang di dalamnya telah terputus dari kenyataan sosial masyarakat.
Era Keterbukaan Tanpa Batas
Saat ini, merupakan era di mana keterbukaan informasi dan komunikasi benar-benar tidak terbendung. Internet menjadi platform yang unggul atas media konvensional. Konvergensi media tidak bisa lagi ditahan karena kesaktiannya mampu mengalahkan dominasi media massa arus utama yang berjalan di atas kertas atau frekuensi udara. Coverage area atau wilayah sebaran dari media internet tidak terbatas. Fakta tidak perlu ijin resmi untuk mendirikan media internet menjadi keunggulan tersendiri. Murahnya biaya hosting dan domain juga menjadi fakta lain yang tidak bisa dibantah.
Dengan kondisi demikian, pertempuran partai politik pemilik media dengan non-pemilik media pada pemilu legislatif 2014, menjadi seimbang. Tidak ada bedanya antara Hary Tanoesoedibyo, pemilik perusahaan media raksasa MNC Group dengan Anis Matta, Presiden PKS yang hanya mengandalkan www.pkspiyungan.org untuk menyampaikan informasi dan gagasan parpol. Jika HT memproduksi iklan politik hingga miliaran rupiah, maka pertanyaannya untuk apa? Toh dia bisa dikalahkan PKS yang bermodalkan website dan akun-akun kader di twitter.
Jika akun-akun buzzer di twitter sukses meredam laju Jokowi Effect dengan black campaign sebelum 9 April 2014, lalu di mana pengaruh dominasi media massa arus utama? Tulisan ini tidak membahas keberadaan akun-akun tersebut, namun fokus pada komparasi dan pengaruh antara media massa arus utama dengan media massa alternatif. Jika opini publik bersemai indah di dunia twitter, untuk apa lagi iklan ditayangkan di televisi?
Media massa alternatif ini mampu menggusur dominasi industri media raksasa. Bagaimana bisa akun anonim memiliki informasi lebih cepat dari media massa arus utama? Bagaimana bisa televisi nasional “mencuri” video di situs youtube lalu menyiarkan ke publik sebagai program setengah jam? Bagaimana bisa analisa yang berseliweran di sosial media menjadi bahasan utama di beberapa media massa nasional? Bagaimana bisa tulisan akun anonim membuat kebakaran jenggot media massa mainstream yang memiliki tagline enak dibaca dan perlu?
Selain itu semua, Kehadiran Internet Service Provider (ISP) yang menjamur bak cendawan di musim hujan, menjadi faktor mempercepat lahirnya “revolusi media massa” di tanah air. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah lagi. Kehadiran media internet saat ini seperti penemuan mesin uap di abad pertengahan. Jika sebelumnya industri digerakkan oleh tenaga manusia dan hewan, maka mesin uap hadir menggeser itu semua. Maka lahir revolusi industri yang kemudian memicu perang dunia.
Percayalah, kemajuan teknologi informasi ini akan mengubah wajah media massa kita. Tinggal kembali kepada diri kita bagaimana menyikapinya.
*)Penulis Buku Kezaliman Media Massa Terahadap Umat Islam
Mantan Jurnalis TV-One
0 komentar:
Post a Comment