Jokowi, PDIP, dan Suara Kristen dalam Pemilu

Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Pengamat Politik Islam

    “KALAU dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen.” [Buya Hamka]

KAMIS (27/3) Komisi Kerawan Konferensi Waligereja Indonesia (Kerawam KWI) menyelenggarakan Misa Perutusan untuk para calon legislatif (caleg) Jakarta dan sekitarnya. Misa diadakan di ruang pertemuan kantor KWI, jalan Cikini II, Jakarta.

Hadir dalam misa itu sekitar 70 orang. Terdiri dari pengurus Kerawam KWI, para caleg Jakarta dan sekitarnya, serta para pemerhati. Intensi misa dilakukan untuk mohon berkat bagi para caleg, agar bisa berjuang dengan semangat dan hati nurani yang baik.

Dalam pertemuan itu, Sekretaris Kerawan KWI Romo Prapta, menegaskan bahwa Gereja memiliki perhatian pada kehidupan politik, seperti terungkap dalam surat gembala para uskup yang dikeluarkan untuk menyambut pemilihan caleg pada 9 April mendatang.

Dalam sambutannya, Romo Prapta mengingatkan bahwa dalam surat gembala itu para uskup minta agar umat Katolik ikut memilih. Sedangkan Krisantono mengatakan bahwa para caleg bukan wakil Gereja atau paroki, tetapi mereka adalah wakil partai mereka masing-masing. Namun mereka adalah caleg yang beriman Katolik, yang dipanggil untuk menyampaikan dan menjadi saksi semangat Kristus dalam karya mereka, antara lain dengan memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kejujuran dalam sepak terjang mereka sebagai wakil rakyat.

Himbauan untuk membawa “Misi Kristiani” dalam pemilu nanti juga disuarakan Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Dalam sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI 2014 di Merauke, Papua, mereka menganjurkan agar warga gereja ikut secara aktif berpartisipasi dalam Pemilu 2014 dan tidak “golput.”  Salah satu alasan PGI agar warga Kristiani memilih adalah perintah Bible agar warga Kristen turut dalam pembangunan nasional. PGI menulis:

Dalam Sidang Raya PGI 1972 di Pematang Siantar, Sumatera Utara, berdasarkan Lukas 4:18-19, gereja-gereja menegaskan bahwa “Injil adalah ‘Kabar Baik’ yang diperuntukkan bagi setiap orang. Injil yang konkrit memasuki berbagai persoalan konkrit manusia. Gereja-gereja diajak dan didorong untuk melibatkan diri dalam pembangunan nasional, sebab di sanalah Kabar Baik didengar dan dirasakan, asal saja berbagai upaya itu dilakukan dengan memperhatikan keadilan, martabat manusia, kesejahteraan dan sebagainya. Manusia tidak boleh dikorbankan bagi pembangunan, melainkan pembangunan untuk manusia. Itu berarti bahwa gereja-gereja tidak boleh lagi mengurung dirinya dalam tembok-tembok gereja (ghetto). Gereja harus memasuki seluruh bidang kehidupan, termasuk bidang politik.”

Seruan yang termaktub dalam pesan pastoral ini kemudian dibacakan secara langsung Ketua Umum PGI Pendeta AA Yewangoe dan Kepala Biro Penelitian dan Informasi PGI Hendri Lokra dalam konferensi pers pada 12 Februari 2014 di Jakarta.

Melihat dua organisasi besar Kristen di Indonesia ini, kita bisa melihat bagaimana persiapan kelompok Kristen dalam menyambut Pemilu tahun 2014. Lantas ke manakah suara mereka akan disalurkan?

PDIP dan Afiliasi Kristen

Meski kedua lembaga Kristen itu tidak merekomendasikan partai tertentu bagi jemaatnya, namun umat Islam dapat belajar dari sejarah politik Kristen di era efromasi dan gerakan yang mereka lakukan dalam “berbenturan” dengan umat Islam.

Dalam kasus ini, maka Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi mitra strategis utama bagi Kristen. Bahwa Kristen menerapkan strategi tebar jaring dengan “menanam” para kadernya di berbagai parpol, itu pasti. Namun afiliasi utama Kristen tetap berada di PDIP.

Tahun 2004, misalnya, umat Islam tentu masih ingat dengan manuver Partai Damai Sejahtera (PDS) dalam memberikan suaranya kepada Megawati dalam Pemilu Presiden tahun 2004. Ketika akan bergabung dengan kubu Megawati-Hasyim Muzadi, PDS mengajukan sejumlah syarat, antara lain pencabutan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 dan UU Sisdiknas.

SKB 1/1969 ini berisi antara lain: setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Sedangkan UU Sistem Pendidikan Nasional berisi antara lain kewajiban sekolah untuk menyediakan guru agama sesuai dengan agama siswa.

Dengan dua juta suara pendukung, PDS secara tegas berusaha menyuarakan aspirasi kelompoknya. Tuntutan PDS itu diterima PDIP sehingga para pendeta beramai-ramai mulai berkampanye unsuk suksesnya pasangan tersebut.

Mengapa kelompok Kristen begitu alergi terhadap SKB 1/1969 tersebut? Mereka selalu beralasan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, itu adalah “bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPRS No XX/MPRS/1966, Hak Asasi Manusia untuk beribadah, menafikan kebebasan beribadah umat Kristen dan Katolik di Indonesia, serta menumbuhkan fanatisme sempit pada umat beragama lain.”

Permintaan PDS kepada Mega untuk mencabut UU Sisdiknas juga selaras dengan misi Kristen dalam bidang pendidikan. Mereka tahu betul PDIP adalah partai yang paling lantang menolak UU yang menerangkan bahwa “tujuan pendidikan adalah membuat siswa beriman” . Saat palu diketuk tahun 2003 oleh DPR dengan musyawarah, Fraksi Partai PDIP menolak hadir.

Mereka melakukan berbagai macam cara untuk menjegal RUU ini. Dari mulai melakukan konsolidasi internal yang dipimpin langsung Megawati hingga menyerukan partai lainnya untuk menunda pengesahan RUU Sisdiknas.

Langkah partai bermoncong putih inipun menimbulkan kecaman dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekum MUI saat itu, Din Syamsuddin, menyatakan klaim PDIP bahwa pengesahan RUU Sisdiknas akan menimbulkan konflik di masyarakat tidak beralasan.

Sebab, pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas terutama pasal 13 ayat 1 A, tidak hanya menguntungkan umat Islam, tetapi juga umat lainnya karena pengajaran agama akan dilakukan oleh guru yang seagama.

Sementara itu komisi VI DPR RI yang menangani pembahasan RUU Sisdiknas Taufikurrahman Saleh menyatakan, masyarakat tidak perlu gelisah dengan tertundanya pengesahan RUU Sisdiknas tersebut. Menurut Taufik, RUU tersebut tidak menguntungkan ataupun merugikan kelompok tertentu.

Akhirnya Wakil Ketua DPR AM Fatah menegaskan bahwa RUU Sisdiknas akan tetap disahkan walaupun diboikot oleh PDIP. Pengesahan ini harus dilakukan guna menghindari adanya konflik-konflik konflik horizontal di tengah masyarakat.

Saat Megawati lengser menjadi presiden, kegigihan PDIP di front terdepan dalam membela kelompok Kristen tidaklah pudar. Saat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin terbukti melakukan kecurangan, PDIP justru tampil membela.

Bersama aktivis liberal, PDIP menuntut agar pemerintah mengeluarkan izin pembangunan bagi Gereja yang telah memalsukan tanda tangan warga itu. Tidak tanggung-tanggung, Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), organisasi sayap PDI-P, Hamka Haq turun gunung untuk membela gereja. Hamka Haq mengatakan  pembelaan partainya terhadap GKI Yasmin justru dilandasi semangat menyebarkan “Islam kebangsaan”.

“Siapa yang menjaga Islam di Papua, di Nusa Tenggara Timur. Ya, orang kuat di sana yang mungkin dari kalangan Kristiani. Kami bilang sama mereka, gereja mereka di sini kami jaga juga, jadi tolong masjid kami juga mereka jaga,” kata Hamka Haq.

Pernyataan Hamka Haq yang dinilai banyak kalangan sebagai Profesor Liberal ini tentu sangat naif. Karena selama ini PDIP tidak pernah terdengar dalam pembelaan terhadap muslim minoritas di daerah-daerah basis non muslim. Di mana suara pembelaan PDIP terhadap umat Islam dalam raperda kota Injil? Di mana suara PDIP dalam pembelaan umat Islam di NTT saat adzan dilarang di Kupang Barat dan pesantren mereka nyaris dibakar? Dan di mana suara PDIP dalam pembelaan ratusan pelajar muslimah yang dilarang memakai jilbab di Bali?

Tindakan culas dari GKI Yasmin jelas membuat masyarakat marah dan resah. Umat Islam di Bogor tidak melarang kelompok Kristen membangun gereja dan beribadah. Asal sudah memenuhi ketentuan syarat dan perundang-undangan. Karena umat Islam dikenal sangat toleran.

Tak terima dicurangi, warga kemudian meneruskan kecurangan ini ke pengadilan.  Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin akhirnya dicabut, dan kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA). Dan lagi-lagi PDIP tidak puas dengan keputusan itu dan mencabut dukungannya terhadap Walikota Bogor Diani Budiarto.

Jokowi: Menguntungkan Kristen

Dengan rentetan kisah kelompok Kristen dan kegigihan PDIP dalam melakukan advokasi seharusnnya membuat umat Islam belajar bahwa Jokowi bukanlah pilihan yang menguntungkan bagi Islam. Jokowi tidak memiliki track record membanggakan dalam pembelaanya terhadap umat Islam.

Sebaliknya, selama Jokowi memimpin umat Islam kerap dirugikan dengan kebijakan Jokowi dalam “menaikkan” Kristen. Pengalaman pemilihan gubernur Jakarta bisa jadi contoh bagi umat Islam. Saat meninggalkan Solo, Jokowi memberikan jalan gratis bagi Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo untuk melenggang ke kursi Walikota Solo.

Begitu juga dengan DKI Jakarta.  Dikenal sebagai daerah dengan basis muslim yang kuat (Betawi), Jokowi justru mulai membuka front kepada umat Islam dengan menunjuk Lurah Kristen Susan Jasmine untuk memimpin warga Lenteng Agung. Move jokowi dengan wakilnya Ahok ini menimbulkan ketegangan Umat Islam di daerah selatan Jakarta itu.

Menurut warga setempat, selama Susan menjabat sebagai Lurah Lenteng Agung, dampak negatifnya langsung terasa, seperti tergerusnya etika pergaulan sosial yang sudah membudaya di masyarakat Lenteng Agung. Ucapan salam diganti menjadi ‘selamat pagi’ atau ‘good morning‘ bukan ucapan salam layaknya mayoritas warga Lenteng Agung

Berhari-hari umat Islam menggelar demonstrasi untuk menolak Susan. Mereka pun menggalang dukungan untuk mendesak Jokowi mencabut kebijakannya. Merespons gejolak warga tersebut, Mendagri Gamawan Fauzi menyarankan supaya Jokowi mengevaluasi penempatan Susan. Akan tetapi, penolakan warga dan saran Mendagri dinilai sebagai betuk sektarianisme dan politisasi Suku Agama Ras dan antar Golongan (SARA).

“Jangan sampai urusan agama dibawa-bawa ke sana,” kata Jokowi.

“Perlawanan” terhadap himbauan Mendagri pun juga dilakukan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kecipratan popularitas Jokowi, dan mengaku putra ideologis Bung Karno itu.

Usai menyampaikan pidatonya pada Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2013, dengan berapi-api Ahok menyatakan sikapnya. “Kami akan tetap pertahankan Lurah Susan. Kami tidak akan geser dia karena masalah SARA dan persaingan di dalam. Kita hidup di negara Pancasila. Pengangkatan dan pemberhentian kami pertimbangkan berdasarkan prestasi,” ujar Ahok.

Maka sangatlah beralasan jika Umat Islam mulai membaca bahwa move politik Jokowi menjadi calon presiden, akan mengulangi langkah Jokowi di Solo. Bukan tidak mungkin inilah jalan yang akan menjadi ruang besar Ahok untuk menduduki kursi Gubernur di Jakarta.

Tentu tahun 2014 akan menjadi pertarungan politik bagi Umat Islam. Di sinilah solidaritas umat Islam diuji setelah dirongrong aliran sesat, dan kini afiliasi suara Kristiani akan kembali berhadapan dengan umat Islam dalam kontestasi bernama Pemilihan Umum 2014.

“Demikianlah seruan kita, dengan tulus dan ichlas. Sekalipun jika saudara-saudara menolak seruan mencari titik pertemuan itu, tidak apa. Kita akan masih dapat hidup berdampingan secara damai dan ragam. Hanya satu saja permintaan kami : Isyhaduu Bi Anna Muslimun!“ [Mohammad Natsir] DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About MUSLIMINA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment